Maha Karya Cipta Muhammad Alzibilla... aku menemukan eksistensiku dalam tekananku,tertekan dalam segala arah membuat eksistensi menari begitu indah

EKSISTENSI ULAMA DI PANGGUNG POLITIK DALAM PERSPEKTIF SANTRI

Posted by Muhammad Alzibilla On Minggu, 13 Februari 2011 0 komentar
EKSISTENSI ULAMA DI PANGGUNG POLITIK
DALAM PERSPEKTIF SANTRI
Studi tentang Degradasi Peran Ulama dalam Politik serta Pengaruhnya bagi Masyarakat dan Dakwah Islam

KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Hamdan wa syukurillah tak henti tercurah tak lain hanya di panjatkan kepada Allahu Rabbul Alamin dengan RidhaNya  penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat kelulusan tingkat mu’allimin. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam penulisan karya ilmiah ini.  Karya ilmiah ini berjudul “Eksistensi Ulama di Panggung Politik Dalam Perspektif Santri”.
               Penulisan karya ilmiah kami didasari oleh fenomena saat ini dimana eksistensi ulama dipertanyakan khususnya dalam dunia politik yang sering menjadi kontoversi hingga menjadi sebuah masalah yang sangat tabu. Juga di lihat dari sejauh mana dakwah yang dipelopori oleh seorang ulama untuk merangkul umat dari kebodohan, dan mengasumsi umat dalam bernegara dengan peraturan yang religius dan tidak banyak dipengaruhi oleh budaya  Barat.
               Dalam proses penulisan karya ilmiah ini penulis mengambil dari berbagai sumber. Dengan tanpa kesempurnaan karya imiah ini semoga dapat menyadarkan umat muslim untuk lebih memperluas dalam dakwahnya. Karena umat tak bisa lepas dari Umara dan Umara membutuhkan sosok Ulama yang akan menumbuhkan ruhul islamiyah dalam kehidupannya.
               Sekepal debu jika ia membumbung tinggi kelangit akan tetap menjadi debu, dan berlian jika ada di dalam Lumpur yang hitam tidak akan mereduksi keindahannya. Begitu pula dengan ilmu yang menjadi cahaya bagi kehidupan, dan semoga isi dari karya ilmiah ini bisa menjadi sebuah berlian.

ABSTRAKSI

www.liputan6.com , Jakarta: “Praktik korupsi yang dilakukan oleh sejumlah wakil rakyat diduga berawal dari rapat anggaran DPR. Berbagai bentuk pengawasan, hari selasa (5/8), pimpinan DPR mengijinkan KPK menghadiri rapat. Namun, DPR meminta KPK menghormati tata tertib dengan melayangkan surat permohonan setiap kali akan menghadiri rapat”.
Pembahasan politik Islam seringkali dianggap wilayah tabu untuk dibicarakan, terutama bagi santri yang umumnya dipersepsikan masih terlalu dini bagi mereka untuk mengerti tentang politik. Padahal, dasar dan wawasan perpolitikan harus di ketahui agar para santri tidak menjadi korban mobilisasi yang dilakukan oknum politik tertentu. Apalagi dunia politik sering diidentikkan dengan dunia yang penuh dengan kekotoran. Seperti maraknya korupsi dan penyuapan sebagaimana dalam kutipan berita di atas. Ironisnya, pelaku korupsi itu sebagian besar dilakukan oleh  partai Islam yang seharusnya tidak bersentuhan dengan praktik korupsi dan mengorbankan Aqidah demi kekuasaan.
Tentu hal ini berdampak pada eksistensi ulama dalam dunia politik, yang berujung menjadi sebuah dilema serta menjadi pro-kontra di masyarakat. Kalau sebagian para Ulama mundur dari dunia politik karena takut menjadi rusak, maka orang - orang yang rusaklah yang akan bermain di dalam pemerintahan. Sebaliknya jika mereka terjun ke dunia politik tersebut, seringkali mereka terlarut dan ikut terbawa arus di dalamnya. Hingga akhirnya, eksistensi ulama dalam berpolitik pun semakin dipertanyakan kembali. Untuk itulah penulis mencoba membahas permasalahan ini dengan judul: “Eksistensi Ulama di Panggung Politik Dalam Perspektif  Santri (Studi tentang Degradasi Peran Ulama dalam Berpolitik serta Pengaruhnya bagi Masyarakat dan Dakwah Islam)”.
Padahal telah jelas bahwa Islam adalah ajaran Kamil Mutakamil[1], dan paripurna Islam merupakan Way of life[2] yang mempunyai sistem dan bentuk sendiri, yang berbeda dengan sistem mana pun yang berkembang di dunia ini, termasuk dalam urusan politik atau kekuasaan. Mengapa kita harus selalu menengok ke sistem perpolitikan Barat?.
ا فحكم الجا هليّة يبغون ومن احسن من اللّه حكما القوم يو قنون (ا لبقرة :. ه)
Artinya:“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS. Al-Maidah: 50)
Islam telah menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki sifat Ahlul Halli wal Aqdi[3] lah yang berhak masuk dan terjun ke dalam medan politik.
Disamping itu juga, umat Islam memiliki banyak teladan Ulama yang mampu berpolitik sekaligus mengemban amanatnya dengan baik. Mereka mampu menjalankan politik Islam dan menawarkan kebijakan – kebijakan serta kekuasaan dengan nilai-nilai Ilahiyyah tanpa harus melupakan tugas utama mereka untuk membimbing umat melaksanakan Islam secara kaffah[4], juga mampu membawa karakter Jamiyyah dimana pun mereka berada, sebut saja M. Natsir dan Isa Ansyari. Mereka bias memadukan luhurnya ruh politik muslim dengan realita warna politik Indonesia yang pelangi akan kepentingan. Jika tidak memungkinkan untuk kondisi saat ini, yang terpenting adalah bagaimana terjalinnya koordinasi yang baik antara Ulama dan Umara di dalam memperbaiki hitamnya dunia politik di Indonesia. Apalagi dengan lolosnya calon independent dalam peta politik Bangsa dimungkinkan akan memberi peluang bagi Ormas – ormas Islam, seperti PERSIS[5] dalam meralisasikan the hidden program[6]nya, sebagai penyempurna program dakwahnya yaitu: “Terlaksananya syariat Islam brdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan”.








DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………..……………………….……………..           
MOTTO…………………………………….……………………….……………..
KATA PENGANTAR………………………..……………………..……………..          
ABSTRAKSI ……………………………………………………….……………..
DAFTAR ISI……………………………….……………………….……………..
BAB I. PENDAHULUAN………………….……………………...………………          
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………..………………..
1.2 Perumusan Masalah……………………………………..………………….
1.3 Tujuan Penelitian…………………….………………….………………….
1.4 Tinjauan Pustaka……………………...…………………………………….
1.5 Metode Penelitian………………………..…………………………………
1.6 Sistematika Penulisan ……………......…………………………………….

BAB II. KAJIAN TEORITIS MENGENAI POLITIK DAN PELUANG KETERLIBATAN ULAMA……………….……………………………………..         
2.1 Politik sebagai Legalitas Pengelolaan Kekuasaan ……………………….... 
2.2. Politik dalam Pandangan Islam.……………………………………………
2.3. Format – format Keterlibatan Ulama dalam Dunia Politik………..……….
2.4. Arah Siyasah Jamiyyah Persatuan Islam…………………………………...
2.5  Ahlul Haali Wal Aqdi………………..…………………………………….
2.6. Definisi Eksistensi Ulama di Panggung Politik dalam
Perspektif Santri……………………...……………………………………..           

BAB III. FENOMENA DAN FAKTOR DEGRADASI PERAN ULAMA
    BERPOLITIK SERTA SOLUSINYA DALAM ISLAM…………….          
3.1 Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik
diEra Globalisasi……………………...………………………………….....
3.2 Bangkrutnya Kekuasaan tanpa Etika Politik……………………………….
3.3 Faktor – faktor Degradasi Fungsi Ulama dalam Berpolitik………………….
3.4 Alternatif Sikap Ulama …………………………………………………….
3.5 Bercermin kepada Para Uswah Hasanah dalam Berpolitik…………………
3.6 Intermezo sebuah kisah antara Politik dan Dakwah………………………..
BAB IV. PENUTUP………………………………………………………………
4.1 Simpulan……………………………………………………………………
4.2 Saran…………………………………..……………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
LAMPIRAN – LAMPIRAN……………………………………………………...           
RIWAYAT HIDUP…………………………..........................................................           





















BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
 “Orang Barat-Yahudi dan Nashrani dalam membangun peran[7] politiknya lebih melihat ke bumi dengan berdasarkan spirit kekuasaan. Sehingga bertendensi materialis, sedang orang Timur – Islam lebih memperhatikan akhirat yang memposisikan mereka sebagai khalifah di bumi, sehingga bertendensi religius” (Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadi; Majalah Al- Harokah:Edisi IV, Oktober 2006: hal. 17)
               Tampaknya ungkapan yang dicetuskan oleh Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadi mengenai tendensi politik[8] Islam dalam Al-Harokah benar-benar telah bergeser dari porosnya. Politik bergulir bagaikan bola salju, terus membesar sehingga banyak persoalan politik yang timbul. Tidak dapat di pungkiri lagi bahwa dari waktu ke waktu kuantitas eksistensi politik para ulama semakin meningkat. Tetapi ini berbanding terbalik dengan kualitas eksistensi ulama itu sendiri yang justru semakin menurun. Apalagi jika dibandingkan dengan eksistensi ulama di zaman Rasulullah S.a.w. Dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
               Di era globalisasi seperti ini, para ulama yang diharapkan menjadi corong kebebasan melalui keterwakilannya di lembaga-lembaga perwakilan rakyat ternyata tidak mampu menjawab problematika hidup rakyat. Tetapi justru malah sebaliknya, para politisi  yang menjadi kebanggaan rakyat hanya asyik dan sibuk mengurus kepentingannya masing-masing, bahkan tidak kurang dilihat dari realitas yang ada sekarang ini, mereka hanya menambah sesak ruang tahanan, tidak terkecuali politisi muslim. Fenomena ini terlihat jelas dalam gaya hidup politisi muslim yang sudah terkontaminasi pengaruh negatif budaya Barat.
               Padahal seharusnya politisi ulama sebagai figur muslim tidak bermain api masuk ke dalam jebakan licik permainan politik yang telah disiapkan. Tetapi idealnya ulama harus mampu mengatur politik bangsa, sehingga dapat memiliki hawa yang religius dan tidak mudah tertipu oleh janji-janji politik.
               Melihat perilaku para politisi ulama yang condong mengikuti budaya Barat dalam mengatur negara, penulis merasa gerah. Padahal para ulama pada masa sekarang ini dituntut dapat mengelola politik bangsa sebagaimana yang ditetapkan dalam Nash Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, para penulis menganggap penting masalah ini dan mencoba memecahkannya dan menuangkannya dalam bentuk Makalah Ilmiah yang berjudul:
Eksistensi Ulama di Panggung Politik Dalam Perspektif  Santri (Studi tentang Degradas[9]i Peran Ulama dalam Berpolitik serta Pengaruhnya bagi Masyarakat dan Dakwah Islami)”.

1.2    . Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk menelaah sejauh mana para politisi ulama pada zaman sekarang mampu menjaga citranya sebagai jiwa yang bertendensi religius. Terlebih di era globalisasi dan modernisasi ini, pengaruh negatif akan menjadi tantangan yang semakin berat untuk dihadapi. Mengingat para ulama yang berpolitik sangat diandalkan untuk menetralisir virus-virus jahat para politisi yang terkontaminsi oleh aliran barat. Selain dampak negatif dari perubahan zaman, dampak positifnya pun tak ketinggalan, dan ini semestinya dapat dijadikan peluang bagi para ulama yang berpolitik sebagai mediator dakwah dan menjadikan agama sebagai penguasa politik.
Untuk memudahkan itu semua, dibuatlah perumusan masalah sebagai berikut:
1          Bagaimana keadaan ulama dalam berpolitik?
2          Faktor apa saja yang menyebabkan ulama harus terjun ke kancah dunia politik?
3          Bagaimana solusi dari degradasi para ulama di panggung politik?
4          Apa kontribusi dari eksistensi ulama dalam politik terhadap dakwah dan masyarakat Islam?

1.3    . Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan. Yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
            Tujuan umumnya ialah untuk menambah khazanah pemahaman dan sebagai referensi wawasan keislaman, selain pembahasan dan banyak pengertian, juga menjawab berbagai kontroversi masalah ulama dan politik yang bertujuan untuk memberikan penjelasan dan pemahaman agar tidak terjadi degradasi-degradasi yang salah tangkap mengenai ulama dan politik, baik di mata santri atau umumnya. Serta secara tehnis bertujuan untuk menjawab semua persoalan – persoalan yang termuat dalam perumusan masalah.
Adapun tujuan khususnya yaitu sebagai salah satu syarat dalam memenuhi syarat tugas akhir Pesantren tingkat Mu’allimin.
           
1.4. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis bukanlah pihak yang pertama kali dan menguasai seluruh pembahasan mengenai politik ulama. Sebelumnya ada beberapa sumber yang sudah mengkaji permasalahan ini. Seperti dalam buku Fiqih Syiasah, karya Dr. J Suyuthi Pulungan thn.2002 hal:34, dikemukakan bagaimana tata cara mengatur pemerintahan atau mensiasati dalam politik.  “Metode Politik Menurut Al-Quran” mengkaji fenomena - fenomena cara berpolitik, terutama cara berpolitik Rasulullah dan di relasikan kepada ayat-ayat Al - Quran. Majalah Risalah: edisi II. Thn.2008, hal:13 yang membahas sistem politik di Indonesia dan relasinya dengan Piagam Jakarta atau Jakarta Carter. Berbagai Artikel yang membahas tentang eksistensi ulama dan umara juga eksistensi ulama.



1.4    . Metode Penelitian

          Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah metode historis methtod (metode sejarah) dengan melalui beberapa tahapan, diantaranya mencari sumber melalui buku, majalah, artikel yang ada di internet, kemudian mengkritisi kredibilitasnya lalu menginterpretasi/menafsirkan fakta, disertai hasil wawancara sebagai validitas atas informasi yang didapatkan, untuk kemudian menuliskannya. Sehingga mendapat banyak perspektif dan fakta yang kemudian ditulis dengan teknik penulisan memakai metode studi pustaka atau study literature.

1.5    . Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan makalah ilmiah ini, penulis menguraikan pembahasan ini dalam beberapa bab yang terdiri dari:
Bab I               Merupakan bab pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, sistematika penulisan.
Bab II              Membahas tentang kajian teoritis mengenai politik dan peluang keterlibatan ulama, yang terdiri dari beberapa judul, Politik sebagai Legalitas Pengelolaan Kekuasaan, Politik dalam Pandangan Islam Format – format Keterlibatan Ulama dalam Dunia Politik, Ahlul Haali Wal Aqdi, dan Definisi Eksistensi Ulama di Panggung Politik dalam Perspektif Santri.
Bab III            Tentang Fenomena dan Faktor Degradasi Peran Ulama dalam Berpolitik serta Solusinya di dalam Islam. Dan membahas beberapa judul yaitu; Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik di era globalisasi, Faktor – faktor Degradasi Fungsi Ulama dalam Berpolitik, Alternatif Sikap Ulama, Bercermin kepada Para Uswah Hasanah dalam Berpolitik.
Bab IV            yang mencakup: Penutup yang terdiri dari simpulan dan saran. Tidak lupa penulis juga mencantumkan daftar pustaka, lampiran - lampiran dan riwayat hidup.

1.6  . Schedule Time


SCHEDUL TIME
Karya ilmiah: Eksistensi Ulama di panggung politik dalam
Perspektif santri


Tanggal

Hari


Kegiatan
13/08/08
Rabu
Mencari bahan dari berbagai sumber
10/08/08
Minggu
Mencari bahan dari berbagai sumber
11/09/08
Kamis
Wawancara Ust. Yayan
13/09/08
Sabtu
Wawancara Ust.Qosim
14/09/08
Minggu
Wawancara Ust.Puad
15/09/08
Senin
Kerja kelompok
16/09/08
Selasa
Wawancara Ust.Munir
17/09/08
Rabu
Kerja kelompok
10/09/08
Rabu
Kerja kelompok
23/10/08
Kamis
Menyelesaikan bab II












BAB II
KAJIAN TEORITIS MENGENAI POLITIK
DAN PELUANG ULAMA

2.1       Politik sebagai Legalitas Pengelolaan Kekuasaan
            Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah berbagai macam kegiatan dalam suatu system politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan – tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan itu.
            Untuk melaksanakan tujuan –tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan – kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi dari sumber – sumber dan resources yang ada.
            Untuk melaksanakan kebijaksanaan – kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari proses itu. Cara – cara yang dipakainya dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu coercion[10]. Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
            Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
            Ossip K. Flechtheim dalam Fundamentals of Political Science berpendapat:
“ ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari Negara, sejauh Negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala – gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi Negara.”
            Ada kecenderungan untuk menempatkan perebutan kekuasaan pada inti politik (Morgenthou, 1961 : 27,39). Ilmuan politik  sejak lama mengkonsepsikan kekuasaan sebagai “distribusi penguasaan kekuatan” dan menganggapnya sebagai inti politik (Fortes dan Evans – Pritchard, 1940 : 14-45. Bandingkan dengan Caton 1987) tetapi politik termasuk di dunia muslim tidak semata membahas otoritas pemaksa kepatuhan yang mapan. Sebagimana dikemukakan oleh teoritisi lain, politik barangkali sepenuhnya berkenaan dengan tawar menawar diantara banyak kekuatan atau kelompok – kelompok yang bersaing, jika tidak bahkan lebih dengan melibatkan pakasaan. Gibbins (1989:5-6) menunjukkan bahwa filsuf konsevatif seperti Wittgenstein dan Oakeshott mengkonseptualisasikan politik, setidaknya secara implicit, sebagai negosiasi bersifat terbuka atas aturan – aturan dan gerakan – gerakan yang secara moral menyatukan masyarakat.
            Mengenai sumber kekuasaan bagi kepala Negara terdapat tiga teori yaitu, teori ketuhanan, teori kekuatan, dan teori kontrak social.
            Menurut teori ketuhanan, kekuasaan berasal dari Tuhan (Divine Right of Kings) penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan kepadanya. Maknanya ialah bahwa Allah mengangkat penguasa – penguasa bagi masyarakat. Penguasa – penguasa itu mendapat pancaran Ilahi dan menetapkan mereka dengan karuniaNya. Dengan demikian, sumber kekuasaan kepala Negara bukan bersal dari rakyat, melainkan datang dari Allah yang melimpahkannya kepada sejumlah kecil orang pilihan. Hal ini dikuatkan dengan Qs. Ali Ilmran:26:
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
            Teori Kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh pihak yang menang dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat hokum. Teori ini dikemukakan juga oleh Ibnu Kholdun. Menurutnya, masyarakat/manusia memerlukan al-Wali (pemimpin) untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama. Al-Wali diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatnya. Hubungan social masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan yang disebutnya Ashabiyyat[11] sebagi perekat kekuatan kelompok itu. Dengan demikian satu Daulah[12] dapat terbentuk apabila suatu kelompok masyarakat mampu mengalahkan kelompok masyarakat lainnya. Dan dengan kemenangan itu ia memperoleh kekuasaan politk.
            Sedangkan teori kontraksosial ialah suatu teori yang menerangkan kekuasaan diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan legitimasinya melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain terjadinya penyerahan kekuasaan oleh anggota masyarakat kepada seseorang atau lembaga. Karena terbentuknya Negara adalah atas dasar kehendak manusia sebagai mahluk social atau mahluk politik untuk berkumpul disuatu tempat dalam rangka kerjasama dan tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi kebiasaan manusia yang demikian berkaitan dengan keyakinan agama, sebagai ciptaan dan kehendak Allah atas manusia. Dalam kerjasama itu mereka memerlukkan seorang pemimpin yang akan mengatur urusan mereka. Untuk tampilnya seorang pemimpin itu oleh Ahlul Haali Wal Aqdi yang disertai dengan bai’at atau persetujuan masyarakat. Hal ini merupakan perjanjian social diantara kedua belah pihak atas dasar sukarela. Tapi tidak jelas apakah anggota lembaga pemilih itu bersifat perwakilan dan diangkat oleh rakyat. Yang dapat dipahami mengenai pandangan dalam hal ini, adalah apabila para anggota terpilih sebagai anggota masyarakat terkemuka dan berpengaruh, bersepakat atas sesuatu, maka rakyat akan mentaatinya.
2.2. Konsepsi Ideologi Politik Islam
Ideologi[13] politik adalah aplikasi rasio manusia, seperti halnya pmikiran lain yang dilakukan untuk mengatur urusan – urusan kehidupan. Ia dihasilkan dari penyusunan premis – premis yang telah diketahui untuk mendapatkan konklusi – konklusi yang belum diketahui. Karena pemikiran – pemikiran manusia berlabuh dari pandangan umumnya, system kepercayaannya, dan kerangka rujukannya yang menjadi acuan pengambilan sumber, macam-macam metodologi dan filsafah pengetahuannya maka kaum muslimin mempunyai pemikiran politik yang berlabuh dari pandangannya, dan dijelaskan kaidah – kaidahnya dalam pokok-pokok pemikiran  dan sumber sumber itu. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan kami sebagai penulis berlabuh dari al-Qu’ranul Karim, dengan melihatnya sebagai sumber pembentuk hukum satu-satunya, juga melihatnya sebagai sumber yang mutlak. Yang darinya dapat dilanjutkan dengan menelorkan gagasan-gagasan dan teori-teori pengetahuan yang amat dibutuhkan. Terutama karena ilmu-ilmu social  dan humanisme serta metodologi-metodologi positivismenya telah menghadapi beragam krisis, yang mayoritasnya timbul dari krisis dekontruksi yang dialami oleh ilmu pengetahuan manusia pada era modern dan pascamodern. Yaitu pada saat manusia dapat mendekontruksi alam, manusia, sejarah, dan agama yang cenderung dekontruksi-analis.
            Kita dapat mendefinisikan pemikiran politik dengan melihat masalah-masalah dan topic-topiknya, yaitu macam pemikiran yang bertujuan untuk memberikan solusi atas masalah yang ditimbulkan oleh “masyarakat politik”.
            Suatu masyarakat dikatakan masyarakat plitk jika ia mempunyai lembaga kekuasaan yang khusu, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang ia buat atau ia adopsi, yang mengatur perilaku masyarakat. Kemudian hukum dan undang-undang itu ia aplikasikan kepada masyarakat dan memaksa mereka untuk mematuhinya. Lalu undang-undang itu dipatuhi secara umum olh masyarakat dan diaku mempunyai kekuatan dengan sukarela atau terpaksa, juga ia diakui sebagai kekuasaan tertinggi dalam masyarakat itu dan yang dapat memberikan hukuman material[14] . sedangkan, politik didefinisikan oleh kamus Liittre (1870) sebagai, “politik adalah ilmu memerintah dan mengatur negara”[15] dan kamus Robert (1962) mendefinisikannya sebagai, “politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.” Namun, definisi modern mencakup pengaturan Negara dan mengatur polakemasyarakatan manusia, sehingga kata “memerintah dan mengatur” itu, saat itu berarti-dalam seluruh masyarakat-adalah kekuasaan yang terorganisasi  serta lembaga-lembaga kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekan.
            Kata Ushul “pokok-pokok” sendiri mencakup pengertian etimologis dan terminologis yang dapat menerima penggunaan ini. Kata al-aslu dalam bahasa Arab bermakna sesuatu yang dijadikan dasar bangun sesuatu. Sedangkan dalam pengertian terminologis, ia bermakna yang kuat, dasar elementer, kaidah, dan dalil.[16] Makna yang terakhir tadilah yang diadopsi oleh kitab-kitab ushul fikih Islam. Ushul fiqih menurut al-Ghazali, adalah dalil-dalil hukum-hukum ini-maksudnya hukum-hukum perbuatan manusia dari segi ia wajib, dilarang, atau boleh-dan tentang mengetahui bentuk-brntuk dilalahnya atas hokum dan bentuk global, tidak dalam bentuk detail.[17]. sedangkan pengertian ushulfikih menurut syeikh Abdul Wahab Khallaf, adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dapat menyampaikan kepada penyimpulan  hukum-hukum syariat praktis dari dalil-dalil rincinya dan objek kajian dalam ilmu ushul fiqih adalah dalil syara’ global (al-Qur’an dan as-Sunnah dari segi apa yang dapat menetapkan hukum-hukum global).[18]
            2.3. Format-Format Keterlibatan Ulama Dalam Dunia Politik
Paling tidak ada dua format yang diijinkan oleh syara’ berhubungan dengan  keterlibatan Ulama  dalam dunia perpolitikan :
-­­­­­­­Pertama, Format luar pagar bermain diluar lapangan.
Di dalam format ini, para Ulama tidak terlibat dalam delik administrasi perpolitikan secara langsung, tetapi mereka tetap duduk ditengah-tengah masyarakat mengajar, membimbing dan mengarahkan mereka kejalan yang benar. Walaupun demikian, mereka tetap beramar ma’ruf dan nahi munkar menurut kondisi lingkungan yang ada. Termasuk didalamnya mengingatkan para pengusa jika melakukan kesalahan dan penyelewengan, memberikan fatwa-fatwa kemasyarakatan, kenegaraan dan urusan-urusan politik, yang tentunya diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Tugas mereka tidak ternodai sedikitpun dengan harta-harta kenegaraan maupun kepentingan kepentingan orang-orang tertentu. Oleh karenanya, mereka tidak takut sedikitpun dengan kediktatoran seorang penguasa. Bahkan mereka siap mati dalam mempertahankan dan mengemban amanat Allah ini. Inilah sebaik baik jihad sebagaimana yang disabdakan Rosul saw,
Artinya : “ Sebaik baik jihad adalah berkata benar didepan pengusa yang dholim”
Dikatakan sebaik baik jihad, karena seorang Ulama yang berkata benar didepan seorang penguasa yang lalim, akan menemui resiko yang sangat besar. Paling tidak akan dicaci dikecam dan disiksa dengan semena mena, bahkan akan dibunuh tanpa ada satupun orang yang membelanya. Disisi lain, beramar ma’ruf nahi munkar didepan para penguasa yang  lalim merupakan aktifitas tertutup dan tidak terikat oleh banyak manusia, sehingga lebih mendekatkan kepada keikhlasan.
Terlalu banyak contoh Ulama, untuk disebutkan dalam hal ini, terutama yang hidup pada masa masa kejayaan Islam pada abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah. Salah satunya adalah Said bin Jubair yang disembelih oleh Hajjaj At-Tsaqofi hanya karena mengatakan kalimatul haq dihadapannya. Ketika Hajjaj Ats-Tsaqofi bertanya, “Bagaimana pendapat anda tentang saya?” Dengan tenang Said bin Jubair menjawab, “Anda adalah seorang penguasa yang menyelisihi ajaran kitab dan sunnah, yang berbuat semena-mena kepada rakyat demi mencari kewibaaan. Perbuatan anda semacam ini akan mengantarkan anda kepada kehancuran.” (Lihat Sofatus Sofah, Ibnu Jauzi 3/56).
-Format Kedua  Bergerak di dalam sistem, yang berarti Ulama terlibat secara langsung didalam adminstrasi negara dan menduduki salah satu jabatan pemerintahan.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang kelompok atau format kedua ini, silahkan mengikuti pembahasan Ahlul Halli Wal Aqdi dibawah ini. Hal itu, karena hanya merekalah (para negarawan) atau orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang serupa dengan merekalah, yang berhak masuk dan terjun ke dalam  medan politik yang sangat berbahaya  tersebut.
2.4. Ahlul Haali wal Aqdi
Ahlul Halli wal Aqdi adalah istilah baru tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Namun demikian, para Ulamalah yang telah meletakkan istilah tersebut. Ini bukan berarti istilah tersebut bid’ah karena belum pernah digunakan  pada zaman Rasulullah saw, maupun pada zaman Sahabat. Akan tetapi, istilah-istilah keilmuan  semacaam ini bisa di golongkan  didalam MASHALIHUL MURSALAH (kemaslahatan umum) yang diizinkan oleh Syariat Islam, sebagaimana istilah-istilah ushul fiqh, ilmu Nahwu, Mustholahul Hadits dan lain-lainnya.
Istilah Ahlul Halli wal Aqdi ini banyak kita dapati pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti  Ahkam Sulthaniyah-nya Abul Hasan Al-Mawardi dan Abu Ya’la Al Farra’. Adapun secara bahasa, Istilah Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari tiga kalimat:
a. Ahlul,  yang berarti orang yang berhak (yang memiliki).
b. Halli,  yang berarti, melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.
c.  Aqdi,  yang berarti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.
Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan  pengertian Ahlul Halli wal Aqdi secara istilah yaitu  “Orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu.”
Yang dianggap sebagai Ahlul Halli wal Aqdi
Para Ulama berselisih pendapat didalam menentukan kriteria Ahlul Halli wal Aqdi, akan tetapi semua pendapat yang beredar tersebut,tidak keluar dari kerangka  pengertian Ulil Amri. Tapi, kenapa pembahasan Ulil Amri tidak disatukan dengan Ahlul Halli wal aqdi? Atau kenapa tidak memakai salah satu istilah saja, agar tidak membingungkan? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, kami menyediakan beberapa jawaban dibawah ini ;
Pertama, Ulil Amri adalah istilah Syar’i yang terdapat didalam Al-Quran. Sehingga didalam penafsirannya, perlu menukil pendapat mufassirun yang tsiqqoh,. Ulil Amri dalam konteks semacam ini, lebih terkesan sebuah sosok dan tokoh, atau sekumpulan sosok dan tokoh yang harus ditaati perintah-perintahnya selama itu sesuai dengan syara’.(tanpa banyak menyentuh proses terangkatnya tokoh tersebut dan bagaimana teknis kerjanya). Oleh karena itu penulis letakkan pembahasan ini didalam penafsiran kata Ulil Amri.
Kedua. Disisi lain, ketika hendak menerangkan kalimat yaitu bagaimana teknis mengembalikan permasalahan politik kepada Ulil Amri, ternyata kami mendapatkan para Ulama didalam pembahasan ini, lebih banyak menggunakan istilah Ahlul Halli wal Aqdi daripada istilah Ulil Amri itu sendiri. Dari situ kami menemukan sebuah konklusi sebagai berikut:
1. Ulil Amri lebih sering digunakan didalam menggambarkan tokoh atau orang yang wajib ditaati selama itu sesuai denga syara’
2. Ahlul Halli wal Aqdi lebih sering digunakan ketika membicarakan teknis kerjanya. (wallahu a’lam)
Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Ahlul Halli wal Aqdi dengan sistem Parlemen DPR/MPR adalah sebagai berikut ;
1. Dari Segi Perkembangannya
Sistem Ahlul Halli wal Aqdi berkembang sejak adanya pemerintahan Islam pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan Ijma’ Shahabat ra, dan merupakan hujjah yang tidak terbantahkan. Adapun sistem parlemen berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada tahun 1789M.
2. Dari Segi Keanggotaan
A. Didalam sistem Ahlul Halli wal Aqdi, anggotanya harus seorang Muslim yang adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi  ketua DPR/MPR, selama rakyat mendukung,
B. Didalam sistem Ahlul Halli wal Aqdi anggotanya harus seorang laki-laki. Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan mejadi anggota didalamnya.
C. Anggota Ahlul Halli wal Aqdi harus seorang yang berpengetahuan luas terhadap ajaran Islam, sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang paling goblok tentang masalah agama.
3Dari Segi Tugas  dan Peranannya
Tugas Ahlul Halli wal Aqdi harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah. Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.
2.5. Definisi Eksistensi Ulama di Panggung Politik dalam
Perspektif Santri
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Eksistensi itu berarti keberadaan; wujud; adanya; sesuatu yang membedakan antara suatu benda dengan benda lain. Ulama berarti seseorang yang mempunyai keilmuan lebih dalam suatu hal; orang yang ahli dalam ilmu agama. Panggung berarti tempat pementasan; yang dimaksud ialah tempat dimana ulama berperan dalam politk.
            Sedangkan, ada beberapa definisi mengenai politik, diantaranya:
·         Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik berarti ilmu ketatanegaraan; sebagai kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapat kekuasaan.
·         Menurut Lisanul Arabiy, politik atau siyasah dapat diartikan mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemashlahatan.
·         Menurut Joyce Mitchell dalam bukunya “political analysis and Public Polici” politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perspektif itu berarti sebuah pemikiran atau pandangan tentang suatu hal; pendapat; ideology; pengharapan; peninjauan; tinjauan padang luas.
Santri bersasal dari bahasa sansekerta. San berarti orang yang berbuat baik. Tra artinya suka menolong. Sehingga, santri berarti orang baik yang suka menolong. Meskipun istilah ini tidak berasal dari istilah Islam (arab), tetapi subtansinya tetap berdasarkan Islam.
Adapun definisi dari Eksistensi Ulama dipanggung Politik dalam Perspektif Santri, yang dimaksud penulis adalah bagaimana fenomena – fenomena degradasi ulama dalam berpolitik yang semakin jauh dari tuntunan Al- Quran dan As-Sunnah, sehingga berakibat memperburuk citra ulama pada khususnya dan Islam pada umumnya. Dimata masyarakat juga pada akhirnya hal ini akan berpengaruh pada dakwah serta masyarakat Islam itu sendiri. Yang nantinya hal ini menjadi suatu permasalahan utama yang akan berusaha dipecahkan didalam makalahilmiah ini. Tentunya tidak ada pemecahan atau solusi yang terbaik dari seluruh permasalahan ini selain kembali kepada pokok- pokok ajaran syariat Islam yang memandang politik berdasarkan Al- Quran dan As-Sunnah.
Seluruh permasalahan serta solusi yang terdapat didalam makalah karya ilmiah ini akan dikemas secara khusus berdasarkan perspektif santri yang tentunya juga, berdasarkan pendapat – pendapat para ahli dibidangnya, yang terpenting tetap berdasarkan tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.

BAB III
FENOMENA SERTA FAKTOR DEGRADASI PERAN ULAMA
BERPOLITIK DAN SOLUSINYA DALAM ISLAM

3.1 Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik
diEra Globalisasi
Kalau kita berbicara tentang kondisi Ulama dalam perpolitikan nasional saat ini, kami rasa, banyak hal yang perlu menjadi catatan. Pertama: Ulama belum menyadari secara benar tugas dan misinya dalam konteks politik. Dalam sejarah perjuangan bangsa ini menjelang kemerdekaan sampai usia kemedekaan bangsa ini, 17 Agustus yang baru saja berlalu, 62 tahun, kita menyaksikan bagaimana bargaining position* Ulama dalam kancah politik menurun. Jadi, sungguh sangat memprihatinkan bahwa seharusnya seorang Ulama melihat politik itu (bukan dalam pandangan subyektif) merupakan partikel, merupakan bagian saja dari gerakan dakwah yang menyeluruh. Dakwah itu sendiri berintikan amar makruf nahyi mungkar dan kewajiban untuk selalu menyeru manusia ke jalan Allah, menyerukan al-Quran, dan menyerukan syariah. Nah, politik itu merupakan salah satu jalur dari gerak dakwah.
Apa yang terjadi di parlemen itu adalah pertarungan politik. Demikian pula yang terjadi dalam gerakan buruh. Jadi, kita tidak boleh melupakan gesekan-gesekan sosial politik yang terjadi di Tanah Air di mana saja; kecil atau besar; baik itu dalam bentuk mogok buruh, protes sosial, demonstrasi-demonstrasi lainnya, dalam bentuk Pemilu atau Pilkada, dsb. Sesungguhnya di balik semua itu ada pertarungan ideologi. Ribut-ribut soal RUU-APP, itu bagian dari pertarungan ideologi.
            Nah, dakwah itu harus dilihat sebagai medan pertarungan ideologi. Apalagi secara faktual, Indonesia ini beragam, terdiri dari berbagai agama dan ideologi. Kita menyaksikan ada Hindu, Budha, Protestan, dengan aliran-aliran dan sekte-sekte yang begitu banyak. Kita juga menyaksikan ada kelompok-kelompok yang memperjuangkan Sosialisme, Komunisme, nasionalisme. Jadi, tidak mungkin kalau kita mau menafikan realitas medan dakwah yang sedemikian rupa.
Khusus di Indonesia, terdapat kecendrungan meningkatnya intensitas tarik-menarik antara agama –khususnya Islam- dengan negara/ kekuasaan dapat dilihat jelas sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998. Liberalisai politik yang dilakukan oleh penggantinya, Presiden Habibie, menghasilkan kemunculan sangat banyak parpol, termasuk parpol-parpol agama, baik di kalangan Islam maupun di kalangan Kristiani. Selanjutnya, pencabutan asas tunggal Pancasila, membuat banyak parpol dan organisasi massa lainnya, kembali kepada asas agama, termasuk Islam.
            Kompleksitas dan kerumitan hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) dalam tradisi Sunni –yang secara tradisional dianut umat Islam Indonesia –terletak antara lain pada kenyataan, bahwa pada dasarnya kerangka doktrinal dan pengalaman historis kaum Muslimin bersifat ambivalen dalam hal tersebut. Mayoritas Ulama Sunni berpendapat, dalam Islam secara esensial tidak ada pemisahan antara agama dengan politik  (siyasah) atau kekuasaaan/negara (daulah). Sesuai dengan kerangka ini, politik dalam pandangan mayoritas Ulama merupakan bagian integral din dan, karena itu, tidak perlu dijauhi; sebaliknya bahkan perlu diceburi, karena ia merupakan bagian daripada din itu sendiri. Karena alasan ini dan ditambah dengan alasan-alasan politik tertentu, atau kepentingan dakwah melalui politik, atau bahkan karena jaring-jaring politik yang sulit mereka hindari –karena politik dan kekuasaan yang cenderung manipulatif- Ulama dan umat Islam menceburkan diri atau tercebur, atau bahkan terkooptasi ke dalam politik.

3.2 Bangkrutnya Kekuasaan tanpa Etika Politik
Politik adalah kekuatan. Politik riil adalah pertarungan kekuasaan.
Sementara, filsafat politik dan etika politik berusaha berada di
tengah-tengahnya sebab dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas
politik yang keras itu.
Lalu, apakah wacana filsafat politik yang mengusung gagasan ideal dalam
upaya mengelola kekuasaan tidak menyentuh persoalan politik?
Di sinilah pentingnya filsafat politik. Tugas filsafat politik menjelaskan
konsep-konsep, prinsip-prinsip, cara penalaran khas praktik-praktik
institusi-institusi, dan ideologi-ideologi politik. Filsafat politik
memikirkan apa yang menjadi pra-andaian dalam debat-debat dan
keputusan-keputusan politik.
Filsafat politik lebih pada suatu penafsiran hakikat politik dari
definisinya sendiri yang bersifat hipotesis. Tugas filsafat politik bukan
mendeskripsikan fakta, tetapi membangun konsep-konsep yang membuat fakta
politik semakin dipahami secara lebih mendalam.
Seperti misalnya konsep civil society tidak hanya berhenti pada pengertian
yang dikontraskan dengan political society, namun sarat dengan makna sejarah
dan etika. Oleh karena itu, acuan Locke, Hegel, Marx, dan Gramsci tidak bisa
diabaikan dalam memahami hakikat konsep civil society, misalnya.
Menurut Haryatmoko, terdapat kecenderungan orang yang terjun dalam dunia
politik bermental animal laborans di mana orientasi kebutuhan hidup dan
obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan, cenderung menjadikan
politik tempat mata pencarian utama.
Sindrom yang menyertai adalah korupsi dan egosentrisme. Mereka cenderung
mengabaikan kehadiran yang lain karena mengonsentrasikan diri pada
eksistensinya, pada kebutuhannya.
Memang mereka menyadari hidup dalam kehadiran yang lain, tetapi belum
menjadi ciri pluralitas.
Kehadiran mereka tidak mendasarkan pada identitas, tetapi keseragaman
keanggotaan partai lebih menentukan, kecuali pada tokoh-tokoh tertentu.
Maka, fokusnya adalah bisa bertahan pada kedudukannya.
Tiadanya visi yang jelas ini melemahkan mereka dalam hal prinsip-prinsip
etika politik. Situasi seperti itu menjadi lahan subur bagi korupsi dan
kolusi (hlm.147).
Itulah akibat masalah legitimasi kekuasaan dewasa ini cenderung direduksi
menjadi masalah kepentingan ekonomi. Keberhasilan bidang ekonomi dipakai
melegitimasi kekuasaan (hlm. 162).
Meskipun politik pada dasarnya adalah pertarungan kekuatan dan
kecenderungannya adalah 'tujuan menghalakan segala cara', Haryatmoko
(penulis buku ini) masih melihat peluang bagi wacana normatif.
Sebab dalam politik betapapun kerasnya pertarungan, masih ada kerinduan akan
keteraturan dan kedamaian. Kedua hal ini mengingatkan landasan hidup
bersama: tindakan butuh legitimasi, perlu persetujuan masyarakat, yang
mengandaikan pembenaran normatif (moral, agama, dan kebiasaan) (hlm. 1).
Bahwa tantangan utama filsafat politik di Indonesia adalah kekerasan dan
ketidakadilan.
Bagaimana filsafat politik mampu mengungkap struktur-struktur kejahatan
tersebut? Struktur kejahatan itu adalah akibat politik kekuasaan.
Perimbangan kekuatan politik mengabaikan upaya serius mengatasi korupsi dan
ketidakadilan.
Praktik kekuasaan dijalankan bukan atas dasar etika politik, namun untuk
mempertahankan kekuasaan.
Oleh sebab itu mengenai metodologi meredamnya melalui metode efektif untuk
memahami kekuasaan bukan pertama-tama menganalisa kekuasaan dari
rasionalitas interennya, tetapi lebih dulu mengungkap bentuk-bentuk konkret
penolakan terhadap berbagai kekuasaan (hlm. 228).
Maka banyak konsesi diberikan yang mengorbankan tujuan utama politik (yakni
kesejahteraan bersama). Bukankah kasus penundaan hukuman Akbar Tandjung dan
dukungan kepada Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan bentuk
konsesi itu? Padahal political will dalam memberantas korupsi menentukan
kualitas hukum dan praktik institusi-institusi sosial.
Melalui buku ini dapat dibaca kegeraman Doktor Haryatmoko dalam memandang
realitas sosial berupa carut-marutnya pengelolaan kekuasaan di Indonesia.
Dengan pisau analisa berupa filsafat politik, secara filosofis penulis
menjelaskan keterkaitan sosiologis mengapa para elit bangsa cenderung
melihat ketidakadilan, kekerasan, politik uang, dan beberapa penyakit
politik sebagai hal lumrah seolah "bukan persoalan".
Ia juga menjelaskan dengan nyrempet-nyrempet pada pengamatan empiris, tidak
semata berstandar ilmiah. Yang paling menukik perlu dipahami konsep Michel
Foucault yang mencoba mendefinisikan peran filsafat:
"Merefleksikan situasi baru dalam hubungan-hubungan kekuasaan" (hlm. 229).
Buku ini muncul lebih didasari pada persoalan karena selalu berulangnya
kekerasan bukan hanya masalah insiden politik sesaat, tapi akibat konflik
kepentingan dan politik kekuasaan itu.
Oleh sebab itulah buku ini ditujukan kepada para pejabat yang punya wewenang
mengendalikan (meneruskan/memutus) akses kekerasan terhadap rakyat. Untuk
merekalah buku ini cocok dipersembahkan agar politik tanpa etika tidak
terulang-ulang.

Faktor – faktor Degradasi Fungsi Ulama dalam Berpolitik

Keterlibatan Ulama dalam politik memang diharapkan bisa mengobati kekecewaan dan memberantas penyakit pembusukan politik yang kronis selama ini. Meski demikian, harapan tersebut tidaklah mudah direalisasikan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor;
Pertama, selama ini pemasangan atau keterlibatan Ulama dalam  panggung politik lebih banyak karena popularitas dan bukan karena kualitas perpolitikannya. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh  MT Arifin. Seperti juga dituturkan oleh Saudara Jabir Al Faruqi dalam berbagai diskusi dan tulisannya bahwa sistem perekrutan politikus lebih didasarkan pada pola "perpolitikan bintang''.
Artinya: siapa yang populis akan "diambil''.
Pola tersebut diperlakukan karena kemenangan partai politik dalam pemilu bukan didasarkan pada program, melainkan lebih pada sedikit atau banyak suara yang dikumpulkan. Akibatnya, perekrutaen politikus lebih didasarkan pada popularitas demi untuk mengumpulkan  suara, daripada memilih sosok-sosok yang capable of understanding di bidang politik.
Persoalan yang muncul kemudian adalah selama ini keterlibatan Ulama dalam partai politik lebih didominasi oleh kepentingan mobilisasi
massa daripada bagaimana merumuskan dan memperjuangkan etika
politik. Dukungan massa pun didasarkan pada unsur ikatan emosional
daripada ikatan rasional.
Kedua, kebesaran Ulama sebagian besar menggunakan pengaruh tradisional daripada pengaruh rasional. Padahal, kini sudah memasuki zaman modern, dan semestinya dunia politik pun menginjak ranah rasional.
Memang tidak bisa dipungkiri, meskipun kini zaman makin maju dan rasional, Ulama tetap masih memerlukan kemampuan tradisional. Karena itu, Ulama politikus semestinya selain memiliki pengaruh tradisional juga memiliki pengaruh modern. Jika berhasil memadukan dua kemampuan itu, dimungkinkan Ulama akan bisa berperan banyak.
Namun, dalam kenyataan, baru sedikit Ulama yang memiliki kemampuan-kemampuan penguasaan politik secara makro baik dalam ataran komunikasi, relasi, konseptualisasi, maupun penegakan etika politik.
Ketiga, ada kesan begitu minim kesadaran para Ulama untuk mengakkan etika politik dan benar-benar belajar bagaimana membungkus atau mengemas kritik etis yang sesuai dengan etika politik Indonesia secara makro.
Hal itu terjadi karena ada anggapan begitu kuat pengaruh teologi Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang dianut mayoritas Ulama. Pandangan itu
didasarkan pada realitas empiris bahwa ada perbedaan mendasar
antara Ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Ulama Syi'i dalam berpolitik.
Bagi Ulama Syi'i, Ulama tidak hanya wajib mengetahui etika politik dan fasih bahasa politik, tetapi juga harus memiliki keterlibatan
aktif dalam menegakkan etika politik. Sedangkan Ulama Sunni, memiliki pandangan, Ulama harus paham politik, tetapi tidak harus terlibat dan aktif menegakkan etika politik. Persoalan etika politik diserahkan pada para penguasa dan kaum politikus. Akibatnya, Ulama bersikap pasif dan acuh-tak acuh terhadap penegakan kehidupan politik.
Keempat, masih belum ada konsepsi yang sama di antara Ulama yang bermain di bidang politik praktis tentang tujuan, etika, dan strategi politik. Sehingga ulama yang berada di PPP akan berbebada ulama yang ada di Golkar atau Ulama yang berada di PDI dan Golkar.
Sebetulnya perbedaan dan variasi konsepsi tentang etika politik tidak menjadi masalah, asalkan satu dengan yang lain saling
melengkapi. Namun yang menjadi persoalan, ternyata satu dengan yang
lain masih saling menafikan. Sehingga bila
 terjadi penggusuran Ulama di salah satu partai secara
 besar-besaran, maka hanya kelompok dalam partai itu yang peduli.
Padahal, dalam perspektif keumatan sekarang, sebetulnya umat
 mengharapkan Ulama yang memiliki wawasan makro, jaringan lintas sektor dan lintas partai politik, cerdas dan arif dalam memahami
 perubahan, serta canggih dalam mengadakan manuver-manuver politik.
Namun dalam realitas kehidupan politik kita, sosok seperti itu
sulit didapatkan. Yang ada hanyalah ulama partai tertentu (PPP, Golkar, PDI), sedangkan yang kosmopolit sulit didapatkan.
Kelemahan jaringan ulama baik antarulama maupun dengan berbagai kekuatan, menjadikan ulama selalu marjinal. Ulama selalu
digembar-gemborkan saat menjelang pemilu, tetapi mengalami
degradasi penghormatan setelah pemilu. Karena itu, fenomena
merebaknya ulama dalam DCS pemilu kali ini masih berada pada dua kutub “harapan dan kekhawatiran”

3.3.
3.4. Alternatif Sikap Ulama
Sebagaimana kami jelaskan, berbeda ketika Ulama terjun langsung sebagai politisi dengan mereka yang hanya menjadi tim sukses untuk calon tertentu. Saat Ulama menjadi politisi setidaknya mereka telah mempersiapkan diri dengan skill berpolitik, mereka sudah menghitung segala konsekuensinya, telah memprediksi berbagai kemungkinan dan telah memformat bentuk pengayoman terhadap masyarakat di luar kesibukan politiknya. Akan tetapi ulama yang hanya menjadi simpatisan atau tim sukses, mereka biasanya dirangkul oleh politisi untuk kepentingan mendongkrak suara dalam pemilihan. Dalam hal ini, kepentingan para politisi akan mendominasi kepentingan ulama, untuk itulah katagori ulama kedua ini harus lebih waspada dan selektif dalam berinteraksi dengan para politisi, jangan sampai karena kepentingan para politisi kondisi umat menjadi carut marut.
Ada dua alternatif bagi Ulama non politisi dalam bersikap:Pertama, sikap netral-aktif, yaitu tidak berpihak kepada siapa pun, akan tetapi dia berusaha memperkenalkan profil dan agenda politik setiap calon kepada umatnya, untuk selanjutnya pilihan diserahkan secara penuh kepada masyarakat. Peran Ulama seperti ini lebih efektif dalam mendidik masyarakat mengenal dunia politik dan membimbing mereka dalam menggunakan hak suara, tanpa harus berpihak pada satu calon. Kedua, netral-pasif, yaitu sama sekali tidak menyentuh lingkup politik dalam batas minimal sekalipun, artinya hanya mengayomi moral-relegiuitas umat saja yang menjadi perhatiannya, Ulama yang bersikap demikian biasanya akan lebih diakui keikhlasannya oleh masyarakat.
            Adapun dalam posisi Ulama berpihak pada salah satu calon, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah; berusaha meredam efek perbedaan ijtihad politik di kalangan masyarakat luas, artinya, perbedaan pandangan politik di antara Ulama jangan sampai menimbulkan imbas carut marutnya umat. Tugas Ulama dalam hal ini adalah; menggiring umatnya ke salah satu calon sambil mendewasakan mereka agar tidak konfrontatif terhadap calon dan pendukung lain. Hal ini agar prilaku berpolitiknya tidak seperti politisi non Ulama yang tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap umat.
            Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa keterlibatan Ulama – secara pribadi bukan atas nama organisasi - dalam berpolitik dengan terjun langsung atau hanya sebatas bergabung dalam tim sukses pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota atau kepala desa adalah fenomena alamiah dan bukan sesuatu yang negatif. Bahkan saya melihat fenomena perekrutan para Ulama dalam lingkup politik, khususnya pada saat pemilihan langsung baik tingkat lokal maupun nasional merupakan bukti kuat betapa peran Ulama sangat vital bukan hanya dalam lingkup dakwah keagamaan saja. Wallahu A’lam.
3.4. Arah Siyasah Jamiyyah Persatuan Islam
            Tujuan Persatuan Islam: terlaksananya syariat Islam berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. (Qonun Asasi. Bab I pasal 3).
            Persatuan Islam bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan lainnya menurut tuntunan al-Quran dan as-Sunnah (Qonun Asasi. Bab I pasal 4.3).
            Rencana jihad: mengembangkan dan memberdayakan potensi Jamiyyah sebagai Shurotun Mushoghorotun anil Islaam wa hikmatuhula asma. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan keislaman bagi anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya sehingga tercipta barisan ulama, zu’amma, asbabun, dan hawariyyun Islam yang senantiasa iltijam terhadap risalah Allah (Qonun Asasi. Bab I pasal 5.2).
            Politik adalah seni tentang mungkin dan tidak mungkin. (Ruslan A.G).
            Penegakan Syariat Islam adalah cita – cita utama Persatuan Islam yang menjadi materi inti dakwahnya dan menjadi ruh proses program pendidikannya dan menjadi sumber inspirasi seluruh kiprahnya sebagai organisasi kemasyarakatan.
            Penegakan Syariat Islam tidak sama dengan mendirikan Negara Islam, karena Syariat Islam bias dijalankan dalam Negara bentuk apapun.
            Al-Quran dan as-Sunnah tidak secara eksplisit menentukan bentuk – bentuk pemerintahan. Apakah monarki, atau monarki konstitusional, atau republik, walaupun bentuk pemerintahan yang lain (republik) adalah yang paling mungkin menampung aspirasi Islam.
            Perluka Persatuan Islam menggunakan proses demokrasi dan dengan kendaraan partai mendorong terwujudnya pelaksanaan Syariat Islam?
            Secara teoritis memang partai Islam adalah media yang tepat untuk mengusung upaya pelaksanaan Syariat Islam di Organisasi Bangsa (negara) Indonesia ini.
            Namun, praktek dan kenyataan berdasarkan pengalaman memberi pelajaran berharga agar Persatuan Islam berhati hati dan menghitung dengan cermat dalam menentukan arah siyasah jamiyyah. survei menunjukan betapa marginalnya dukungan terhadap partai Islam dalam pemilu dan cenderung terus menurun walau dengan sedikit variasi dapat dilihat dalam catatan perolehan suara.
1.      1955 = 43,50 %                             6.  1992 = 17,7 %
2.      1971 = 27,11 %                             7.  1997 = 22,3 %
3.      1977 = 29,29 %                             8.  1999 = 17,80 %
4.      1982 = 27,78 %                             9.   2004 = 21,34 %
5.      1987 = 15,97 %
Dari fakta ini dapat dilihat hanya pada Pemilu 1955 partai Islam memperoleh suara cukup besar walaupun masih kalah dengan Partai Nasionalis. Yang jika dihitung secara matematis ekstrim perolehan inipun masih mengecewakan karena 43,50% masih kurang dari setengah jumlah penduduk muslim yang ketika itu secara statistik di kisaran 90%.
            Pada awalnya adanya penurunan perolehan suara dan kecilnya dukungan terhadap partai Islam pada masa Orde Baru, diyakini karena pemerintah pada waktu itu memberlakukan politik yang tidak kompetitif dan melaksanakan Pemilu yang tidak jujur. Ternyata anggapan itu tidak seluruhnya benar, terbukti ketika dilaksanakan Pemilu yang tidak jujur. Ternyata anggapan itu tidak seluruhnya benar, terbukti ketika dilaksanakan Pemilu dengan system yang sangat kompetitif dan dinilai sangat demokratis dan dalam suasana politik yang sangat kondusif ternyata hasil perolehan suara tidak jauh berbeda.
            Pada Pemilu 2004, perolehan suara partai Islam lebih baik. Tanpa PKB dan PAN dukungan yang didapat partai Islam 21,34%. Ini berarti perolehan tersebut naik 7,34%.
            Banyak pihak berpendapat bahwa kenaikan perolehan suara ini disebabkan kinerja PKS yang sangat simpatik. Hal ini dibuktikan dengan perolehan suara PKS sebesar 7,34% yang kalau dijelaskan dengan perolehan jumlah kursi di DPR, PKS memiliki 45 kursi. Padahal 5 tahun sebelumnya hanya 7 kursi.
            Dari kenyataan tersebut, tidak salah banyak orang berpendapat bahwa yang mendongkrak perolehan suara Partai Islam adalah PKS.
            Menurut pengamat politik Bachtiar Effendy, fenomena PKS ini bias dijelaskan dengan mudah. Mengapa Partai ini mendapat dukungan lebih besar? Karena partai ini walaupun berasaskan Islam, tetapi mampu berpolitik dengan agenda- agenda nonprimordial. Alih – alih kampanye Syariat Islam, PKS melarang wakilnya menerima amplop, menganjurkan anggotanya membeli gabah petani, menolong korban banjir dll.
            Bagaimana masa depan dan prospek partai Islam di Pemilu berikutnya?]
            Syaiful Mudzani menjelaskan, partai Islam masa depan tergantung pada kemampuan melakukan pembaharuan identitas. Partai Islam harus lebih inklusif dan transparan, serta tidak mengandalkan isu – isu Islam. Mereka harus mengubah citra si masyarakat, bahwa dirinya bisa menjadi partai semua orang. Kalau mau besar, harus keluar dari stigma partai syariat Islam.
            Melihat kenyataan sikap masyarakat dan iklim berpolitik seperti itu, maslahatlah apabila arah siyasah jamiyyah Persatuan Islam berperan aktif dalam berpolitik praktis?
            Atau akan lebih maslahat apabila Persatuan Islam menjaga jarak dengan partai politik, dan dengan fokus dan bersungguh – sungguh menjabarkan tujuan dengan garapan khas dalam wujud program jihad yang terukur. Arah siyasah Persatuan Islam mengembangkan dan memberdayakan potensi jamiyyah demi terwujudnya jamiyyah Persatuan Islam sebagai Shurotun Mushoghorotun anil Islaam wa hikmatuhula asma.

3.5. Bercermin Pada Uswatun Hasanah Dalam Berpolitik
Dalam ajaran Islam,  ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: ”Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang – pertama kali – harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hokum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para Ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Kata Nabi saw: ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.”  Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’.
Rasulullah saw bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagai pewaris Nabi, mereka harus memiliki kemampuan ilmu dalam masalah risalah kenabian dan sekaligus menjadi panutan dalam ibadah.
Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan.  
Nabi Muhammad saw telah memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda
Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).
3.6 Intermezzo; Sebuah kisah tentang Politik dan Dakwah
[Catatan: Ini cuma cerita khayalan. Nama orang dalam cerita cuma rekaan. Kalau ada yang mirip dengan nama di dunia nyata, ya anggap saja rejeki.]
Ihsan sudah lama gelisah. Hatinya bimbang. Kamar tidurnya belakangan kian terasa sempit dan pengab. Padahal udara sih nyaman-nyaman saja. Ini sudah bulan Nopember 1954, dan hujan sudah sejak dua bulan lalu turun. Memang, udara malam kadang terasa agak lebih hangat dibandingkan bulan-bulan lalu. Tapi sebenarnya hujan telah membuat udara terasa bersih. Harusnya Ihsan bisa tidur lebih nyaman. Tapi nyatanya tidak.
Ihsan gelisah bukan karena apa-apa. Ia bingung mau ikut ajakan siapa. Tahun depan, beberapa bulan lagi, akan ada pemilu. Sebagai orang yang sudah memenuhi syarat, Ihsan akan ikut nyoblos. Ia yakin bahwa nyoblos dalam pemilu ini penting sebab ia ingin turut menentukan siapa pemimpinnya. Namanya juga santri, urusan nyoblos dalam pemilu ia nanya kiai. Kalau urusan nyoblos yang lain-lain bisa saja tidak pakai nanya-nanya kiai. Tapi untuk nyoblos yang ini, mending nanya-nanya dulu. Nah ini dia. Gara-gara itu, mahasiswa tingkat dua di sebuah fakultas kedokteran ini jadi bingung. Dua kiai yang ia tanya memberi jawaban beda-beda. Kiai Umar di pesantren Al-Huda bilang, Ihsan sebaiknya pilih Masyumx, karena partai ini adalah wadah bersama ummat Islam Indonesia yang paling tepat untuk jadi wasilah politik. Tapi Kiai Ali di pesantren An-Nur lain lagi. Beliau nyuruh Ihsan nyoblos partai NX saja. Partai yang baru misah dari Masyumx dua tahun lalu ini, kata Kiai Ali, adalah satu-satunya wadah bagi para ahlussunnah wal-jamaah seperti kita.
Ihsan jadi puyeng. Dua Kiai ini, dua-duanya ia jadikan panutan, kok tumben ngasih nasehat beda-beda. Biasanya nasehat mereka selalu sama. Ya kalaupun ada beda, biasanya cuma beda-beda tipis. Lha ini, urusan nyoblos pemilu kok bedanya jadi rada tebel? Satu nyuruh nyoblos Masyumx, satunya nyuruh milih NX. Bukan cuma pada Ihsan mereka berkata begitu. Dalam tausiyah umum pada masyarakat pun mereka kadang selilpkan pesan seperti itu. Jadi mau ikut yang mana ini?
Ya, ya, ya… Ihsan tahu, Kiai Umar akan nyalon jadi anggota lembaga nasional di Jakarta sana dari Masyumx, sedang Kiai Ali bakal nyalon dari NX. Entah mereka akan nyalon untuk Konstituante atau untuk DPR, Ihsan tak tahu persis. Yang sudah terbayang adalah kebingungan: nyoblos partainya Kiai Umar apa partainya Kiai Ali. Ia harus pilih salah satu. Pilih dua-duanya tidak sah (kecuali kalau beliau-beliau itu nyalon untuk dua lembaga yang beda). Tapi kalau tidak pilih keduanya, gak bisa juga. Ia ingin nyoblos, sebab ini bakalan jadi pengalaman pertama ada pemilu di negeri yang baru beberapa tahun lalu merdeka ini. Apa ia mau pilih PNX? Ah, partai sekuler. Kaum santri masak mau nyoblos partainya orang abangan. Kalla! Atau sekalian saja nyoblos PKX, partainya orang-orang komunis itu? Ah, amit-amit. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Dalam gundah, akhirnya Ihsan memutuskan untuk melakukan salat istikharah. Ia ingin memohon petunjuk Sang Kuasa agar dapat menentukan pilihan secara lebih mudah. Malam itu ia berwudlu lalu siap-siap untuk salat.
Tapi ketika hendak mulai salat istikharah, Ihsan tercenung. Lah, masak salat istikharah menanyakan hal yang terlalu sederhana, cuma urusan nyoblos. Kenapa tidak sekalian bertanya sesuatu yang lebih besar, yang lebih substansial?
Betul juga. Tapi apa yang lebih substansial itu?
Lama Ihsan duduk diam berpikir di atas sajadah-nya. Aroma parfum Hadjar Aswad oleh-oleh Kiai Ali dari tanah suci yang ia usapkan di sajadah tercium samar-samar. Tasbih cendana pemberian Kiai Umar dalam genggamannya meruapkan wewangian lain. Keduanya menemaninya berpikir beberapa lama. Ditimbangnya banyak hal, hingga akhirnya ia bisa menemukan pertanyaan yang tepat. Ah, ternyata mau bertanya saja sulit, apalagi mau menjawab.
Tapi kini Ihsan mantap, dalam salat istikharah ia akan mencari jawaban untuk pertanyaan ini: bisakah politik dan dakwah dituang bersama dalam satu gelas? Ia tahu bahwa Islam adalah kaffah. Ia paham bahwa dakwah dan politik tak bisa dipilih salah satu atau dibuang salah satu. Masalahnya, bisakah keduanya diminum bersamaan dari satu gelas yang sama? Yak, itulah pertanyaannya.
Maka berdirilah ia. “Allahu Akbar…,” ucapnya, dan dimulailah usahanya untuk mencoba melakukan dialog personal dengan Sang Maha Pembimbing.
Usai salat, separuh beban rasanya telah sirna. Maka tidurlah Ihsan malam itu dengan nyenyak, hingga suara tarhim* pagi itu membangunkannya. Bergegas ia wudlu dan pergi ke masjid sebelah untuk salat subuh berjamaah. Hari pun berjalan dalam rutinitas biasa.
Ketika malam tiba, Ihsan mulai gelisah lagi. Mengapa belum ada tanda-tanda jawaban akan pertanyaannya dalam salat istikharah semalam? Mengapa belum ada ilham sama sekali dalam seharian ini untuk dijadikannya sebagai rujukan jawaban? Tilawah Qur’an hari ini juga tak secara khusus bisa ditafsirkannya sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.
“Mungkin harus salat lagi,” batin Ihsan.
Malam itupun ia mengulangi istikharahnya, masih dengan pertanyaan yang sama. Dan malam itupun ia tidur lagi dengan harapan yang sama. Tapi hari esoknya berjalan tetap dalam kekosongan jawaban yang sama. Hari ketiga juga begitu. Esoknya lagi tetap sama. Lusanya juga… dan tak terasa sudah sepuluh malam Ihsan ber-istikharah tanpa menemukan sedikitpun petunjuk yang menenangkan hati.
Malam kesebelas Ihsan salat istikharah lagi dengan keyakinan bahwa jika kali ini tetap belum ada hasil, barangkali memang pertanyaan ini terlalu remeh untuk ditanyakan dalam salat. Atau barangkali jawabannya telah sangat jelas. Entahlah. Dalam gamang yang sempurna, Ihsan ber-takbiratul ihram.
Rampung salat ia tidur dalam kegundahan seperti sebelum salat istikharah di malam pertama. Semua terasa begitu tak jelas. Ia siap-siap kalau tidurnya akan gelisah. Apalagi hujan malam itu deras sekali. Mudah-mudahan tak ada petir yang bisa merusak tidur.
Tapi justru inilah saat. Malam inilah saat datangnya sebuah ilham dalam mimpi yang sama sekali tak diharapkannya. Mimpi itu, rasanya agak janggal. Dalam mimpi itu ia merasa sedang berdiri di atas mimbar sebuah masjid yang sangat indah. Dari atas mimbar itu ia memberikan tausiyah pada jamaah yang tekun mendengarkannya.
“Amma ba’du…,” Ihsan mulai berbicara usai membuka khutbah. “Jamaah rahimakumullah. Politik dan dakwah adalah nafas dan darah bagi ummat Islam.”
Dalam mimpi Ihsan berdeham sedikit, membersihkan tenggorokan. “Tanpa dakwah, kita ini ibarat raga tanpa darah. Tanpa politik, kita ini ibarat makhluk hidup tapi tak bisa bernafas.”
Hadirin manggut-manggut tanda setuju.
Ihsan melanjutkan: “Tanpa dakwah dan tanpa politik, kita sebagai ummat akan ‘laa yamuutu fiiha wa laa yahya‘. Maka kita harus menyeimbangkan kedua-duanya.”
Hadirin makin manggut-manggut. Dan Ihsan dalam mimpi pun kian bersemangat.
“Tapi — ya, tetapi hadirin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, darah dan nafas itu tak pernah tercampur mentah-mentah dalam raga kita. Memang kedua-duanya nanti akan berujung pada niatan besar yang sama, tapi prosesnya terpisah. Kedua-duanya dianugerahi Allah organ yang berbeda kendati letaknya berdekatan. Kita bernafas dengan paru-paru, dan darah kita diatur oleh jantung.” Ah, iya. Dalam tidurpun si mahasiswa fakultas kedokteran ini masih bisa berceramah tentang anatomi.
“Maka oleh karena itulah,” Ihsan menandaskan dengan yakin, “dakwah dan politik pun tak boleh kita campur sembarangan, sama seperti darah dan nafas yang tak bercampur serampangan dalam perjalanan awalnya.”
Setengah sadar Ihsan berusaha membantah ceramahnya dalam mimpi. Tapi diri yang dalam mimpi tak mau di-interupsi. “Dakwah dan politik memang kita harus punya. Kedua-duanya kita harus punya. Harus! Tapi kedua-duanya itu harus kita atur sebaik-baiknya agar tak tercampur secara salah.”
Diri dalam mimpi itu lalu melempar tanya pada hadirin: “Bagaimanakah pencampuran yang salah itu?”
Dijawabnya sendiri, “untuk mengetahui pencampuran yang salah, kita harus mengetahui pencampuran yang benar.” Ah lumayan, belajar kitab As-Sullam dulu membuatnya bisa bermain-main logika sedikit.
“Pencampuran yang benar,” lanjut Ihsan, “adalah ketika politik dilandasi oleh tujuan-tujuan dakwah. Oleh karena itu, pencampuran yang salah adalah adalah ketika dakwah dicampuri oleh kepentingan-kepentingan politik.”
“Ya sodara-sodara,” Ihsan menaikkan suara, “politik harus dipengaruhi oleh niat dakwah, tapi dakwah tak boleh dipengaruhi oleh niat politik.”
“Mengapa?” Ihsan melempar tanya lagi, “mengapa begitu?”
Pertanyaan retoris ini dijawabnya sendiri. “Sebab politik itu urusan kuasa, dan dakwah itu urusan amar ma’ruf nahi munkar. Politik itu, sodara-sodara, bersifat eksklusif. Dakwah itu, sodara-sodara, bersifat inklusif. Yang inklusif boleh mempengaruhi yang eksklusif dan bukan sebaliknya.”
“Dalam politik, saya bisa mengajak sodara-sodara untuk memilih si A. Orang lain mengajak sodara-sodara memilih si B. Sodara-sodara hanya bisa mengikuti ajakan saya, atau mengikuti ajakan orang lain itu. Tak bisa sodara-sodara ikuti keduanya. Itulah contoh eksklusifitas politik.”
“Tapi dalam dakwah, sodara-sodara, kita bisa ikuti seruan kebaikan sesiapapun. Saya mengajak sodara-sodara salat dan zakat. Orang lain mengajak sodara-sodara puasa dan memperbanyak sodaqah. Kedua-duanya bisa diikuti tanpa saling meniadakan. Itulah inklusifitas dakwah.”
“Jadi hadirin,” Ihsan melemparkan kalimat simpulannya, “kita boleh berpolitik dengan niat dakwah, tapi tak boleh berdakwah dengan niat politik.”
Dilihatnya hadirin mengangguk-angguk mantap. Hatinya senang.
“Wallaahul-muwafiq ilaa aqwaamith-thariq,” Ihsan menutup ceramahnya, “wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”
… ‘Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaik. Yaa imaamal-mujaahidiin…’ Suara bacaan tarhim* di masjid sebelah membangunkan Ihsan dari mimpi ceramahnya. Ia membuka mata. Masih dalam baring, ia tercenung. Mimpi aneh, pikirnya. Mengapa ia yang memberikan nasehat, dan bukan orang lain yang memberinya nasehat untuk menjawab kegundahan hatinya?
Ia bangun, menyeret kaki ke kamar mandi, lalu berwudlu. Saat wudlu ia berpikir: Ilham bisa datang dengan cara apa saja. Siapa tahu mimpi ceramahnya tadi adalah sebuah ilham yang sebenarnya telah lama bersemayam dalam diri, dan menemukan jalan keluar dalam mimpi. Mimpi tadi adalah jawaban bagi gundahnya.
Alhamdulillah, bisiknya dalam hati. Aku telah menemukan jawaban. Aku akan bermakmum selalu pada Kiai Ali dan Kiai Umar dalam dakwah. Tapi coblosan tahun 1955 nanti, itu urusan lain…
Dakwah dan politik
Pertanyaannya, bagaimana mungkin memadukan dua hal yang sepintas mengandung kontradiksi itu? Seperti kita tahu, dakwah adalah menyeru, mengajak orang kepada kebaikan, sedangkan politik cenderung lebih banyak berurusan dengan kepentingan.
Pada perbenturan kepentingan, politik cenderung menarik garis batas antara kawan dan lawan walaupun ada adagium di dunia politik: tidak ada kawan atau lawan abadi di dalam politik. Natsir mendamaikan dua dunia yang berbeda itu. Bagi Natsir, kunci bagi keduanya adalah al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia). Seorang dai harus memiliki akhlak mulia, seorang politisi harus punya fatsoen politik.
Dengan akhlak mulia, seorang dai akan dapat meresapi isi hati umat dan mampu memberi bimbingan maksimal kepada umat. Dengan fatsoen politik, seorang politisi akan terhalang dari berperilaku menghalalkan segala cara.
Dakwah yang bersih dan politik yang sementara orang mengatakan kotor, bukan sesuatu yang mustahil untuk dipadukan. Dakwah yang bersih makin bermakna jika mampu memberi nilai tambah bagi lingkungannya yang belum bersih sebab objek dakwah yang sesungguhnya bukanlah masjid atau majelis taklim melainkan pasar dan kerumunan di luar masjid dan majelis taklim.
Dakwah yang dilakukan oleh para dai yang berakhlak mulia adalah teraju bagi aktivis dan aktivitas politik. Dengan keyakinan bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bagi Natsir politik adalah pelaksanaan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al munkar.
Siapa saja yang berbuat baik harus disokong, siapa pun yang berlaku tidak baik harus dikritik. Oleh karena itu sokongan dan kritik bagi Natsir sama harganya.Tidak silau jabatan
Ketika pemerintah memerlukan bantuan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, meski masih di dalam tahanan rezim Soekarno, Natsir tidak segan menulis surat kepada Tengku Abdurrahman untuk menerima delegasi Indonesia. Ketika hak-hak sipilnya masih dibunuh oleh rezim Soeharto, atas inisiatif sendiri, Natsir mengumpulkan tokoh-tokoh Islam untuk mencari solusi ekonomi akibat dibubarkannya IGGI.
Ketika seorang di antara tokoh itu terheran-heran atas prakarsa yang diambil Natsir dan bertanya dalam nada agak curiga, jangan-jangan Natsir mendapat sesuatu dari Soeharto, dengan tenang Natsir menjawab setiap saat pemerintah boleh datang dan pergi, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus tetap berdiri kukuh dan utuh.
Fatsoen dalam berpolitik sangat dijaga oleh Natsir. Ketika Partai Masjumi, tempatnya berkiprah, menolak Perjanjian Linggarjati dan menyatakan oposisi dengan menarik kader-kadernya dari Kabinet Sutan Sjahrir, seizin Masjumi, Natsir, Mohamad Roem, H Agus Salim, dan lain-lain sebagai pribadi bertahan di kabinet karena Natsir, Roem, dan Salim, terlibat sejak awal dalam proses perundingan yang menghasilkan Perjanjian Linggarjatiitu.
Sebaliknya, karena tidak setuju hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menunda masuknya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, meskipun dibujuk oleh Presiden Soekarno, Natsir memilih mundur dan menolak jabatan Menteri Penerangan. Paduan dakwah dan politik menyebabkan Natsir tidak silau oleh jabatan menteri!
Paduan dakwah dan politik juga menyebabkan Natsir dan kawan-kawan sangat mampu menempatkan perbedaan pendapat secara proporsional. Suatu hari di parlemen, Natsir berdebat keras dengan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit. Saking kerasnya perdebatan, mau rasanya Natsir menghantamkan kursi ke Aidit. Akan tetapi, saat rehat justru Aidit membawakan secangkir kopi untuk Natsir dan pembicaraan pun berlangsung hangat mengenai soal-soal keluarga.
Di tangan seorang Natsir yang memulai pendidikannya dari sekolah Belanda, dakwah dan politik dapat dirukunkan. Seperti kata Natsir, politik tanpa dakwah, hancur. Pada masa pancaroba reformasi seperti sekarang ini, banyak pelajaran berharga yang dapat kita tarik dari Natsir.

























BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

4.5. Saran
Solusi agar Ulama Ideologis?
Saya rasa kalaulah ulama itu menyadari betul fungsinya sebagai warasatul anbiya’ maka selesailah sudah segala persoalan. Sebab, yang paling jelas dibebani misi menjadi penerus para nsbi adalah para ulama. Jadi, kita harus terus berusaha mengkaji dan mempraktikkan peri hidup Rasullah saw. secara sempurna di seluruh aspek kehidupan, tentu dengan tidak mengabaikan situasi dan kondisi yang berubah. Sebab, Islam itu cocok ’ala kulli waqt[in] wa zaman. Umat yang banyak ini sangat merindukan keteladanan para ulama. Keteladanan saat ini sangat mahal.
Bagaimana seharusnya hubungan ulama dengan penguasa?
Ulama itu harus mampu menampilkan sosok yang independen, dalam arti, hanya menjadi alatnya Allah untuk melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar. Begitu banyak hadis Rasulullah saw. yang menyatakan, syahid yang paling utama adalah seseorang yang berani tegak mengingatkan penguasa yang zalim. Artinya, mengucapkan kalimah al-haq terhadap penguasa yang zalim (imâm[in] jâ’ir[in]). Kalaulah dia terbunuh maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bersama dengan Hamzah dan  Ja‘far. Dengan cara yang bijak seperti fungsi memberikan tawshiyah, nasihat, dan mengingatkan itu penting dilakukan ulama terhadap penguasa. Jadi, jangan sampai para ulama ’dikepit’ di ketiaknya penguasa. Snouck Horgrounye, ketika akan menaklukkan Aceh, memberikan nasihat kepada pemerintah kolonial Belanda. Pertama: agar pemerintah Belanda bersikap netral saja terhadap Islam sebagai agama. Kedua: bersikap tegas terhadap Islam yang dijadikan sebagai doktrin politik, apalagi dipimpin oleh para ulama yang membangun basis-basis kekuatannya di desa, sehingga semakin mempercepat kehancuran Islam.
Oleh karena itu, ulama mempunyai peran yang sangat strategis dalam menjaga eksistensi agama.

























DAFTAR RIWAYAT HIDUP




DAFTAR PUSTAKA

Pulungan J, Sayuthi, Fiqih Siyasah  ajaran, sejarah, dan pemikiran, RAJAWALI PRESS, Jakarta, 2002.
            Qadir Hamid, Tijani ABN, Pemikiran Politik Dalam Al Quran, Gema Insani, Jakarta. 2001.
   Ahmad zain, kode etik perpolitikan dalam islam, Jakarta, 2008.
            Diponegoro, GS. Ilmu Negara, jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1975.
            Budiarjo Miriam. Dasar-dasar ilmu polotik, PT. Gramedia, Jakarta 1989.
            Ahmad Jamil, Seratus Muslim Terkenal,  terjemahan Tim Penerjemah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1984.



[1] Menurut kamus Al-Munawwir, artinya ; sempurna dan menyempurnakan
[2] Kamus Lengkap Bahasa Inggris, artinya; Jalan hidup
[3] orang-orang yang berhak membentuk suatu system didalam sebuah Negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu
[4] Kamus Almunawwir, Artinya ; Menyeluruh
[5] Jam’iyyah PERSIS adalah sebuah organisasi perjuangan dari kaum muslimin yang sepaham dan sekeyakinan, kaum pendukung dan penegak Qur an Sunnah. Didirikan di Bandung 12 September 1923 oleh sekelompok umat Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Moh. Yunus. (Anshary 1956 : 6. dan lihat juga Wildan, 1995, 28-29)
[6] Kamus Bahasa Inggris-Indonesia: suatu program/rancangan yang tersembunyi
[7] Peran adalah suatu fungsi yang dibawa sesorang ketika menduduki posisi dalam struktur social. Berasal dari kata role yang berarti peran dan peranan, terjadi bila seseorang melakukan hak dan keweajibannya sesuai dengan kedudukannya. (Soedjono. 1998 : 268)
[8] Politik adalah aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang brmaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah dan mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat (Noer.1983:6)
[9] Menurut kamus ilmiah popular degradasi ialah: Pergeseran atau perubahan karakter
[10] Menurut Kamus Bahasa Inggris – Indonesia artinya;  bersifat paksaan
[11] Menurut kamus besar Arab Al-Muannawir artinya  Solidaritas kelompok
[12] Menurut kamus besar Arab Al-Muannawir Artinya: Pemerintah
[13] Ideologi politik menurut kamus popular Bahasa Indonesia dapat didefinisikan sbb: (1) Cara pandang yang berpegang pada tatanan politik yang ada atau dicita-citakan dan dalam pencapaiannya diterapkan srategi berupa program rancangan dll.; (2) Gabungan norma-norma dan kepercayaan yang dimiliki seseorang klompok yang menjadi besar dan memberikan sikap terhadap masalah politik. (Salim, 1991: 101-103)
[14] Terjemah bebas dari Abthony Quinton, Political Philosophy (Oxford University Press), hlm.6
[15] Dikutip dari Maurice Douferg, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Sami DArub; dan Jama Atasi (Daarul Jail, Beirut)
[16] Lihat Fawatih Rahamut yang diterbitkan sbagai bagian pinggir dari kitab al-Musthafa karya Imam Al-Ghazali, juz 1 hlm. 8. (Amiriah, Bulaq, Mesir, cet. I., 1323 H)
[17] Imam Ghazali, op, cit, hlm, 5.
[18] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Darul Ilm, Kuwait, 1987, cet, 12)
*

0 komentar: