Maha Karya Cipta Muhammad Alzibilla... aku menemukan eksistensiku dalam tekananku,tertekan dalam segala arah membuat eksistensi menari begitu indah

Surat Sahabat

Posted by Muhammad Alzibilla On Minggu, 13 Februari 2011 0 komentar

Kepada                    : Semua Sahabat Pergerakan
Di Tempat Entah Berantah

Keberadaan yang bereksistensi adalah bersikap dengan normatif dalam diri
Anggap saja surat ini adalah solilokui sengsara, kabar sahabat yang sudah tidak jelas orientasi hidupnya, orasi yang mentulikan telinga pendengarnya tanpa suara tanpa megaphone, coretan dari kepalan tangan yang gundah sekaligus resah dalam menghadapi kegersangan (ke-segermerangsang-an).
Surat ini sudah dua minggu dipendam dalam lemari buku yang berdebu dan diam membisu berharap pada waktu bisa memberikan jawab. Tapi ternyata gelisah ini semakin memunculkan banyak tanya, memuntahkan segala macam sumpah serapah yang tak mampu dibantah, memicingkan mata yang tak kunjung berhenti berkedip, meraksak hati untuk berteriak ibarat pendemo yang berorasi dan memaksa kaki untuk segerap bereaksi untuk bertindak. Akhirnya surat ini hadir juga , meminta pertanaggung jawaban untuk berbicara. Maaf bagi semua pihak yang merasa tersinggung, surat ini adalah 0bat  jengah yang tak mau mengalah. Tak ada maksud lain, semoga disikapi dengan arif dan pemahaman luhur(?) 
Wajah yang terluka, mulut yang membicarakan bisu sungkawa, ada apa dengan mu...
Salam pergerakan didunia dan di akhirat untukmu sahabat, Goethe mengatakan “ dan jika umat manusia bisu dalam tersiksanya dewa memberiku anugerah untuk bercerita bagaimana aku menderita”. Bagi saya tidak ada satupun bagi manusia yang tidak pernah menderita, semuanya pernah mengalami apa yang dinamakan dengan penderitaan. Pernyataan yang saya ucapkan ini hanya kebenaran aksiomatik. atau keniscayaan. Yang mau tidak mau telah kita alami dalam kehidupan ini.
Arti sederhana dari derita adalah tanggungan/kesengsaraan/kesusahan ; yang berarti menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak disukai, yang menyusahkan dan membuat sengsara.  Maka penderitaan itu bisa menjelma menjadi kelaparan dalam arti yang sebenarnya, misalnya susah tuang, kebingungan eksistensial ( bingung mikiiran jati diri), pekerjaan yang tidak kunjung beres (skripsi, tugas,ontology cerpen,tulisan nu can diketik ngan sa ukur dina biwir hungkul ayana), teu boga duit,teu boga kabogoh, gawena masak tapi teu bernalar, kamar di segel teu kabayar,ngrokok kuntung luntang lantung menta sabatang ka dulur,masa depan yang absurd,diskusi tanpa aksi,disorientasi bobogohan poho misi awal,.dan berbagai macam penderitaan lainnya yang terkait dengan material atau imaterial, fisik dan psikis, tubuh pula ruh, badan serta jiwa. Singkatnya , sesuatu yang dianggap tidak menyenagkan sudah bisa disebutkan  dengan derita ;  penderitaan. Maka logislah kalau ada yang mangatakan bahwa dunia bagi islam adalah penjara ( sebab penjara identik dengan kesusahan, ketidak senangan dan penderitaan).
Dengan jujur secara tidak langsung kita mengetahui kelemahan diri kita sendiri, pertanyaanya siapa sich yang mau di anggap lemah????maka selemah apapun manusia, pikir-pikir dulu kalau mau mengatakan kelemahannya setidaknya ada apology atau pledoi untuk sampai pada pengakuan tentang kelemahan itu. Karena kita, manusia memanG sombong dan selalu dihiasi dengan sifat angkuh.
Begitulah , penderitaan seolah bayang- banyang yang akan selalu mengikuti, menghantui kemanapun  kita akan pergi sekalipun kita menyerangnya dengan psikologi positif,martin seligman ATAU psycho revolusioner ala Opik. Penderitaan akan tetap ada. Sebagaimana  kita menginginkan kebahagiaan selalu ada. Manusia yang bisu tak perlu mengakui penderitaannya kepada orang lain, cukup di pendam saja dalam hatinya yang meski akan terjebak pada sifat masokhis dan menjadi akumulasi energi thanatos bagi diri sendiri atau bagi orang lain.
Ada juga manusia yang menginginkan bercerita tentang penderitaannya, bisa kepada orang lain atau hanya berdialog dengan diri sendiri, instrospektif. Penderitaannya sering di sublimasikan dalam bentuk lain misalnya membuat karya, hal ini sering dilakukan oleh penulis seperti khahlil Gibran, Leo Tolsky, Andrea Hirata dan Coelho. Penderitaan bagi beberapa orang yang telah saya sebutkan di atas, bisa jadfi adalah modal dasar untuk mengembangkan kreativitasnya dalam berkarya. Tapi apakah itu benar?orang harus menderita dlu sebelum berkarya?tragis juga. Hannah Arendt mengatakan “derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma menjadi cerita”.
Meski saya bukan penulis, tapi saya tidak sanggup mennanggung penderitaan ini sendiri. Saya mau ngabarkan perihal penderitaan saya ini kepada sahabat. Maski dengan kemampuan bercerita yang pas-pasan dan pasti akan di tertawakan atau bahkan saya sudah siap kalau pada suatu saat nanti tulisan saya ini akan di sobek sama seperti sajak-sajak yang pernah saya tempelkan di mading dan kamar.
Sekalian saja, saya ingin mengatakan dengan lantang kepada penyobek sajak-sajak dan puisi saya itu “ kamu tak punya batang penis !!! spermamu terlalu encer untuk sekedar melahirkan puisi atau sajak, ku sarankan kau sarapan pagi dengan vagina!!”
Surat saya ini, dengan sangat sadar saya akui, jauh dari ilmiah, subjektif, penuh dengan emosidan tidak memenuhi syarak transformatif!(sialan, apa lagi yang dimaksud dengan transformatif)maka wajar bila kamu mereponnya dengan mencibir, memperanjing, menyampahkan dan mengacuhkan, tapi tak apa karena saya tetap akan melancarkan keinginan saya, supaya kamu mengetahui apa yang saya pikirkan saat ini. Alasan ini adalah...
aliran kopi hitam tumpah dibuku itu, dan engkau bertanya,mengapa menyerbuk sesuatu??
Aku jawab,
Untaian kata berurai air mata, aku terlunta meski tak meminta..
Disekap sunyi ditikam, ada apa dengan kita.....
Bahwa setiap kita memiliki kemampuan dalam menafsirkan kenyataannya dengan paradigma masing-masing kita entah itu filosofis, heurmaneutis, erotis, historis, emansifatoris, kritis dan is is lainnya. Setiap paradigma mempunyai asumsi fundamental yang bisa dikompromikan dan yang tidak bisa dikompromikan satu dengan yang lainnya. Pengkompromian itu bisa di lakukan di ruang public yang sering di lakukan dengan jalan dialog dengan tindakan persuasif, habermas menyebutnya dengan, atau tindakan komunikatif.
Nah dalam ruang public ini dialog bisa terjaDI, Perbedaan bisa dibicarakan, permasalahan bisa diselesaikan, dan hemat saya, dan hemat saya, penderitaan ini bisa ditanggungkan. Karena ruang public tidak selalu di isi dengan intellectual discourse an sich tetapi bisa menjadi tempat self refresentasion.

Kadang saya peribadi, kadang kala susah mengeluarkan opini atau gagasan manakala rasio diliputi emosi erros atau thanatos. Inginnya sumpah serapah. Maka untuk menghindari itu saya mengurasi pembicaraan manakala emosi tidak terkontrol, karena saya akui sekali lagi saya sangat tempramental klo merangkai kata.beuuhh.......
Akhirnya sampai pada memberitaan tentang penderitaan saya, ternyata pintu dialog tidak tertutup, hanya zaman sudah berubah, sobat.\
Diam dalam diam, jenuh terperangkap jengah kehidupan
Hati lupuk tak beresensi...aku me-rasa meski terus mengamuk
Ada apa dengan mu..........

Sahabat, kendaraan kita tak lagi bertutur, apa yang luntur, apa yang kabur???aku tak tau, aku tak tahu atau mungkin kamu tak mau tau asyik sendiri dengan aktivitasmu.
Aku mempunyai mimpi yang sangat akut terhadap kendaraan revolusioner ini. Melihat potensi yang ada, namun kenapa kendaran revolusioner ini seolah kehilangan kharisma, kecolongan wibawa hanya tinggal nama. Memang, kendaraan revolusioner selalu di bicarakan di luar tetapi perkenankan menjadi orang dalam.
Di disini problem emosional kader yang fluktuatif sehingga berimbas terhadap kegiatan – kegiatan yang di laksanakan. Saya rindu dengan ungkapan- ungkapan kita yang dulu nakal, saya kangen dengan kebersamaan kita dahulu yang sempat disemai, wacana kiri yang selalu di transformasikan lewat gerakan aksi kejalan, diskusi-diskusi yang prontal melahirkan kader progresiff,orasi menuntut keadilan dan demokrasi dikampus, diskusi pinggir jalan di bawah DPR kampus.kemana semua itu????kemana??kemana saling berbagi pahit manis, canda tawa keluh,pikiran itu??kita seolah asing terhadap kawan kita sendiri dan diri kita sendiri.
Apakah memang akhir dari kendaraan kita seperti ini, atau ini hanya sementara. Kalau tidak seperti apa, sedang saya tidak sanggup untuk bertanya kepada waktu sebab jawabannya selalu biisu, kasihan juga waktu memberi jawaban dari setiap persoalan manusia, saya tidak bisa seperti itu..
Ruang dan waktu menuntut bicara..
Karena hati sudah tak saling menyapa...
Mata sudah tak saling menatap..
Dan rasa sudah tak lagi berguna..
Sahabat, aku mungkin terbuai dengan mimpi-mimpi idealisme yang pernah dan sering kita diskusikan bersama kalaupun perih, mungkin harus ku paksakan merangkai lagi puing-puing itu sendirian, karena menunggumu lama sekali kembali (ke-kesadaran kolektif). Kamu sudah menemukan pulau baru entah itu pulau pragmatisme, bolotisme, chauvinisme,akademisme,pecinta sejati,atau semua ini ada pada satu pulau yangs sedang kalian singgahi??dan seolah lupa dari pulau mana kalian berasal. Hal itu wajar bilamana kalian telah menemukan kenikmatan, namun kata-kata yang pernah kau ucapkan menuntut dan memintamu kembali.
Aku masih berada dipulau ini sama seperti pulau pertama kali saya datang. Karena dipulau ini saya mendapatkan pelajaran berharga, ngagetih dalam nalar,berkeringat dalam aksi. Saya menganggap pulau ini sebagai rumah bukan terminal sementara untuk kemudian pergi berlayar mencari tambang emas lebih banyak lagi. Aku masih ingat bagaimana susah tidurnya kalau dah kumpul dengan sahabat2 hanya untuk berdiskusi dengan beribu referensi sampai mentok ke apology murni ala analisa subjektifitas sampai akhirnya berbohong terhadap ilmu.mungkin di pulau lain kau tak akan mendapatkan.
“angkatlah aku setinggi langit dan bantinglah aku ke dalam lautan.. karena ku tahu bahwa  bagi diriku prahara besar ini berasal darimu”
Bulan lelah sembunyi ke rotasi muasal, membawa buku diketiak menjilat mata merah merintih darah
Sudah letih tak beda pasrah dengan menyerah
Atau memang akan beginilah kita
Menelan liur atas nama tutur luhur
Sobat, pulau kita adalah rumah kita dan mesti ada yang merawat dengan benar dan itu adalah kita bukan orang lain. Kita besar dalam atap yang sama meski sengsara dan tidak mendatangkan gaji tetapi pulau ini adalah rumah yang memberikan dan mengajarkan kedewasaan. Memang saya tidak sepintar kamu dalam ilmu-ilmu klasik tafsir, kalam, tasawuf bahkan saya terbata-bata dalam membaca kitab gundul, tidak seserius kamu dalam membuat makalah-makalah dan tugas-tugas tetapi saya mempunya cara lain dalam mencintai.
Bandung, dalam goresan tinta darah ku merangkai….
Muhammad alzibilla

0 komentar: