Maha Karya Cipta Muhammad Alzibilla... aku menemukan eksistensiku dalam tekananku,tertekan dalam segala arah membuat eksistensi menari begitu indah

KONSEP MASYARAKAT ISLAM

Posted by Muhammad Alzibilla On Jumat, 16 Desember 2011 1 komentar

Konsep Masyarakat Islam

A . Masyarakat Islam
Gagasan masyarakat islam di Indonesia sesungguhnya baru populer sekitar  awal tahun 90-an. Konsep masyarakat islam awalnya, sebenarnya mulai berkembang  di barat. Istilah masyarakat ,madani sebenarnya hanya salah satu diantara beberapa istilah yang sering digunakan orang dalam menerjemahkan kata civil society.
Menurt tokoh M. Ryaas Rasyid  menyatakan bahwa civil society dalam arti masyarakat yang berbudaya berarti suatu masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai social kemanusiaan. Ada juga yang mengartikan sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, yang  berarti bahwa masyarakat adalah anggota dari kelompok social tertentu yang salah satu cirri utamanya adalah atonom terhadap Negara.
Dalam istilah lain, referensi masyarakat madani ada pada kota Madinah, sebuah kota yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah arab, di mana masyarakat Islam di bawah kepimpina Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi.
Masyarakat madani adalah suatu lingkungan interaksi social yang berada di luar pengaruh Negara yang tersusun dari lingkungan masyarakta yang paling akrab seperti keluarga,asosiasi-asosiasi, sukarela, dan gerakan kemasyarakatan lainnya serta berbagai bentuk lingkungan di mana di dalamnya masyarakat menciptakan kreatifitas, mengatur dan memobilisasi diri mereka sendiri tanpa keterlibatan Negara.
Cita-cita masyarakat madani adalah menciptakan bangunan masyarakat yang tidak didasarkan pada yang bersifat kelas/strata. Masyarakat madani hanya dapat berkembang jika tidak disubornasikan diri kepada Negara. Artinya masyarakat bias memperoleh dan mempertahankan hak-hak mereka dan bersama pula memperjuangkan kepentingan mereka yang sah sehingga tidak dimanipulasi Negara.
1.  Konsep dan karaktreristik Masyarakat Madani.
Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat madani pernah dibangun oleh Rasullulah ketika beliau mendirikan komunitas muslim dikota Madinah. Masyarakat madani  yang dibangun oleh Nabi Muhammad tersebut memiliki ciri-ciri : – egalitarianism,penghargaan kepada  manusia berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan,kesukuan,ras,dan lain-lain) keterbukaan partisipasi seluruh anggota ,masyarakat, dan ketentuan kepemimpinan melalui pemilihan umum, bukan berdasarkan keturunan. Semuanya berpangkal pada pandangan hidup berketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada manusia. Masyarakat Madani tegak berdiri di atas landasan kkeadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum.
Dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan misalnya, Nabi Muhammad SAW tidak membedakan antara semua orang. Masyarakat Madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yang mengikat jiwa pada kebaikan bersama. Namun komitmen pribadi saja tidak cukup, tetapi harus diiringi dengan tindakan nyata yang terwujud dalam bentuk amal shaleh.
Dalam mewujudkan pengawasan inilah dibutuhkan keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai makhluk yang lemah mungkin saja mengalami kekeliruan dan kekhilapan. Dengan keterbukaan ini, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk di dengar, sementara dari pihak pendengar ada kesedian untuk mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar.
Selain ciri-ciri yang telah dikemukakan di atas, masyarakat Madani sebagai masyarakat yang ideal juga memiliki karakteristik,sebagai berikut :
a.      Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan  dan menempatkan  hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan social. Manusia secara universal mempunyai posisi yang sama menurut fitrah kebebasan dalam hidupnya,sehingga komitmen terhadap kehidupan social juga dilandasi oleh relativitas manusia di hadapan Tuhan. Landasan hukum Tuhan dalam kehidupan social itu lebih objektif dan adil, karena tidak ada kepentingan kelompok tertentu yang diutamakan dan tidak ada kelompok lain yang diabaikan .
b.      Damai,artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil. Kelompok social mayoritas hidup berdampingan dengan kelompok minoritas sehingga tidak muncul kecemburuan social.  Kelompokyang kuat tidak menganiaya kelompok yang lemah, sehingga tirani kelompok minoritas dan anarki mayoritas dapat dihindari.
c.       Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya. Prinsip tolong menolong antar anggota masyarakat didasarkan pada aspek kemanusiaan karena kesulitan hidup yang dihadapi oleh sebagian anggota masyarakat tertentu, sedangkan pihak lain memiliki kemampuan membantu untuk meringankan kesulitan hidup tersebut.
d.      Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh ALLAH sebagia kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas orang lain yang berbeda tersebut. Masalah yang menonjol  dari sikap toleran ini adalah sikap keagamaan, dimana setiap manusia memiliki kebebasan dalam beragama tidak dapat dipaksakan. Akal dan pengalaman hidup keagamaan manusia mampu menentukan sendiri agama yang dianggap benar.
e.       Keseimbangan antara  hak dan kewajiban social. Setiap anggota masyarakat memiiki hak dan kewajiban yang seimbang untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keutuhan masyarakat sesuai dengan kondisi masing-masing. Keseimbangan hak dan kewajiban itu berlaku pada seluruh aspek kehidupan social, sehingga tidak ada kelompok social tertentu yang diistimewakan dari kelompok social yang lain sekedar karna ia mayoritas.
f.        Berperadapan tinggi, artinya ,masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan hidup manusia. Ilmu pengetahuan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Ilmu pengetahuan memberi kemudahan umat manusia. Ilmu pengetahuan memberi  kemudahan dan meningkatkan harkat martabat manusia, disamping memberikan kesadaran akan posisinya sebagai khalifah ALLAH. Namun,disisi lain ilmu pengetahuan juga bisa menjadi ancaman yang membahayakan kehidupan manusia, bahkan membahayakan lingkungan hidup bila pemanfaatannya tidak disertai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
g.      Berakhlak mulia, sekalipun pembentukan akhlak masyarakat dapat dilakukan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan semata, tetapi realitivitas manusia dapat menyebabkan terjebaknya konsep akhlak yang relative.sifat subjectife manusia sering sukar dihindarkan. Oleh karena itu, konsep akhlak tidak boleh dipisahkan dengan nilai-nilai ketuhanan,sehingga substansi dan aplikasinya tidak terjadi penyimpangan. Aspek ketuhanan dalam aplikasi akhlak memotivasi manusia untuk berbuat tanpa menggantungkan reaksi serupa dari pihak lain.
Oleh karna itu, masyarakat Madani haruslah masyarakat yang demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya menginterpretasi berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban untuk mendengarkan pendapat orang lain.
Umat islam adalah umat yang diberikan kelebihan oleh ALLAH di antara umat manusia yang lain. Umat Islam mempunyai aturan hidup yang sempurna dan sesuai dengan fitrah kehidupannya. Aturan hidup itu sebagai rahmat bagi alam semesta. Ia bersifat universal, mengatur segala aspek kehidupan manusia, terutama bagi kehidupan, islam memberi arahan yang signifikan agar kehidupan manusia selamat dari segala bencana dan azab –nya. Bagi umat islam, hukum ALLAH telah jelas. Al-qur’an dan sunnah memiliki prioritas utama sebagai sumber rujukan bagi banguan sisytem kehidupan yang islami.
Masyarakat Madani merupakan masyarakat harapan bagi umat islam, bukan sekedar masyarakat yang lebih banyak  mengeksploitasi symbol-simbol islam, melainkan masyarakat yang mampu membawakan substansi islam dalam setiap gerak kehidupan masyarakat. Untuk itu masyarakat islam dituntut ikut berperan dalam rangka mewujudkan masyarakat Madani tersebut.
Masyarakat Madani memerlukan adanya pribadi-pribadi yang tulus mengikatkan jiwanya kepada wawasan keadilan. Ketulusan jiwa itu hanya terwujud jika orang tersebut beriman dan menaruh kepercayaan terhadap ALLAH. Ketulusan tadi juga akan mendatangkan sikap diri yang menyadari bahwa diri sendiri tidak selamanya benar. Dengan demikian lahir sikap tulus mengahargai sesame manusia, memiliki kesedian memandang orang lain dengan penghargaa, walau betapa pun besarnya perbedaan ang ada, tidak ada saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.
Masyarakat Madani akan terwujud jika umat islam bergerak serempak, saling menghormati dan melindungi,saling membantu dan mendukung, bukan menyerang dan menghancurkan.
Sungguh kiita semua merindukan keadaan peradaban dunia Islam sebagaimana yang telah ada pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di kota madinah.
Umat islam telah memperkenalkan onsep masyarakat peradaban, masyarakat madani adalah Nabi Muhammad, Rasullullah SAW yang memberikan teladan kearah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota mekah tidak menunjukan hasil yang berarti, allah telah menunjuk kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Dikota itu nabi meletakka dasar-dasar masyarakat madani yaitu kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, social dan politik. Nabi diijinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dai proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran islam.
READ MORE


Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan dsb manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat.

A. Arti Definisi / Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.

1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.

2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.

3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.

4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.

B. Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :

1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

C. Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.

1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia
READ MORE

Kerang Darah (Anadara granosa)

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar

Kerang darah  (Anadara granosa)  adalah sejenis kerang yang biasa dimakan oleh warga Asia Timur dan Asia Tenggara. Anggota suku Arcidae ini disebut kerang darah karena ia menghasilkan hemoglobin dalam cairan merah yang dihasilkannya.
Kerang andara terdapat di pantai laut pada substrat lumpur berpasir dengan kedalaman 10 m sampai 30 m. kerang andara termasuk ke dalam sub kelas lamellibranchia, dimana filament insang
klasifikasi kerang darah adalah sebagai berikut :
Kindom           : Animalia
Fillum              : Moluska
Kelas               : Bivalva
Subkelas          : Pteriomorphia
Ordo                : Arcoida
Famili              : Arcidae
Subfamili         : Anadarinae
Genus              : Anadara
Spesies            : Anadara granosa


Morfologi Kerang Darah (Anadara granosa)
Gambar 1. Morfologi Anadara granosa
Seperti kerang pada umumnya, kerang darah merupakan jenis bivalvia yang hidup pada dasar perairan dan mempunyai ciri khas yaitu ditutupi oleh dua keping cangkang (valve) yang dapat dibuka dan ditutup karena terdapat sebuah persendian berupa engsel elastis yang merupakan penghubung kedua valve tersebut.
Kerang darah mempunyai dua buah cangkang yang dapat membuka dan menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam tubuhnya. Cangkang pada bagian dorsal tebal dan bagian ventral tipis. Cangkang ini terdiri atas 3 lapisan, yaitu
1.      periostrakum adalah lapisan terluar dari kitin yang berfungsi sebagai pelindung.
2.      lapisan prismatic tersusun dari kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma,
3.      lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara, tersusun dari lapisan kalsit (karbonat) yang tipis dan paralel.
Puncak cangkang disebut umbo dan merupakan bagian cangkang yang paling tua. Garis-garis melingkar sekitar umbo menunjukan pertumbuhan cangkang. Mantel pada pelecypoda berbentuk jaringan yang tipis dan lebar, menutup seluruh tubuh dan terletak di bawah cangkang. Beberapa kerang ada yang memiliki banyak mata pada tepi mantelnya. Banyak diantaranya mempunyai banyak insang. Umumnya memiliki kelamin yang terpisah, tetapi diantaranya ada yang hermaprodit dan dapat berubah kelamin.
Kakinya berbentuk seperti kapak pipih yang dapat dijulurkan keluar. Kaki kerang berfungsi untuk merayap dan menggali lumpur atau pasir. Kerang bernafas dengan dua buah insang dan bagian mantel. Insang ini berbentuk lembaran-lembaran (lamela) yang banyak mengandung batang insang. Antara tubuh dan mantel terdapat rongga mantel yang merupakan jalan keluar masuknya air.

Anatomi Kerang Darah (Anadara granosa)
Gambar 2. Anatomi Anadara granosa
Hewan berkaki pipih, cangkok berjumlah dua (sepasang) ada di bagian anterior dan umbo (bagian yang membesar/menonjol) terdapat dibagian posterior (punggung). Cangkol tersusun dari zat kapur dan terdiri dari tiga lapisan, yaitu :
• Periostrakum (luar)
• Prismatik (tengah, tebal)
• Nakreas (dalam, disebut pula sebagai lapisan mutiara)
Alat pernapasan kerang berupa insang dan bagian mantel. Insang kerang berbentuk W dengan banyak lamella yang mengandung banyak batang insang. Pertukaran O2 dan CO2 terjadi pada insang dan sebagian mantel. Mantel terdapat di bagian dorsal meliputi seluruh permukaan dari cangkang dan bagian tepi. Antara mantel dan cangkang terdapat rongga yang di dalamnya terdapat dua pasang keping insang, alat dalam dan kaki. Alat peredaran darah sudah agak lengkap dengan pembuluh darah terbuka. System pencernaan dari mulut sampai anus.
Sistem saraf kerang terdiri dari 3 pasang ganglion yang saling berhubungan:
•ganglion anterior terdapat di sebelah ventral lambung
• Ganglion pedal terdapat pada kaki
• Ganglion posterior terdapat disebelah ventral otot aduktor posterior.
Kerang berkulit ganda secara menyamping dimampatkan conchiferans tertutup dengan suatu kulit/kerang yang terdiri atas dua klep bersendi secara di belakang oleh suatu ikatan sendi. Rongga mantel melingkupi tubuh berisi suatu pasang ctenidia yang diperbesar, dan mantel pantat sering diperluas ke dalam pipa pemindah. Mereka bersifat bentos, sering kali geronggang, atau mungkin epifit dan mereka menduduki suatu  angkatan laut yang luas dan tempat kediaman air tawa(Pratt, 1923)
                   
Kandungan gizi Kerang Darah (Anadara granosa)
Menurut Moeljanto dan Heruwati (1975) diacu dalam Kasry (2003), kerang darah merupakan salah satu jenis kerang yang mempunyai nilai ekonomis penting dan disukai masyarakat. Selanjutnya Ismail (1971) diacu dalam Kasry (2003) mengatakan kerang darah mempunyai rasa yang guring karena mengandung lemak dan kadar protein yang tinggi. Komposisi kimia kerang dara (Anadara sp.) adalah air 83%, lemak 0.91%, protein 10.33% dan kadar abu 1.84% (Moeljanto dan Heruwati 1975 diacu dalam Kasry 2003). Kerang darah yang telah dewasa yang berukuran diameter 4 cm dapat memberikan sumbangan energi sebesar 59 kalori serat mengandung 8 gram protein, 1.1 gram lemak, 3.6 gram karbohidrat, 133 mg kalsium, 170 mg phosfor, 300 SI vitamin A dan 0.01 mg vitamin B1 (Karnadi 1991 diacu dalam Kasry 2003).

READ MORE

PROBLEMATIKA YANG DI HADAPI GURU BAHASA INDONESIA

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar

ABSTRAK: Problematika pembelajaran bahasa Indonesia dalam era globalisasi dan revolusi iptek mau tidak mau mendorong guru bahasa Indonesia untuk berupaya meningkatkan kemampuannya dalam bidang ICT. Di era globalisasi, teknologi informasi berperan sangat penting. Dengan menguasai teknologi dan informasi, kita memiliki modal yang cukup untuk menjadi pemenang dalam persaingan global. Tidak menguasai teknologi informasi berarti identik dengan buta huruf. Pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran oleh guru bahasa Indonesia sangatlah baik dan dianjurkan mengingat pentingnya perkembangan bahasa Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti kita ketahui bahwa masih banyak guru yang belum bisa menguasai dan memanfaatkan ICT dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. Bahkan mungkin belum mengenal apa itu ICT.
PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan, keberadaan sistem informasi dan komunikasi merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan harus memiliki komponen–komponen yang diperlukan untuk menjalankan operasional pendidikan, seperti siswa, sarana dan prasarana, struktur organisasi, proses, sumber daya manusia (tenaga pendidik), dan biaya operasi. Sedangkan sistem komunikasi dan informasi terdiri dari komponen–komponen pendukung lembaga pendidikan untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan pihak pengambil keputusan saat melakukan aktivitas pendidikan. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. ICT bukan lagi menjadi asing dalam dunia pendidikan tetapi sudah menjadi penting dan sangat mendukung dalam dunia pendidikan. “Dahulu”, ada guru yang mengajar penggunaan computer, “Sekarang” banyak guru mengajar penggunaan computer, “Nanti”, guru tak perlu mengajar penggunaan computer. Belajar tentang ICT dilakukan dengan sendiri. Belajar bersama guru harus di gabung dengan belajar dengan sumber belajar lainnya, dimanapun, kapanpun, dan siapapun. Bila seorang guru mampu menggunakan ICT sebagai alat dalam mengajar, dan setiap siswa menggunakannya sebagai alat untuk belajar, maka tidak perlu ICT menjadi mata pelajaran dan masuk dalam kurikulum.
Problematika yang dihadapi oleh guru bahasa Indonesia dalam era globalisasi terkait dengan perkembangan ICT sangat krusial. Perkembangan Teknologi informasi dan komunikasi di era globlaisasi saat ini berimplikasi pada pergeseran paradigma dalam sistem pendidikan. Paradigma baru pembelajaran pada era globalisasi memberikan tantangan yang besar bagi guru. Pada era ini dalam melaksanakan profesinya, guru dituntut lebih meningkatkan profesionalitasnya. Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan keinginan dan kemampuan, baik secara intelektual maupun kondisi fisik yang prima.
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan. Menurut Arifin (2000), guru yang profesional dipersyaratkan mempunyai; 1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di era globalisasi, 2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendi-dikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia, 3) pengembangan kemampuan profesional berkelanjutan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru yang profesional di era globalisasi, yaitu; 1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, 2) penguasaan ilmu yang kuat, 3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi, dan 4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru tersebut terpenuhi, akan melahirkan profil guru yang kreatif dan dinamis yang dibutuhkan pada era globalisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1999), bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang inovatif. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator.
PEMBAHASAN
1.Pembelajaran Bahasa Indonesia di Era Globalisasi
Dalam era globalisasi ini, bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Pembinaan ini paling tepat adalah dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga guru bahasa Indonesialah yang sangat berperan penting dalam menjaga dan melesterikan bahasa Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah sekolah harus menarik dan menyenangkan agar para siswa tidak bosan untuk mengikutinya.
Pihak pemerintah pun telah membantu secara tidak langsung dalam pelestarian bahasa Indonesia melalui Ujian Nasional. Oleh karena itu pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dalam Rencana Strategis Depertemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009 disebutkan bahwa salah satu kendala dalam pemerataan pendidikan di Indonesia adalah cakupan geografis yang luas. Hal ini memerlukan modernisasi pada sistim dan jaringan informasi menggunakan ICT yang memadai. Luasnya wilayah kedaulatan Republik Indonesia dan luasnya sebaran penduduknya dapat dipersatukan dengan jaringan – jaringan teknologi informasi. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mengharuskan pengembangan ICT dalam dunia pendidikan di Indonesia. Agar kualitas sumber daya manusia Indonesia yang merupakan produk dari pendidikan itu semakin baik dan dapat bersaing dalam dunia yang berbasiskan teknologi. Oleh sebab itu Depertemen Pendidikan Nasional melalui PUSTEKKOM melakukan pengembangan terus menerus terhadap ICT untuk dunia pendidikan di Negara kita ini.
Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia “asal orang mengerti”. Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padahal, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan “Bahasa menunjukkan bangsa”, yang membawa pengertian bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepanh, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan.
Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia bukan hanya dipundak guru bahasa Indonesia khususnya dalam pembelajaran, namun terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia.2
2. Guru Bahasa Indonesia di Era Global
Abad ke-21 ini mau tidak mau seorang pendidik khususnya guru bahasa Indonesia harus siap dalam menghadapi era globalisasi. Beberapa diantaranya guru bahasa Indonesia harus mampu berfikir kritis dan problem solver, memiliki kesadaran global tentunya dengan belajar memanfaatkan ICT dalam pembelajaran di sekolah, bias mengarahkan diri dalam mengikuti perkembangan informasi, media, dan keahlian dalam bidang teknologi, produktif dan inovatif, serta mampu berkolaboratif untuk menghadapi tantangan di abad ke-21.
Di era globalisasi juga guru, khususnya guru bahasa Indonesia dituntut dapat fleksibel dan adaptif serta memiliki inisiatif dalam menerima segala informasi dalam bidang pengembagan media pembelajaran. Berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah dalam bidang ICT serta kreatif dan memiliki inovasi dalam hal mengembangkan media pembelajaran berbasis multimedia, kemudian mampu berkomunikasi serta berkolaborasi dengan siswa, guru, dan kepala sekolah secara efektif. Selain itu, guru bahasa Indonesia juga harus memiliki literasi informasi, literasi media, dan literasi ICT yang nantinya akan berguna dalam mengembangkan kompetensinya terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era global ini guru bahasa Indonesia harus melakukan kebiasaan fositif seperti selalu belajar dari atasan, rajin menerapkan pendekatan baru dalam pembelajaran, selalu memanfaatkan ICT, serta memiliki jaringan dan meningkatkan sumber belajar.
3. Guru Bahasa Indonesia dan Perkembangan ICT
Peranan guru bahasa Indonesia dalam pendidikan terletak pada tugas dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan profesinya sebagai alat pendidikan. Tugas dan tanggung jawab tersebut berkaitan erat dengan kemampuan dasar yang disyaratkan untuk memangku jabatan profesi. Kemampuan dasar itu adalah kompetensi guru, yang merupakan profesionalisme guru dalam melaksanakan profesinya. Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekan-kan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan salah satu hasil usaha manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia. Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai kaitan yang erat seperti diketahui bahwa iptek menjadi bagian utama dalam isi pendidikan. Dengan kata lain pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan perkembangan iptek.
Seorang guru yang menguasai teknologi informasi salah satunya adalah guru yang dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian hasil belajar, analisis hasil belajar maupun kegiatan remedial dan enrichment telah memanfaatkan komputer secara optimal. Dokumen administrasi guru semuanya tersimpan secara digital dan setiap saat dapat diakses dan diperbaharui sesuai dengan kebutuhan. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, persoalan waktu dan kesulitan teknis dapat dipangkas sehingga penyusunan dokumentasi administrasi pembelajaran dan dokumentasi soal-soal menjadi lebih mudah, efektif dan efisien.
Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks maka pendidikan dalam segala aspeknya mau tidak mau harus mengakomodasi perkembangan itu, baik perkembangan iptek maupun perkembangan masyarakat. Lembaga pendidikan utamanya pendidikan jalur sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan ajaran seyogianya hasil perkembangan iptek mutakhir, baik yang berkaitan dengan hasil perolehan informasi, maupun cara memperoleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat. Relevansi bahan ajaran dan cara penyajiannya dengan hakikat ilmu, sumber bahan ajaran itu merupakan satu tuntutan yang tidak dapat ditawar- tawar lagi.
Di banyak negara maju, teknologi ICT justru telah menjadi infrastruktur utama dalam hal proses pembelajaran. Lain halnya di Indonesia yang justru mengalami degradasi percepatan dalam hal mengikuti perkembangan teknologi dalam proses belajar mengajar. Khususnya pada sebagian besar sekolah-sekolah di Indonesia masih menggunakan metode pembelajaran pada era 1990an. Banyak faktor yang menyebabkan sistem pembelajaran di Indonesia belum bisa mengikuti perkembangan teknologi. Beberapa diantaranya adalah kurangnya SDM guru – dalam hal ini guru bahasa Indonesia – yang ahli dibidangnya dan menguasai penggunaan teknologi pendukung, serta mahalnya peralatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) seperti komputer dekstop, notebook dan koneksi Internet yang masih dirasakan oleh sebagian besar orang yang terlibat pada proses pembelajaran. Kebutuhan penggunaan ICT tentunya disesuaikan oleh jenis sekolah tersebut. Sekolah berjenis teknik khususnya teknik informatika akan sangat tinggi dalam penggunaan ICT dibanding sekolah umum.
Teknologi komputer dapat berfungsi sebagai teknologi informasi maupun sebagai teknologi komunikasi. Seorang guru dalam konteks ini sejatinya menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Istilah Information and Communication Technology (ICT) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Istilah TIK dalam makalah ini bukan TIK sebagai Mata Pelajaran, melainkan sebagai segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi komputer dalam kegiatan pembelajaran. Dalam konteks ini, TIK sebagai information and communication technology based learning dan multimedia learning.
Secara akademis, pengertian teknologi informasi dapat dibedakan dengan teknologi komunikasi, meskipun pada prakteknya teknologi informasi dan komunikasi ibarat dua sisi mata uang. Teknologi informasi memiliki pengertian luas yang meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, pengunaan komputer sebagai alat bantu, manipulasi dan pengolahan informasi. Sementara teknologi komunikasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat satu ke perangkat yang lainnya. Dalam konteks pembelajaran, ICT meliputi segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan komputer untuk mengolah informasi dan sebagai alat bantu pembelajaran serta sebagai sumber informasi bagi guru dan siswa.
Terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, pada umumnya guru bahasa Indonesia masih berbicara tentang kaidah bahasa dan penggunaan bahasa secara komunikatif belum sampai pada penggunaan bahasa Indonesia di bidang ICT. Maka dari itu, kebutuhan dukungan ICT juga sebagian besar tertuju hanya pada penyediaan informasi global. Bahkan karena itu pula sebagian besar guru bahasa Indonesia beranggapan bahwa mereka tetap bisa berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan ICT yang tinggi dan canggih. Untuk mendukung sistem pembelajaran, mereka merasa masih dapat menyediakannya lewat buku-buku perpustakaan dan koran yang berisi materi- materi tentang bahasa Indonesia. Dalam aktifitas pemberian materi, mereka masih merasa puas dengan menggunakan overhead, papan tulis, dan fotokopi materi.


4. Perkembangan ICT dan Problematika yang Dihadapi Guru Bahasa Indonesia
dalam Pembelajaran
Penggunaan teknologi untuk memperbaiki pendidikan masih dapat dipertimbangkan. Beberapa keuntungan dari penggunaan teknologi informasi untuk sistim pembelajaran di luar kelas adalah: a) penambahan akses untuk belajar, b) penambahan sumber informasi yang lebih baik, c) penambahan ketersediaan media alternatif untuk mengakomodasi strategi pembelajaran yang beraneka ragam, d) motivasi belajar menjadi semakin tinggi, dan, model pembelajaran individu maupun kelompok menjadi lebih potensial (Niemi and Gooler, 1987). Pendapat lain menyebutkan keuntungan potensial penggunaan ICT dalam proses pembelajaran (Massy and Zemsky, 1995) adalah: a) penyediaan akses ketersediaan informasi tanpa batas lewat Internet danonlinedatabase, b) membuka batasan waktu dan ruang untuk aktifitas pembelajaran, c) menjadikan guru bahasa Indonesia sebagai orang terbaik bagi siswa lewat sistem pengajaran berbasis multimedia, d) menyediakan sistem pembelajaran mandiri, menyikapi kepekaan dalam perbedaan cara pembelajaran, dan menyediakan monitoring kemajuan dalam proses pembelajaran secara berkelanjutan, e) membuat penyelenggara edukasi menjadi lebihoutcomeoriented, dengan menambah kemampuan institusi dalam bereksperimen dan berinovasi, f) menambah produktifitas pengetahuan, dan g) memberikan siswa untuk dapat mengontrol proses dan keuntungan dalam belajar dengan secara aktif dan mandiri serta mempunyai tanggung jawab secara personal. Penggunaan teknologi yang membuat edukasi menjadi lebih baik tidak akan terwujud tanpa adanya perubahan paradigma dalam edukasi itu sendiri.
Terkait dengan paradigma pendidikan ternyata di Indonesia masih kebingungan untuk memilih paradigma mana yang paling pas dalam menyelesaikan masalah pembelajaran berbasis ICT. Program dulu baru anggarannya, atau anggarannya dulu baru programnya. Kebingunan ini mungkin karena trauma lama, yakni adanya program yang bagus ternyata tidak didukung oleh adanya anggaran yang tersedia. Atau trauma lama tentang ketersediaan anggaran untuk suatu program ternyata dilatarbelakangi oleh kepentingan dari pihak-pihak nonkependidikan yang memiliki motif-motif untuk mencari keuntungan. Contoh tentang hal ini terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Program pengadaan alat peraga, pengadaan buku pelajaran satu siswa satu buku, bahkan soal sepatu bagi siswa saja kemudian dengan mudahnya disediakan dananya. Tetapi, anggaran yang tersedia itu tenyata tidak dilengkapi dengan konsep dan perencanaan yang matang. Atau konsep yang ada itu dengan mudahnya tidak dilaksanakan secara konsekuen. Ketentuan judul buku pelajaran harus digunakan di sekolah minimal selama lima tahun pelajaran, sebagai contoh, dengan mudahnya dipungkiri oleh sekolah, karena berbagai alasan seperti adanya perubahan kurikulum. Di Malaysia, penggunaan buku pelajaran menggunakan konsep sepuluh tahunan. Buku pelajaran yang digunakan di sekolah Malaysia digunakan selama sepuluh tahun. Buku pelajaran baru dapat diganti atau direvisi setelah melalui mekanisme sepuluh tahunan itu. Jika memang IT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya ingin kita gunakan secepatnya. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Kesiapan pemerintah Indonesia masih patut dipertanyakan dalam hal ini.
Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan sumber daya manusia, proses transformasi teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan ini. Sebab perlu diketahui bahwa Cyber Law belum diterapkan pada dunia Hukum di Indonesia.
Selain itu, masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan sementara penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal bahkan jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia.. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolahan, dan bahkan melalui warung Internet. Hal ini tentunya dihadapkan kembali kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah. Sebab pemerintahlah yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan. Sehingga guru-guru di Indonesia memiliki kesempatan dalam memanfaatkan ICT. Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih dan semakin murah.
Kendala lain yang dihadapi guru bahasa Indonesia khususnya di lapangan ketika membuat persiapan pembelajaran adalah terbatasnya buku sumber materi pembelajaran. Keberadaan perpustakaan di sekolah pun tidak dapat menjawab permasalahan kurangnya sumber belajar. Keterbatasan anggaran yang ada di sekolah semakin melengkapi alasan kurangnya ketesediaan sumber bahan ajar.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat dewasa ini telah memberikan alternatif pemecahan masalah bagi guru dalam mengatasi kesulitan sumber bahan ajar. Internet menyediakan solusi bagi guru dalam membuat persiapan pembelajaran yang berbasis ICT. Guru tinggal mengakses dan berselancar di internet untuk mencari dan menemukan materi yang dibutuhkan sebagai bahan ajar di kelas.
Interconnected Network atau lebih populer dengan sebutan internet adalah sebuah system komunikasi global yang menghubungkan komputer-komputer dan jaringan-jaringan komputer di seluruh dunia. Internet dapat memberikan informasi yang mendidik, positif dan bermanfaat bagi manusia, namun juga dapat dijadikan lahan kejelekan dan kemaksiatan. Hanya etika, mental dan keimanan masing-masing lah yang menentukan batas-batasnya.
Dengan adanya internet sejatinya persoalan kurangnya sumber bahan ajar tidak menjadi persoalan lagi bagi guru, karena internet sendiri adalah lautan informasi di belantara dunia maya. Apapun dapat diakses oleh guru asalkan tahu caranya. Internet adalah pintu gerbang informasi yang terbuka sehingga siapapun dapat mengakses, termasuk siswa. Saat ini, sulit sekali ditemukan siswa yang tidak mengenal dan akrab dengan internet terutama mereka yang tinggal di daerah perkotaan.
Internet telah merubah pola-pola komunikasi, pola sosial dan tatanan nilai yang selama
ini telah mapan di masyarakat, bahkan secara ekstrim telah menafikan batas-batas teritorial antar negara. Informasi bukan lagi milik mereka yang pintar, melainkan milik mereka yang memiliki akses ke media informasi. Jika selama ini guru dipandang sebagai pigur yang serba tahu dan pemegang otoritas tunggal di kelas, maka seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, anggapan tersebut dapat dikoreksi, apalagi jika guru tersebut buta internet. Di jaman sekarang, seorang siswa sah- sah saja lebih pintar dari gurunya karena siswa tersebut sering mengakses internet dan membaca buku ketimbang gurunya.
Namun demikian, saat ini kesadaran akan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi bagi kepentingan dunia pendidikan sudah merasuki semua stockholder pendidikan. Ketika guru mengajar di kelas multimedia, maka disamping menggunakan aplikasi powerpoint sebagai software presentasi, maka guru dapat memasukkan bahan ajar yang berbasis ICT ke dalam presentasi tersebut. Powerpoint dalam kaitannya dengan bahan ajar yang berbasis ICT tidak lebih hanya sebagai media yang menampilkan bahan ajar tersebut supaya lebih menarik. Sementara bahan ajar itu sendiri bersumber dari internet atau pun dibuat sendiri oleh guru dengan menggunakan software tertentu. Selain itu, pemanfaatan ICT untuk pembelajaran oleh guru masih banyak yang belum bisa menguasai bahkan belum mengenalnya, ini masih terlihat banyak sekali yang perlu dikoreksi dan diperbaiki, salah satunya pada salah satu seminar ada pembicara menanyakan, Apakah sudah memiliki Blog pribadi di Internet, Jawaban dari peserta seminar yang menjawab sudah memiliki Blog hanya 10 orang dari total peserta yang hadir yaitu 600 orang sungguh hal yang jika mengingat fungsi blog bisa digunakan untuk media pembelajaran yang sangat baik tapi nyatanya banyak yang tidak bisa atau belum punya blog tersebut..
Pendidikan berbasis ICT memang memerlukan anggaran yang amat besar. Tetapi, untuk melaksanakan program penggunaan ICT tersebut, apa yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun naskah akedemis atau pun semacam blue book yang akan digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk pelaksanaan program tersebut. Katakanlah bahwa anggaran untuk pelaksanaan program ICT tersebut memang sudah disiapkan sepenuhnya oleh pemerintah.
5. Solusi yang Bisa Ditawarkan dalam Mengatasi Problematika Pembelajaran
Bahasa Indonesia dan Perkembangan ICT untuk membekali terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain:

1. Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada
need assessment dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi.

2. Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan, namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator dan pemberdaya masyarakat.
3. Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhanstakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman saing.
4. Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya (belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain yang sangat peduli pada pendidikan.
5. Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah mapun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri.
6. Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar,
sebagai masyarakat belajar seumur hidup.
7. Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan formal, informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan internet, multi media pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb).
PENUTUP
Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. ICT bukan lagi mejadi bahan asing dalam dunia pendidikan tetapi sudah menjadi penting dan sangat mendukung dalam dunia pendidikan. Salah satu bukti pentingnya ICT adalah untuk pemerataan pendidikan dengan kondisi geografis Indonesia yang luas sangat diperlukan ICT. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat telah merambah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk menyentuh dunia pendidikan. Karena itu, sekolah dan guru tidak dapat mengelak dari trend ini hanya karena persoalan anggaran atau pun persoalan keterbatasan akses dan wawasan.
Guru sejatinya memberi contoh kepada siswa bahwa teknologi merupakan suatu keniscayaan yang sedang dihadapi, sehingga penguasaan teknologi adalah sesuatu yang harus direbut oleh siswa. Pemanfaatan teknologi infomasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran perlu diusahakan oleh guru sesuai dengan kemampuan masing- masing sekolah dan guru bersangkutan. Pelatihan internet dan aplikasi tertentu seperti microsoft Office khususnya powerpoint atau aplikasi membuat animasi penting dilakukan untuk para guru di setiap sekolah agar para guru mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis ICT. Pelatihan tersebut baiknya diadakan di setiap sekolah dengan melibatkan seluruh guru mata pelajaran sehingga akan ada pemerataan pemahaman tentang materi pelatihan yang diberikan.
Bahwa terdapat tantangan-tantangan seperti keterbatasan anggaran untuk melengkapi infrastruktur yang mendukung pada penguasaan teknologi informasi dan komunikasi ini adalah fakta, namun satu hal yang perlu dilakukan adalah membuat satu langkah awal yang mengarah pada penguasaan teknologi baik oleh guru maupun oleh siswa. Satu langkah awal selalu diikuti oleh langkah berikutnya dan terkadang oleh suatu lompatan besar. Karena itu, sekolah dan guru harus memprioritaskan penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam program prioritas. Seluruh sumber daya yang ada secara sinergis diarahkan pada pencapaian program ini sehingga diharapkan sebagaimana target pemerintah bahwa tahun 2009, 75% sekolah menengah telah memiliki akses internet dan menerapkan ICT dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.










Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan. (Ed.). 2000. Bahasa Indonesia dalam
Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang, 25- 26 Juli 2001
Efendi, Anwar (Ed). 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Harina Yuhetty dan Hardjito, 2004, edukasi net pembelajaran berbasis internet : tantangan dan peluangnya dalam Mozaik Teknologi Pendidikan (Dewi salma dan Eveline Siregar), Kencana Media Group dan Universitas Negeri Jakarta.
Idris, Naswil, 2001, “Pengembangan dan Peranan Sumber Daya Manusia di Era
Teknologi Informasi”, Semarang
Moeliono, Anton. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi” dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.). Jakarta: Pusat Bahasa
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG
Pateda, Mansoer. 1991. “Pengaruh Arus Globalisasi terhadap Pembinaan Bahasa di
Indonesia”. Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI: Padang: Panitia Penyelenggara
Rakhmat, J.1999 . Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana (terjemahan dari: Approaches
ToDiscourse). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang
Abad XXI. Jakarta: Grasindo
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan (Terj. dari:
Language, Society and Power). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
W. Jorgensen, Marianne dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis WacanaTeori dan Metode
(terjemahan dari: Discourse Analisys). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
READ MORE

Membuka Task Manager yang Dikunci Virus

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar


Selain mengunci registry editor dan mendisable folder options, virus juga mengunci sebuah tool windows yang lain, yaitu Task Manager. Hal ini disebabkan oleh karena fungsi task manager yaitu untuk mengelola program dan process yang berjalan di komputer. Jika task manager masih bisa digunakan, kemungkinan besar user akan bisa membunuh proses dari virus tersebut. Memang ada cara lain yang bisa Anda gunakan untuk membunuh process yang berjalan di komputer, seperti membunuh process melalui command prompt. Namun, banyak dari Anda yang tidak begitu familiar dalam menggunakannya. Jadi, untuk membunuh process virus yang berjalan di komputer, Anda lebih suka menggunakan task manager. Oleh karena itu pada ratikel kali ini Dunai Komputer akan membahas cara membuka task manager yang dikunci oleh virus.
Nah, agar kita bisa membunuh process virus yang berjalan di komputer maka kita harusmengaktifkan task manager yang di-disable oleh virus. Caranya pun tidak susah, mirip dengancara membuka folder options yang di kunci virus.
Untuk membuka task manager yang dikunci oleh virus, ikuti langkah-langkah berikut:
1.       Klik Start »» Run. Ketik “regedit” (tanpa tanda kutip) pada jendela Run dan tekan Enter untuk membuka Registry editor. Jika Registry Editor tidak bisa dibuka, baca cara membuka registry editor yang dikunci oleh virus terlebih dahulu.
2.       Pada jendela Registry Editor, bukalah path “HKEY_CURRENT_USER\Software\Microsoft\Windows\CurrentVersion\Policies\System”
Key Policeis System
3.       Pada sisi sebelah kanan jendela, carilah value yang bernama “DisableTaskMgr” (tanpa tanda kutip). Hapus key tersebut.
Value Disable Task Manager
4.       Anda juga bisa merubah valuenya dengan melakukan double klik. Pada jendela edit value, rubah value dari 1 menjadi 0.
Edit Value Disbale Task Manager
5.       Tutup jendela Registry Editor.
Semuanya telah selesai. Sekarang coba mengakses task manager dengan menekan tombol kombinasi keyboard Ctrl + Alt + Delete. Jika task manager tidak terbuka juga, coba ulangi langkah-langkah tadi. Pastikan Anda sudah menghapus value “DisbaleTaskMgr” atau merubah nilainya menjadi 0.

READ MORE

Hati Mati

Posted by Muhammad Alzibilla On Selasa, 22 Februari 2011 0 komentar
biarkan ku bersetubuh dengan alam tanpa menyimpan harapan apapun dengan siapapun. dan biarkan ku menari dengan keinginanku sendiri sehingga aku tak peduli lagi siapa kamu, apa maumu dan siapa mereka, dan biarkan aku menari dengan dorongan hati yang mati.
(Muhammad Alzibilla)
READ MORE

MENEGUHKAN OTORITAS WAHYU (Upaya Melawan Hegemoni Akal)

Posted by Muhammad Alzibilla On Minggu, 13 Februari 2011 0 komentar
“Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”
(Qs. al-Kahfi: 103-104)
Kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu. Bahkan agar aqidahnya lurus dan terjaga, seorang muslim harus senantiasa memupuknya dengan ilmu. Bila pemahaman terhadap agamanya berdasarkan basis ilmu yang benar, maka aqidah, ibadah dan pemahamannya pun akan benar. Sebaliknya, jika pemahaman terhadap agamanya dengan salah memahami ilmunya, maka ia akan terbawa ke dalam pemahaman dan pengamalan yang keliru bahkan akan menjadi seorang muslim yang ragu-ragu dengan keimanannya. Karena itu, kemungkaran terbesar dalam pandangan Islam adalah kemungkaran dalam bidang aqidah atau kemungkaran yang mengubah bangunan fondasi Islam. Kemungkaran ini diawali dari kemungkaran dalam ilmu pengetahuan. Kemungkaran jenis ini jauh lebih berbahaya dari pada kemungkaran di bidang amal.
Umat Islam dalam Kungkungan Perang Pemikiran
Dalam konteks pemikiran, dunia Islam termasuk negeri ini sedang menghadapi masalah yang cukup pelik. Maraknya produk pemikiran yang memenuhi ruang publik yang terang-terangan dan baru dikemukan atau yang memang sudah lama, meradang di tubuh umat. Dinamika pemikiran dengan munculnya ”isme-isme” lama dengan istilah baru terus datang bertubi-tubi. Menimbulkan berbagai macam anggapan dan tanggapan dari pihak yang pro maupun yang kontra. Kita dihadapkan dengan masalah umat yang cukup rumit. Kita tentu masih ingat istilah-istilah berikut: Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme, Hermeneutika, Feminisme, Positivisme, Sinkretisme dan lain-lain.
Sekularisme

Kata sekular bisa dimaknai sebagai konsep “kekinian dan kedisinian”, atau ruang (spatio) dan waktu (tempora). “Di sini” berarti dunia, dan “kini’ berarti konteks sejarah. Saeculum (Latin) sebagai akar kata sekular berarti masa kini atau zaman kini. Namun karena latar sejarahnya adalah pemisahan otoritas Gereja dan Negara, maka dalam perkembangannya di abad-19 pengertian sekular menjadi wordly not religious or spiritual (duniawi, tidak religius ataupun spiritual). Mengenai definisi Sekularisme, memang agak problematis. Yang cukup runyam adalah ketika memperdebatkan makna “isme” yang melekat pada kata sekular tersebut. Apakah semua “isme” adalah ideologi, ataukah tidak semua “isme” merupakan ideologi? Hal ini menjadi perdebatan yang cukup rumit. Namun jika memahami makna kata sekularisme dengan pendekatan sejarah justru akan lebih mudah. Awalnya sekularisme hanya dimaknai pemisahan Gereja dan Negara. Agama dibiarkan tetap hidup meskipun dalam beberapa ajarannya harus ditundukkan agar lebih masuk akal.
Contoh paling jelas untuk kasus ini adalah munculnya Deisme yang menyatakan bahwa Tuhan menyerahkan alam pada nasibnya sendiri. Voltaire dan Lessing bisa menjadi wakil penganut Deisme ini. Didukung pula oleh John Locke, Leibniz, Hobbes, Hume, dan Rousseau yang menarik agama ke wilayah privat serta mementingkan kewibawaan Negara. Sekularisme awal ini bertujuan memperkuat posisi tawar terhadap Gereja, karena pemisahan Gereja dan Negara waktu itu belum mencapai angka aman. Artinya Gereja masih mungkin menguat kembali. Maka sekularisme pada masa tersebut disebut sekularisme moderat.
Di kalangan muslim sendiri ada beragam tanggapan dalam mendefinisikan sekularisasi. Sebagian besar dari mereka tampak kesulitan untuk memberi batasan antara sekularisasi dan sekularisme.
Muhammad Qutb menganggap sekularisasi sebagai upaya penerapan ilmaniyah, istilah Arab yang ia gunakan sebagai terjemahan sekularisme. Itu berarti sekularisasi pada gilirannya nanti akan menjurus pada Sekularisme yang membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau alla diniyah (non agamis). Analisa Muhammad Qutb tentang Islam dan sekularisme ini bertitik tolak dari sebuah hadits nabi yang menjelaskan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali terasing, berbahagialah orang-orang yang terasing. Mereka selalu memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Alienasi (keterasingan) yang ditakuti Qutb merupakan pengandaian akan datangnya suatu masa dimana Islam terpinggirkan sedangkan ideologi sekuler makin dipuja. Di masa inilah agama terusir dari kehidupan publik. Padahal bagi Qutb, Islam tidak hanya terbatas pada akidah, namun juga tata hukum Syari’ah. Oleh karenanya sekularisme dicap sebagai kebatilan dan layak menjadi musuh Islam.
Sebagai peredam sikap keras terhadap sekularisasi ini, Qutb menawarkan dibukanya pintu ijtihad.
Selain itu, Muhammad al-Naquib al-Attas berpendapat bahwa Islam tidak sama dengan Kristen. Karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Muslim. Mengawali pendapatnya tentang sekularisasi, al-Attas membedakan antara pengertian sekular yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjuk pada pengertian masa kini atau dunia kini. Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika atau terlepasnya dunia dari bayang-bayang religius, pembebasan alam dari noda-noda keagamaan. Ujung-ujungnya al-Attas juga menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal.
Desakralisasi alam menurut al-Attas masih bisa dibenarkan. Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Tanpa harus mengakui sekularisasipun Islam sudah mengenal konsep ini. Sekularisasi sebenarnya bermula dari penafsiran baru teolog Barat terhadap Bible. Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa. Pemikiran sekular seperti itu kemudian menjadi pemahaman yang serba “menyamakan” semua agama, yang lebih dikenal sebagai Pluralisme Agama.
Menurut DR. Adian Husaini MA, pendapat yang mengatakan bahwa “semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama” jelas-jelas merupakan pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah Swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk berdo’a “Ihdinash shirathal mustaqim!” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalan yang dimurkai Allah Swt. dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok atau jalan yang sesat dan ada jalan yang lurus. Dan sekarang bagi kita adalah memilih di antara dua jalan itu.
Sekularisasi merupakan fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika Serikat sesudah berakhirnya Perang Dingin, “Sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan—baik dalam persepsi maupun praktis—untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar, dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya”.1
Bahkan menurut Adian Husani (2005: 28), Arend Theodorvan Leeuwen dalam bukunya Christianity in World History mencatat bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Kristenisasi dan sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal”. Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia—termasuk Indonesia—adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia (Christianity’s gift to the World).
Pandangan Lewis dan Leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, di mana kekristenan mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi wilayah otoritasnya dalam dunia publik, termasuk politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Barat—yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia—sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami oleh peradaban Barat.
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkraman kekuasaan Gereja, yang sangat kuat dan hegemonik di Zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal, dengan tokohnya Abraham Geiger. Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam pemikiran Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, terutama Islam.
Pluralisme
Secara bahasa plural berarti ganda atau beragam. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’adudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Namun dari segi konteks di mana “Pluralisme Agama” sering digunakan dalam study-study dan wacana-wacana sosio-ilmiyah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan defenisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. John Hick, misalnya, menegaskan bahwa: “…Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan—diri menuju pemusatan- hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut—dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama”.
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan “manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu”. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick ini berangkat dari pendekatan substantif yang mengekang agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dengan demikian, telah terjadi proses pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksinistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” (Islam) itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehenshif, tidak reduksionistik.
Liberalisme

Kata liberal secara harfiyah artinya bebas (free), artinya bebas dari berbagai batasan (free from restraint). Kata liberal kemudian menjadi sangat populer. Manusia dijadikan Tuhan, Tuhan dimanusiakan. Akal manusia dipuja, wahyu ditolak, karena dianggap pengganggu kebebasan dan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Kampus-kampus dan ilmu pengetahuan dibebaskan dari ajaran agama. Para imigran Amerika dan Eropa yang trauma dengan konflik agama dan Amerika kemudian menggelorakan semangat kebebasan dengan membuat simbol “patung liberty”. Kata freedom kemudian dijadikan sebagai dasar berdirinya negara Amerika Serikat. Revolusi Perancis juga menggelorakan semboyan “liberty, egality, fraternity” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan).
Liberalisme pada intinya adalah gagasan yang meletakkan ajaran agama dalam dinamika sejarah. Jadi, nilai-nilai agama harus tunduk kepada dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang dianggap tetap. Semua harus berubah mengikuti zaman.
Menurut Adian Husaini dalam “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia”, kalangan kaum liberal terbagi dalam empat kategori, yaitu: Pertama, Liberal profesional. Orang liberal jenis adalah mereka yang hidup matinya diperuntukkan bagi sang pemesan alias si penyandang dana. Orang jenis ini pemikirannya sangat liberal dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya, berusaha meliberalkan orang lain, merasa paling benar dengan keliberalannya, dan menganggap orang yang tidak liberal adalah salah, bahkan tak sungkan-sungkan ia serang siapa pun yang mengganjal liberalisme.
Kedua, Liberal amatir. Ia adalah seorang liberal yang masih kacangan dan keliberalannya masih cetek. Sikap dan pemikiran liberalnya masih ikut-ikutan atau kita kenal dengan sebutan liberal bebek. Ia sama sekali tidak mendapatkan keuntungan yang bersifat materi maupun benefit dalam bentuk apa pun. Ini orang liberal yang “kasihan bangat”. Meminjam istilah Dr. Adian Husaini, MA, “kasihan sekali orang ini”.
Ketiga, Liberal freelance. Karakteristik liberal jenis ini mirip-mirip dengan liberal profesional. Hanya saja ia adalah seorang liberal yang pragmatis dan tidak “ikhlas”. Ia sebetulnya ingin menjadi liberal sejati seperti liberal profesional, tetapi nasib tidak berpihak padanya. Ia menjadi orang liberal yang marjinal. Ia tidak digaji oleh lembaga penyandang dana kaum liberal. Ia hanya mendapat imbalan ala kadarnya dari media yang memuat tulisan-tulisan pemikiran liberalnya. Orang ini juga perlu dikasihani karena tidak mendapatkan apa yang dia harapkan dari si penyandang dana sebagaimana kaum liberal profesional.
Keempat, liberal volunteer. Ia adalah seorang liberal sukarelawan. Biasanya orang-orang dalam kategori ini adalah mereka yang sudah mapan secara materi, pemikiran, status sosial (bahkan ditokohkan), dan relatif berusia lanjut. Seorang liberal volunteer tidak dibayar dengan keliberalannya. Ia menjadi liberal dengan sendirinya karena basic pendidikan dan pergaulannya, tanpa harus terpengaruh dengan liberal profesional. Orang seperti ini adalah liberal yang “ikhlas”. Dia mengacak tatanan agama dan syari’at bukan dalam posisinya sebagai seorang tokoh liberal, melainkan sebagai tokoh masyarakat yang dituakan. Orang liberal seperti ini jauh lebih berbahaya dari pada liberal profesional, karena umat tidak mau tahu dengan keliberalannya, yang penting “ngikut”.
Hermeneutika
Secara etimologi, istilah hermeneutics berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata hermeneias berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah interpretatio untuk tafsir, bukan hermeneusis. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul De optimo genere interpretandi (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis De interpretatione divinae scripturae (Tentang Penafsiran Kitab Suci).
Adapun pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, hermeneutics biasanya dikontraskan dengan exegesis sebagaimana ilmu tafsir dibedakan dengan tafsir. Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi hermeneutika umum (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk membebaskan tafsir dari dogma, ia bahkan melakukan
desakralisasi teks.
Dalam perspektif hermeneutika umum, semua teks diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, apakah itu “kitab suci” (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan historisitas teks dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut. Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis.
Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya hermeneutic circle, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh.
Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistoris pesan atau makna secara sistematis.
Feminisme
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari Barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan.
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism.
Istilah feminis kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar. Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan (diskriminasi) yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan (diskriminasi) tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis. Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidakadilan (diskriminasi), serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut.
Apakah ada agenda pemberdayaan perempuan termasuk dalam gerakan feminisme radikal? Analisa mengenai akar diskriminasi terhadap perempuan menimbulkan berbagai aliran para feminis itu sendiri, yang dikenal dengan sebuat feminisme. Salah satu aliran di dalam feminisme ini adalah feminis radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut: (1). Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya. (2). Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi. (3). Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan. Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal.

Positivisme

Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu: positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik. Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu.
Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu (bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transenden bahkan ia menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas. Tesis positivisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Sinkretisme

Trend Sinkretisme tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dalam sejarah pemikiran agama, dulu maupun kini. Trend Sinkretisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi semua unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru). Sinkretisme juga bisa dimaknai sebagai upaya ‘unitarian’.
Pemahaman-pemahaman (Spilis) tersebut dimunculkan bukan sekedar lewat media elektronik dan cetak, tapi juga diseminarkan di mana-mana. Selain sebagai upaya publikasi, ternyata hal ini dilakukan sebagai agenda yang serius untuk menginternalisasi pemahaman-pemahaman tersebut melalui metode yang ”seakan-akan” ilmiyah. Dalam studi kasus tertentu, misalnya, muncul wacana-wacana terbuka dalam bingkai kebebasan individu, ilmiyah atau akademik seperti:
”Selamat Datang di Area Bebas Tuhan”, ”Kami tidak ingin punya tuhan yang takut pada akal manusia”, ”Kita berzikir bersama anjing hu akbar”. (Dikutip dari Adian Husaini, 2006:98)
”…dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua :‘wahyu verbal’ (wahyu eksplisit dalam bentuk redaksional bikinan Muhamad) dan ‘wahyu non verbal’ (wahyu implisit berupa konteks sosial waktu itu”. (Dikutip dari Jurnal Justisia, edisi 27/2005, cover text: Melawan Hegemoni Wahyu: Upaya Meneguhkan Otoritas Akal)
”Kesucian Palsu sebuah Kitab”. (Bisa dibaca pada Artikel Sumanto Qurthuby dalam buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak-anak Muda Semarang, Semarang: RaSAIL, 2005).
Bahkan ada juga yang berani membuat pernyataan secara terbuka ”Muhamad (Rasulullah Saw.) itu bukan nabi terakhir”, “wahyu (al-Qur’an) sudah tidak relevan lagi; teks harus direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman”. “Teks wahyu yang ada sekarang hanya berlaku bagi zaman atau masa lalu; dan karenanya harus ada rekayasa metodologi penafsiran yang lebih terbuka dan kontekstual” dan lain-lain.
Wawancara beberapa tokoh Liberal pada beberapa tahun lalu yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, mengatakan, istilah “kafir” sudah tidak relevan. (Lebih jelasnya silahkan baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24 atau artikel beliau yang berjudul Dekonstruksi Aqidah Islam).
Ini adalah pernyataan yang sangat berbahaya dan membahayakan aqidah umat Islam. Perlu dipahami bahwa konsep tentang kafir dalam Islam masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita memang harus mengakui bahwa kata kafir dan derivasinya di dalam al-Qur’an sebagian didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Misalnya dalam Qs. Ibrahim ayat 7 disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam al-Qur’an disebutkan, bersyukur ataupun tidak bersyukur; la’in syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersyukur, Aku akan tambahkan nikmat-Ku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azab-Ku amat pedih). Ayat ini dijadikan sebagai dalil orang-orang liberal untuk menguatkan pendapat, “bahwa kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, karakter manusia atau label moral semata dan sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya”.
Ini adalah contoh pemahaman yang sangat membahayakan. Al-Qur’an diotak-atik dengan pemahaman yang sangat berbahaya bagi kesungguhan dan komitmen umat Islam terhadap pemahaman aqidah dan keyakinana agamanya. Perlu diketahui, banyak ayat dalam surat lain dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kata kafir bukan saja terdapat pada ayat 7 surat Ibrahim4 tapi juga terdapat dalam banyak surat di beberapa ayat. Artinya, kafir merupakan sebuah terminologi yang tetap ada dan sangat prinsip dalam pemahaman keislaman. Karena identivikasi ”kafir” atau ”tidak kafir”, bukan sekedar berdasarkan karakter manusia atau sebagai label moral semata, tapi lebih dari itu. Kita tentu masih ingat dengan firman Allah dalam Qs. al-Maidah: 17,
”sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ’sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih Putra Maryam’ dan ’sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga….;”
Fenomena serangan ghazwul fikri terhadap Islam telah berlangsung sekian lama. Mereka ingin menjadikan wajah Islam seburuk mungkin, bisa dengan jalan menampilkan kesan ekstrem dan fundamental—sehingga manusia takut dan ngeri terhadap Islam dan penganut setianya. Mereka yang punya komitmen terhadap Islam, diberikan julukan ekstrimis atau fundamentalis. Akibatnya Islam ditakuti baik oleh pengikutnya sendiri yang terlanjur menjadi korban ghazwul fikri—apalagi oleh orang non muslim. Namun ada kalanya Islam ditampilkan dengan bentuk yang kelewat lembek. Itulah hasil rekayasa musuh-musuh Islam, dan itulah yang dihasilkan oleh ghazwul fikri yang mereka kehendaki. Allah Swt. mengingatkan kita dalam firman-Nya,
”Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (Qs. ash-Shaff:9)
Dalam surat lain Allah Swt. mengingatkan kita,
”orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak akan ridho kepadamu, sampai engkau mengikuti millah mereka”. (Qs. al-Baqoroh: 120)
Karena memang ghazwul fikri berjalan terus menerus, sebagaimana firman-Nya, ”Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup”. (Qs. al-Baqoroh: 217)
Sebuah kondisi yang sangat ironis. Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemologi” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipil, seperti bangunan mengenai “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Kini, di era hegemoni “Barat”, justru dari kalangan muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam. Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya lihat saja kondisi pemahaman kita sebagai umat Islam saat ini. Bahkan akibatnya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Wallahu a’lam.
Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, mereka belum pernah menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Prof. Syed. Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Menurut Al-Attas, “bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekwensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat serta menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaan pun muncul sebagai hasil dari kacaunya nilai-nilai yang dianut.”
Masyarakat Barat pun terjebak dalam berbagai ekstrim dan lingkaran syetan yang tiada ujung pangkal dalam hal nilai. Contoh kasus yang akurat dalam konteks ini adalah masalah isu femenis. Untuk menyukseskan gerakan ini mereka kemudian mencari legitimasinya dari Bible. Mereka tidak lagi menulis God tapi juga Goddes. Sebab gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Bible menurut mereka bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran Bible. Tidak cukup sampai di situ, mereka kemudian membuat gerakan lanjutan yang mengglobal, sehingga titik-titik ekstrim pada gerakan pembebasan “kesetaraan gender (gender equality)” ini juga menjadi trend global. Banyak kalangan Muslim yang kemudian mencoba mengotak-atik ajaran agama Islam yang dinilai membelenggu atau menindas wanita. Ujung-ujungnya adalah upaya untuk mendelegitimasi Kitab Suci al-Qur’an, dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Kitab yang bias gender, sebagaimana fenomena serupa dalam tradisi Kristen.
Nah, jika masyarakat sudah dibuat tidak meyakini kebenaran sumber ajaran agama, maka yang akan dijadikan pegangan adalah akal dan hawa nafsu mereka. Lagi-lagi tidak adak ada standar kebenaran yang mutlak. Pada saat itulah masyarakat akan tersesat ke dalam arus nilai yang serba relatif dan temporal. Kebenaran jadinya bisa diukur dari kesepakatan. Jika masyarakat sepakat bahwa pelacuran, minuman keras, pemerkosaan, pembunuhan, telanjang (buka-bukaan dada dan kemaluan di depan publik) adalah halal dan baik, maka itu dinilai sebagai sebuah kebenaran. Agama bahkan tidak diberi hak atau dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan antara yang baik dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejumlah cendekiawan sekular-liberal kemudian secara terang-terangan mempromosikan paham yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan tidak memiliki komepeten untuk mengurusin masalah seni. Film, misalnya, dianggap sebagai karya seni semata, dan tidak layak dicampuri nilai-nial luhur agama. Tidak ada batas aurat, karena film adalah masalah seni.
Pada tingkat global, cara pandang sekular-liberal gaya Barat ini kemudian diglobalisasikan sebagai bagian dari upaya pelestarian hegemoni. Dalam konteks logika politik dominasi, hal ini memang–dipaksa untuk dianggap sebagai–sebuah kewajaran. Apalagi demokratisasi liberal mengharuskan sekularisasi dan sekaligus pluralisme, yang tidak membedakan manusia atas dasar agama atau ras tertentu, namun manusia diotak-atik atau dikotak-kotakkan atas dasar bangsa dan negara semata. Proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni di bidang bisinis dan ekonomi. Dengan minum Coca-cola atau menyedot Marlboro seseorang dapat merasa menjadi bagian dari masyarakat global yang bergengsi. Apakah produk ini murah atau menyehatkan? Itu bukan urusan, yang penting “gaya”. Begitulah kenyatannya. Hanya cara berpikir yang sudah ter-Westernized yang memungkinkan seorang Muslim menggila mode “polos tengah” yang mempertontonkan: rambut dicat warna-warni, perut, buah dada dan kemaluan diumbar tanpa perhitungan dan tanpa malu sedikitpun.
Kita memang sudah tidak dijajah secara fisik lagi oleh negara-negara Barat, tetapi sebagian kita, sebagai umat Islam masih mengkonsumsi budaya, pemikiran bahkan keyakinannya. Benar kata Erbakan, seorang politisi Turki beberapa tahun yang lalu: “kita telah berhasil mengusir Yunani dari negeri (red. Turki) ini, tapi kita masih mengonsumsi pemikirannya”. Dalam konteks Indonesia juga demikian. Kita telah berhasil mengalahkan bahkan mengusir negara-negara Eropa dan negara “Barat” lainnya, tetapi kita masih mengonsumsi adat, budaya dan pola pikir liberalis, sekularis, sinkretisme, positivis, dogmatis bahkan kesesatan keyakinan mereka.

Renungan Akhir

Sarana dan metodologi untuk menghadapi tantangan umat dengan berbagai macam bentuknya perlu dikreasi dengan penuh pikiran jernih. Di saat tantangan ghazwul fikri dan berbagai permasalahan yang menghantam atau melanda umat dan bangsa ini, selain membutuhkan sosok seperti al-Ghozali (Ulama: Cendekiawan Muslim), kita juga membutuhkan sosok seperti Sholahudin al-Ayubi (Negarawan yang cerdas). Dengan memadukan dua kekuatan ini, insya Allah problematika yang sedang dihadapi oleh umat Islam di negeri ini khususnya dan bahkan dunia umumnya akan segera menemukan titik akhirnya.
Lebih lanjut, sebagai generasi muda, saat ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk terlibat. Saya—tentu kita semua—memiliki obsesi bahwasannya kita mesti membangun apa yang saya sebut sebagai tradisi intelektual.
Ada 3 tradisi utama yang mesti kita gulirkan, yaitu: Membaca, Menulis dan Berdiskusi. Saya kira 3 hal ini sangat layak dijadikan sebagai pagar penguat kita dalam kontek perang yang terus menjadi-jadi seperti saat ini. Bagi saya, perang pemikiran adalah perang yang serius. Karena itu idealnya, tidak ada waktu sedikit pun yang terlewat dari peran-peran kita. Jujur, betapa bahagianya kita jika kemudian kita sebagai generasi muda mau bertanggung jawab dan mempersiapkan diri. Sekali lagi, agenda pembangunan tradisi tersebut adalah penting. Siapapun kita, apapun organisasinya, dari manapun asalnya, kampus apapun tempat kuliah (belajar)nya; mari memulai!
Selanjutnya, semoga pertemuan ini menjadi saksi kesungguhan dalam meningkatkan kadar ilmu pengetahuan kita; semuanya kita tunaikan untuk masa depan Indonesia dan Islam. Mari berilmu, karena kita komitmen dengan kebenaran, insya Allah! []
*Pegiat Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam di Institute For the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)
READ MORE