Maha Karya Cipta Muhammad Alzibilla... aku menemukan eksistensiku dalam tekananku,tertekan dalam segala arah membuat eksistensi menari begitu indah

MENEGUHKAN OTORITAS WAHYU (Upaya Melawan Hegemoni Akal)

Posted by Muhammad Alzibilla On Minggu, 13 Februari 2011 0 komentar
“Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”
(Qs. al-Kahfi: 103-104)
Kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu. Bahkan agar aqidahnya lurus dan terjaga, seorang muslim harus senantiasa memupuknya dengan ilmu. Bila pemahaman terhadap agamanya berdasarkan basis ilmu yang benar, maka aqidah, ibadah dan pemahamannya pun akan benar. Sebaliknya, jika pemahaman terhadap agamanya dengan salah memahami ilmunya, maka ia akan terbawa ke dalam pemahaman dan pengamalan yang keliru bahkan akan menjadi seorang muslim yang ragu-ragu dengan keimanannya. Karena itu, kemungkaran terbesar dalam pandangan Islam adalah kemungkaran dalam bidang aqidah atau kemungkaran yang mengubah bangunan fondasi Islam. Kemungkaran ini diawali dari kemungkaran dalam ilmu pengetahuan. Kemungkaran jenis ini jauh lebih berbahaya dari pada kemungkaran di bidang amal.
Umat Islam dalam Kungkungan Perang Pemikiran
Dalam konteks pemikiran, dunia Islam termasuk negeri ini sedang menghadapi masalah yang cukup pelik. Maraknya produk pemikiran yang memenuhi ruang publik yang terang-terangan dan baru dikemukan atau yang memang sudah lama, meradang di tubuh umat. Dinamika pemikiran dengan munculnya ”isme-isme” lama dengan istilah baru terus datang bertubi-tubi. Menimbulkan berbagai macam anggapan dan tanggapan dari pihak yang pro maupun yang kontra. Kita dihadapkan dengan masalah umat yang cukup rumit. Kita tentu masih ingat istilah-istilah berikut: Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme, Hermeneutika, Feminisme, Positivisme, Sinkretisme dan lain-lain.
Sekularisme

Kata sekular bisa dimaknai sebagai konsep “kekinian dan kedisinian”, atau ruang (spatio) dan waktu (tempora). “Di sini” berarti dunia, dan “kini’ berarti konteks sejarah. Saeculum (Latin) sebagai akar kata sekular berarti masa kini atau zaman kini. Namun karena latar sejarahnya adalah pemisahan otoritas Gereja dan Negara, maka dalam perkembangannya di abad-19 pengertian sekular menjadi wordly not religious or spiritual (duniawi, tidak religius ataupun spiritual). Mengenai definisi Sekularisme, memang agak problematis. Yang cukup runyam adalah ketika memperdebatkan makna “isme” yang melekat pada kata sekular tersebut. Apakah semua “isme” adalah ideologi, ataukah tidak semua “isme” merupakan ideologi? Hal ini menjadi perdebatan yang cukup rumit. Namun jika memahami makna kata sekularisme dengan pendekatan sejarah justru akan lebih mudah. Awalnya sekularisme hanya dimaknai pemisahan Gereja dan Negara. Agama dibiarkan tetap hidup meskipun dalam beberapa ajarannya harus ditundukkan agar lebih masuk akal.
Contoh paling jelas untuk kasus ini adalah munculnya Deisme yang menyatakan bahwa Tuhan menyerahkan alam pada nasibnya sendiri. Voltaire dan Lessing bisa menjadi wakil penganut Deisme ini. Didukung pula oleh John Locke, Leibniz, Hobbes, Hume, dan Rousseau yang menarik agama ke wilayah privat serta mementingkan kewibawaan Negara. Sekularisme awal ini bertujuan memperkuat posisi tawar terhadap Gereja, karena pemisahan Gereja dan Negara waktu itu belum mencapai angka aman. Artinya Gereja masih mungkin menguat kembali. Maka sekularisme pada masa tersebut disebut sekularisme moderat.
Di kalangan muslim sendiri ada beragam tanggapan dalam mendefinisikan sekularisasi. Sebagian besar dari mereka tampak kesulitan untuk memberi batasan antara sekularisasi dan sekularisme.
Muhammad Qutb menganggap sekularisasi sebagai upaya penerapan ilmaniyah, istilah Arab yang ia gunakan sebagai terjemahan sekularisme. Itu berarti sekularisasi pada gilirannya nanti akan menjurus pada Sekularisme yang membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau alla diniyah (non agamis). Analisa Muhammad Qutb tentang Islam dan sekularisme ini bertitik tolak dari sebuah hadits nabi yang menjelaskan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali terasing, berbahagialah orang-orang yang terasing. Mereka selalu memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Alienasi (keterasingan) yang ditakuti Qutb merupakan pengandaian akan datangnya suatu masa dimana Islam terpinggirkan sedangkan ideologi sekuler makin dipuja. Di masa inilah agama terusir dari kehidupan publik. Padahal bagi Qutb, Islam tidak hanya terbatas pada akidah, namun juga tata hukum Syari’ah. Oleh karenanya sekularisme dicap sebagai kebatilan dan layak menjadi musuh Islam.
Sebagai peredam sikap keras terhadap sekularisasi ini, Qutb menawarkan dibukanya pintu ijtihad.
Selain itu, Muhammad al-Naquib al-Attas berpendapat bahwa Islam tidak sama dengan Kristen. Karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Muslim. Mengawali pendapatnya tentang sekularisasi, al-Attas membedakan antara pengertian sekular yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjuk pada pengertian masa kini atau dunia kini. Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika atau terlepasnya dunia dari bayang-bayang religius, pembebasan alam dari noda-noda keagamaan. Ujung-ujungnya al-Attas juga menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal.
Desakralisasi alam menurut al-Attas masih bisa dibenarkan. Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Tanpa harus mengakui sekularisasipun Islam sudah mengenal konsep ini. Sekularisasi sebenarnya bermula dari penafsiran baru teolog Barat terhadap Bible. Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa. Pemikiran sekular seperti itu kemudian menjadi pemahaman yang serba “menyamakan” semua agama, yang lebih dikenal sebagai Pluralisme Agama.
Menurut DR. Adian Husaini MA, pendapat yang mengatakan bahwa “semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama” jelas-jelas merupakan pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah Swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk berdo’a “Ihdinash shirathal mustaqim!” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalan yang dimurkai Allah Swt. dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok atau jalan yang sesat dan ada jalan yang lurus. Dan sekarang bagi kita adalah memilih di antara dua jalan itu.
Sekularisasi merupakan fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika Serikat sesudah berakhirnya Perang Dingin, “Sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan—baik dalam persepsi maupun praktis—untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar, dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya”.1
Bahkan menurut Adian Husani (2005: 28), Arend Theodorvan Leeuwen dalam bukunya Christianity in World History mencatat bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Kristenisasi dan sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal”. Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia—termasuk Indonesia—adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia (Christianity’s gift to the World).
Pandangan Lewis dan Leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, di mana kekristenan mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi wilayah otoritasnya dalam dunia publik, termasuk politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Barat—yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia—sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami oleh peradaban Barat.
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkraman kekuasaan Gereja, yang sangat kuat dan hegemonik di Zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal, dengan tokohnya Abraham Geiger. Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam pemikiran Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, terutama Islam.
Pluralisme
Secara bahasa plural berarti ganda atau beragam. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’adudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Namun dari segi konteks di mana “Pluralisme Agama” sering digunakan dalam study-study dan wacana-wacana sosio-ilmiyah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan defenisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. John Hick, misalnya, menegaskan bahwa: “…Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan—diri menuju pemusatan- hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut—dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama”.
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan “manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu”. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick ini berangkat dari pendekatan substantif yang mengekang agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dengan demikian, telah terjadi proses pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksinistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” (Islam) itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehenshif, tidak reduksionistik.
Liberalisme

Kata liberal secara harfiyah artinya bebas (free), artinya bebas dari berbagai batasan (free from restraint). Kata liberal kemudian menjadi sangat populer. Manusia dijadikan Tuhan, Tuhan dimanusiakan. Akal manusia dipuja, wahyu ditolak, karena dianggap pengganggu kebebasan dan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Kampus-kampus dan ilmu pengetahuan dibebaskan dari ajaran agama. Para imigran Amerika dan Eropa yang trauma dengan konflik agama dan Amerika kemudian menggelorakan semangat kebebasan dengan membuat simbol “patung liberty”. Kata freedom kemudian dijadikan sebagai dasar berdirinya negara Amerika Serikat. Revolusi Perancis juga menggelorakan semboyan “liberty, egality, fraternity” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan).
Liberalisme pada intinya adalah gagasan yang meletakkan ajaran agama dalam dinamika sejarah. Jadi, nilai-nilai agama harus tunduk kepada dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang dianggap tetap. Semua harus berubah mengikuti zaman.
Menurut Adian Husaini dalam “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia”, kalangan kaum liberal terbagi dalam empat kategori, yaitu: Pertama, Liberal profesional. Orang liberal jenis adalah mereka yang hidup matinya diperuntukkan bagi sang pemesan alias si penyandang dana. Orang jenis ini pemikirannya sangat liberal dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya, berusaha meliberalkan orang lain, merasa paling benar dengan keliberalannya, dan menganggap orang yang tidak liberal adalah salah, bahkan tak sungkan-sungkan ia serang siapa pun yang mengganjal liberalisme.
Kedua, Liberal amatir. Ia adalah seorang liberal yang masih kacangan dan keliberalannya masih cetek. Sikap dan pemikiran liberalnya masih ikut-ikutan atau kita kenal dengan sebutan liberal bebek. Ia sama sekali tidak mendapatkan keuntungan yang bersifat materi maupun benefit dalam bentuk apa pun. Ini orang liberal yang “kasihan bangat”. Meminjam istilah Dr. Adian Husaini, MA, “kasihan sekali orang ini”.
Ketiga, Liberal freelance. Karakteristik liberal jenis ini mirip-mirip dengan liberal profesional. Hanya saja ia adalah seorang liberal yang pragmatis dan tidak “ikhlas”. Ia sebetulnya ingin menjadi liberal sejati seperti liberal profesional, tetapi nasib tidak berpihak padanya. Ia menjadi orang liberal yang marjinal. Ia tidak digaji oleh lembaga penyandang dana kaum liberal. Ia hanya mendapat imbalan ala kadarnya dari media yang memuat tulisan-tulisan pemikiran liberalnya. Orang ini juga perlu dikasihani karena tidak mendapatkan apa yang dia harapkan dari si penyandang dana sebagaimana kaum liberal profesional.
Keempat, liberal volunteer. Ia adalah seorang liberal sukarelawan. Biasanya orang-orang dalam kategori ini adalah mereka yang sudah mapan secara materi, pemikiran, status sosial (bahkan ditokohkan), dan relatif berusia lanjut. Seorang liberal volunteer tidak dibayar dengan keliberalannya. Ia menjadi liberal dengan sendirinya karena basic pendidikan dan pergaulannya, tanpa harus terpengaruh dengan liberal profesional. Orang seperti ini adalah liberal yang “ikhlas”. Dia mengacak tatanan agama dan syari’at bukan dalam posisinya sebagai seorang tokoh liberal, melainkan sebagai tokoh masyarakat yang dituakan. Orang liberal seperti ini jauh lebih berbahaya dari pada liberal profesional, karena umat tidak mau tahu dengan keliberalannya, yang penting “ngikut”.
Hermeneutika
Secara etimologi, istilah hermeneutics berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata hermeneias berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah interpretatio untuk tafsir, bukan hermeneusis. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul De optimo genere interpretandi (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis De interpretatione divinae scripturae (Tentang Penafsiran Kitab Suci).
Adapun pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, hermeneutics biasanya dikontraskan dengan exegesis sebagaimana ilmu tafsir dibedakan dengan tafsir. Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi hermeneutika umum (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk membebaskan tafsir dari dogma, ia bahkan melakukan
desakralisasi teks.
Dalam perspektif hermeneutika umum, semua teks diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, apakah itu “kitab suci” (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan historisitas teks dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut. Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis.
Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya hermeneutic circle, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh.
Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistoris pesan atau makna secara sistematis.
Feminisme
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari Barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan.
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism.
Istilah feminis kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar. Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan (diskriminasi) yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan (diskriminasi) tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis. Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidakadilan (diskriminasi), serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut.
Apakah ada agenda pemberdayaan perempuan termasuk dalam gerakan feminisme radikal? Analisa mengenai akar diskriminasi terhadap perempuan menimbulkan berbagai aliran para feminis itu sendiri, yang dikenal dengan sebuat feminisme. Salah satu aliran di dalam feminisme ini adalah feminis radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut: (1). Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya. (2). Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi. (3). Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan. Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal.

Positivisme

Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu: positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik. Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu.
Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu (bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transenden bahkan ia menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas. Tesis positivisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Sinkretisme

Trend Sinkretisme tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dalam sejarah pemikiran agama, dulu maupun kini. Trend Sinkretisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi semua unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru). Sinkretisme juga bisa dimaknai sebagai upaya ‘unitarian’.
Pemahaman-pemahaman (Spilis) tersebut dimunculkan bukan sekedar lewat media elektronik dan cetak, tapi juga diseminarkan di mana-mana. Selain sebagai upaya publikasi, ternyata hal ini dilakukan sebagai agenda yang serius untuk menginternalisasi pemahaman-pemahaman tersebut melalui metode yang ”seakan-akan” ilmiyah. Dalam studi kasus tertentu, misalnya, muncul wacana-wacana terbuka dalam bingkai kebebasan individu, ilmiyah atau akademik seperti:
”Selamat Datang di Area Bebas Tuhan”, ”Kami tidak ingin punya tuhan yang takut pada akal manusia”, ”Kita berzikir bersama anjing hu akbar”. (Dikutip dari Adian Husaini, 2006:98)
”…dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua :‘wahyu verbal’ (wahyu eksplisit dalam bentuk redaksional bikinan Muhamad) dan ‘wahyu non verbal’ (wahyu implisit berupa konteks sosial waktu itu”. (Dikutip dari Jurnal Justisia, edisi 27/2005, cover text: Melawan Hegemoni Wahyu: Upaya Meneguhkan Otoritas Akal)
”Kesucian Palsu sebuah Kitab”. (Bisa dibaca pada Artikel Sumanto Qurthuby dalam buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak-anak Muda Semarang, Semarang: RaSAIL, 2005).
Bahkan ada juga yang berani membuat pernyataan secara terbuka ”Muhamad (Rasulullah Saw.) itu bukan nabi terakhir”, “wahyu (al-Qur’an) sudah tidak relevan lagi; teks harus direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman”. “Teks wahyu yang ada sekarang hanya berlaku bagi zaman atau masa lalu; dan karenanya harus ada rekayasa metodologi penafsiran yang lebih terbuka dan kontekstual” dan lain-lain.
Wawancara beberapa tokoh Liberal pada beberapa tahun lalu yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, mengatakan, istilah “kafir” sudah tidak relevan. (Lebih jelasnya silahkan baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24 atau artikel beliau yang berjudul Dekonstruksi Aqidah Islam).
Ini adalah pernyataan yang sangat berbahaya dan membahayakan aqidah umat Islam. Perlu dipahami bahwa konsep tentang kafir dalam Islam masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita memang harus mengakui bahwa kata kafir dan derivasinya di dalam al-Qur’an sebagian didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Misalnya dalam Qs. Ibrahim ayat 7 disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam al-Qur’an disebutkan, bersyukur ataupun tidak bersyukur; la’in syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersyukur, Aku akan tambahkan nikmat-Ku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azab-Ku amat pedih). Ayat ini dijadikan sebagai dalil orang-orang liberal untuk menguatkan pendapat, “bahwa kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, karakter manusia atau label moral semata dan sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya”.
Ini adalah contoh pemahaman yang sangat membahayakan. Al-Qur’an diotak-atik dengan pemahaman yang sangat berbahaya bagi kesungguhan dan komitmen umat Islam terhadap pemahaman aqidah dan keyakinana agamanya. Perlu diketahui, banyak ayat dalam surat lain dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kata kafir bukan saja terdapat pada ayat 7 surat Ibrahim4 tapi juga terdapat dalam banyak surat di beberapa ayat. Artinya, kafir merupakan sebuah terminologi yang tetap ada dan sangat prinsip dalam pemahaman keislaman. Karena identivikasi ”kafir” atau ”tidak kafir”, bukan sekedar berdasarkan karakter manusia atau sebagai label moral semata, tapi lebih dari itu. Kita tentu masih ingat dengan firman Allah dalam Qs. al-Maidah: 17,
”sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ’sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih Putra Maryam’ dan ’sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga….;”
Fenomena serangan ghazwul fikri terhadap Islam telah berlangsung sekian lama. Mereka ingin menjadikan wajah Islam seburuk mungkin, bisa dengan jalan menampilkan kesan ekstrem dan fundamental—sehingga manusia takut dan ngeri terhadap Islam dan penganut setianya. Mereka yang punya komitmen terhadap Islam, diberikan julukan ekstrimis atau fundamentalis. Akibatnya Islam ditakuti baik oleh pengikutnya sendiri yang terlanjur menjadi korban ghazwul fikri—apalagi oleh orang non muslim. Namun ada kalanya Islam ditampilkan dengan bentuk yang kelewat lembek. Itulah hasil rekayasa musuh-musuh Islam, dan itulah yang dihasilkan oleh ghazwul fikri yang mereka kehendaki. Allah Swt. mengingatkan kita dalam firman-Nya,
”Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (Qs. ash-Shaff:9)
Dalam surat lain Allah Swt. mengingatkan kita,
”orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak akan ridho kepadamu, sampai engkau mengikuti millah mereka”. (Qs. al-Baqoroh: 120)
Karena memang ghazwul fikri berjalan terus menerus, sebagaimana firman-Nya, ”Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup”. (Qs. al-Baqoroh: 217)
Sebuah kondisi yang sangat ironis. Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemologi” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipil, seperti bangunan mengenai “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Kini, di era hegemoni “Barat”, justru dari kalangan muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam. Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya lihat saja kondisi pemahaman kita sebagai umat Islam saat ini. Bahkan akibatnya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Wallahu a’lam.
Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, mereka belum pernah menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Prof. Syed. Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Menurut Al-Attas, “bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekwensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat serta menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaan pun muncul sebagai hasil dari kacaunya nilai-nilai yang dianut.”
Masyarakat Barat pun terjebak dalam berbagai ekstrim dan lingkaran syetan yang tiada ujung pangkal dalam hal nilai. Contoh kasus yang akurat dalam konteks ini adalah masalah isu femenis. Untuk menyukseskan gerakan ini mereka kemudian mencari legitimasinya dari Bible. Mereka tidak lagi menulis God tapi juga Goddes. Sebab gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Bible menurut mereka bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran Bible. Tidak cukup sampai di situ, mereka kemudian membuat gerakan lanjutan yang mengglobal, sehingga titik-titik ekstrim pada gerakan pembebasan “kesetaraan gender (gender equality)” ini juga menjadi trend global. Banyak kalangan Muslim yang kemudian mencoba mengotak-atik ajaran agama Islam yang dinilai membelenggu atau menindas wanita. Ujung-ujungnya adalah upaya untuk mendelegitimasi Kitab Suci al-Qur’an, dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Kitab yang bias gender, sebagaimana fenomena serupa dalam tradisi Kristen.
Nah, jika masyarakat sudah dibuat tidak meyakini kebenaran sumber ajaran agama, maka yang akan dijadikan pegangan adalah akal dan hawa nafsu mereka. Lagi-lagi tidak adak ada standar kebenaran yang mutlak. Pada saat itulah masyarakat akan tersesat ke dalam arus nilai yang serba relatif dan temporal. Kebenaran jadinya bisa diukur dari kesepakatan. Jika masyarakat sepakat bahwa pelacuran, minuman keras, pemerkosaan, pembunuhan, telanjang (buka-bukaan dada dan kemaluan di depan publik) adalah halal dan baik, maka itu dinilai sebagai sebuah kebenaran. Agama bahkan tidak diberi hak atau dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan antara yang baik dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejumlah cendekiawan sekular-liberal kemudian secara terang-terangan mempromosikan paham yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan tidak memiliki komepeten untuk mengurusin masalah seni. Film, misalnya, dianggap sebagai karya seni semata, dan tidak layak dicampuri nilai-nial luhur agama. Tidak ada batas aurat, karena film adalah masalah seni.
Pada tingkat global, cara pandang sekular-liberal gaya Barat ini kemudian diglobalisasikan sebagai bagian dari upaya pelestarian hegemoni. Dalam konteks logika politik dominasi, hal ini memang–dipaksa untuk dianggap sebagai–sebuah kewajaran. Apalagi demokratisasi liberal mengharuskan sekularisasi dan sekaligus pluralisme, yang tidak membedakan manusia atas dasar agama atau ras tertentu, namun manusia diotak-atik atau dikotak-kotakkan atas dasar bangsa dan negara semata. Proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni di bidang bisinis dan ekonomi. Dengan minum Coca-cola atau menyedot Marlboro seseorang dapat merasa menjadi bagian dari masyarakat global yang bergengsi. Apakah produk ini murah atau menyehatkan? Itu bukan urusan, yang penting “gaya”. Begitulah kenyatannya. Hanya cara berpikir yang sudah ter-Westernized yang memungkinkan seorang Muslim menggila mode “polos tengah” yang mempertontonkan: rambut dicat warna-warni, perut, buah dada dan kemaluan diumbar tanpa perhitungan dan tanpa malu sedikitpun.
Kita memang sudah tidak dijajah secara fisik lagi oleh negara-negara Barat, tetapi sebagian kita, sebagai umat Islam masih mengkonsumsi budaya, pemikiran bahkan keyakinannya. Benar kata Erbakan, seorang politisi Turki beberapa tahun yang lalu: “kita telah berhasil mengusir Yunani dari negeri (red. Turki) ini, tapi kita masih mengonsumsi pemikirannya”. Dalam konteks Indonesia juga demikian. Kita telah berhasil mengalahkan bahkan mengusir negara-negara Eropa dan negara “Barat” lainnya, tetapi kita masih mengonsumsi adat, budaya dan pola pikir liberalis, sekularis, sinkretisme, positivis, dogmatis bahkan kesesatan keyakinan mereka.

Renungan Akhir

Sarana dan metodologi untuk menghadapi tantangan umat dengan berbagai macam bentuknya perlu dikreasi dengan penuh pikiran jernih. Di saat tantangan ghazwul fikri dan berbagai permasalahan yang menghantam atau melanda umat dan bangsa ini, selain membutuhkan sosok seperti al-Ghozali (Ulama: Cendekiawan Muslim), kita juga membutuhkan sosok seperti Sholahudin al-Ayubi (Negarawan yang cerdas). Dengan memadukan dua kekuatan ini, insya Allah problematika yang sedang dihadapi oleh umat Islam di negeri ini khususnya dan bahkan dunia umumnya akan segera menemukan titik akhirnya.
Lebih lanjut, sebagai generasi muda, saat ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk terlibat. Saya—tentu kita semua—memiliki obsesi bahwasannya kita mesti membangun apa yang saya sebut sebagai tradisi intelektual.
Ada 3 tradisi utama yang mesti kita gulirkan, yaitu: Membaca, Menulis dan Berdiskusi. Saya kira 3 hal ini sangat layak dijadikan sebagai pagar penguat kita dalam kontek perang yang terus menjadi-jadi seperti saat ini. Bagi saya, perang pemikiran adalah perang yang serius. Karena itu idealnya, tidak ada waktu sedikit pun yang terlewat dari peran-peran kita. Jujur, betapa bahagianya kita jika kemudian kita sebagai generasi muda mau bertanggung jawab dan mempersiapkan diri. Sekali lagi, agenda pembangunan tradisi tersebut adalah penting. Siapapun kita, apapun organisasinya, dari manapun asalnya, kampus apapun tempat kuliah (belajar)nya; mari memulai!
Selanjutnya, semoga pertemuan ini menjadi saksi kesungguhan dalam meningkatkan kadar ilmu pengetahuan kita; semuanya kita tunaikan untuk masa depan Indonesia dan Islam. Mari berilmu, karena kita komitmen dengan kebenaran, insya Allah! []
*Pegiat Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam di Institute For the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)
READ MORE

MANIFESTO JARIK

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar

MANIFESTO


LATAR BELAKANG

Demokrasi tanpa kebebasan sipil. Demikian, kira-kira, istilah yang tepat untuk menggambarkan kehidupan sosial politik Indonesia pasca-reformasi. Memang, terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu) pada 1999 dan 2004 yang realtif bersih dan jujur telah memberikan sedikit harapan bagi masa depan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun demikian, keberadaan Pemilu yang bersih dan jujur—sebagai implementasi dari prosedur-prosedur demokrasi—tersebut tidak lantas dengan sendirinya mampu menutupi masalah kemanusiaan fundamental lainnya yang lebih bersifat substansial: krisis kebebasan.
Sebagaimana lazim terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan tampaknya masih menjadi barang langka di Indonesia. Karena menjalankan ibadah salat dengan menggunakan dua bahasa (Arab dan Indonesia), ustadz Usman Roy ditangkap oleh aparat keamanan untuk kemudian dipenjarakan, sementara peseantren dan para pengkutnya dibubarkan secara paksa. Hal senada juga dialami oleh komunitas “Eden” di Jakarta. Bahkan, sebagai pemimpin dari komunitas ini, Lia “Eden” ditangkap dan terancam mendapat hukuman berat karena dianggap sebagai nabi palsu yang telah melakukan penodaan terhadap ajaran agama Islam. Bahkan, tidak saja dianggap sebagai kelompok sesat dan menyesatkan, jemaah Ahmadiyyah mengalami penganiyaan yang tidak manusiawi berupa penyerangan fisik, teror mental, dan pengusiran dari rumah mereka sendiri. Penganiyayaan ini dialami oleh segenap jemaah Ahmadiyyah di seluruh pelosok Indonesia lantaran mereka diangap tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir umat Islam.
Tidak hanya itu. Absennya kebebasan di Indonesia pasca-Reformasi juga ditandai oleh aksi-aksi jalanan kelompok-kelompok berjenggot dan berjubah putih. Dengan retorika-retorika agama dan teriakan ‘Allahu Akbar”, mereka turun ke jalan untuk melakukan swepping terhadap tempat-tempat hiburan yang dianggap sebagai ladang kemaksiatan. Bahkan, karena tidak puas dengan aksi jalanan, kelompok radikal ini menggalang kerja sama dengan kelompok-kelompok Islam konservatif untuk memperjuangkan legislasi Rancangan Undang-undang Anti-Pornoaksi dan Pornografi (RUU APP) di parlemen (DPR RI) yang oleh banyak pihak disinyalir sebagai rancangan undang-undang yang berpotensi mengancam prinsip-prinsip kebebasan sipil (civil liberties) serta merusak nilai “Bhineka Tunggal Ika” yang sedari awal sudah menjadi karakter bangsa Indonesia.
Bersamaan dengan penangkapan dan penganiyayaan yang dialami oleh ustad Usman Roy di Malang, komunitas “Eden” di Jakarta dan jemaah Ahmadiyyah di seluruh Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi keislaman di Indonesia, termasuk NU dan Muhammadiyyah, mengeluarkan beberapa fatwa yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok seperti Ahmadiyyah, komunitas “salat dua bahasa” dan komunitas “Eden” adalah kelompok yang “sesat dan menyesatkan,” serta bertentangan dengan Islam. Selain itu, MUI juga berusaha memberikan pelabelan “sesat dan menyesatkan” kepada kelompok-kelompok Islam yang berhaluan liberal dan pluralis dengan memunculkan fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa sekularisme, liberalisme dan pluralisme adalah paham-paham yang “sesat dan menyesatkan” serta haram hukumnya bagi umat Islam untuk menganut paham-paham tersebut.
Dengan demikian, bisa dikatakan hubungan sebab-akibat antara persepsi keislaman yang ekslusif dan tertutup pada satu sisi, dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan umat Islam yang cenderung tidak toleran terhadap penafsiran, keyakinan dan praktik keagamaan lain yang berbeda. Pada titik ini, bisa dikatakan bahwa krisis pemikiran keislaman telah menyebabkan munculnya krisis kebebasan yang sangat akut.
Oleh karena itu, terasa sangat diperlukan perlu untuk membuat sebuah jaringan generasi muda muslim yang mampu berpikir kritis terhadap wacana dan paradigma keislaman tradisional yang ekslusif pada satu sisi, dan mampu menjawab persoalan-persoalan keislaman dalam konteks keindonesiaan dan kemoderenan di lain sisi. Atas dasar pertimbangan itulah, Jaringan Islam Kampus (Jarik) lahir. Jaringan ini diharapkan mampu malakuakn transformasi civil society sehingga dapat memunculkan sebuah atmosfir yang kondusif bagi terciptanya—bukan sekedar illiberal democracy seperti yang ada selama ini, tapi—demokrasi liberal, yakni sistem politik demokrasi yang didasarkan atas penghargaan terhadap prinsip-prinsip kebebasan sipil (civil liberties).

PILAR-PILAR PEMIKIRAN

1. Pencerahan, Kritik dan Rasionalitas
Jaringan Islam Kampus adalah komunitas generasi muda Muslim yang berusaha mencurahkan segenap kemampuan intelektual guna melakukan berbagai upaya ijtihad kontemporer atau pembaharuan pemikiran Islam. Tujuan utamanya adalah merintis sebuah proyek Pencerahan di Indonesia yang berbasis keumatan dan kebangsaan. Dalam hal ini, Jaringan Islam Kampus memahami konsep Pencerahan dimaksud adalah seperti yang dirumuskan Immanuel Kant: “pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan manusia untuk memakai pengertiannya tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri berarti bahwa ketidakmatangan ini tidak disebabkan oleh kekurangan dalam akal budi, melainkan dalam kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan dari orang lain. Sapere aude! Beranilah memakai akal budimu sendiri.”
Mengapa Pencerahan? Jaringan Islam Kampus sangat menyadari bahwa umat Islam Indonesia saat ini tengah mengalami krisis rasionalitas, yakni krisis nalar atau krisis epistemologi keagamaan. Umat Islam di Indonesia tidak bisa memilah secara kritis antara teks-teks keagamaan dan maksud-maksud pewahyuan yang menjadi elan vital dari kemunculan Islam pada satu sisi, dengan realitas historis yang senantiasa berkembang di lain sisi. Akibatnya, umat Islam tidak mampu lagi memberikan respon aktual yang tepat dan proporsional terhadap problem-problem kemanusiaan dan kemasyarakatan kontemporer dalam konteks keindonesiaan dan kemodernan.
Dalam pemikiran Islam, krisis rasionalitas ini terjadi karena rasio begitu saja disubordinasikan di bawah teks-teks keagamaan. Hal ini merupakan warisan dari paradigma pemikiran Islam skolastik, yang anti-rasionalitas, bernuansa teosentris serta disemangati oleh pendekatan harfiyah dan fiqhiyah dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah, dalam melihat dan menyikapi setiap masalah yang muncul. Paradigma seperti ini akan senantiasa membutakan mata umat Islam terhadap gerak realitas yang terus berubah dari masa ke masa. Akibatnya, dalam menghadapi setiap masalah yang ada, umat Islam akan selalu berpaling kepada teks-teks kitab suci untuk mencari jawabannya. Padahal, al-Qur’an dan al-sunnah adalah diskursus keagamaan yang dimunculkan untuk merespon masalah-masalah masyarakat Arab pada abad ke-7 M.
Pada titik ini, Jaringan Islam Kampus adalah komunitas epistem madani yang berusaha mengumandangkan kembali seruan Immanuel Kant untuk berani memakai akal budi, menggunakan rasionalitas: Sapere Aude! Dalam konteks dunia Islam, proyek kritik pemikiran atau kritik nalar ini ditujukan kepada upaya-upaya pembebasan diri dari otoritarianisme agama berbentuk ortodoksi pemikiran Islam di bidang fiqih, kalam, filsafat dan tasawuf yang menghegemoni dan mendominasi pemikiran keagamaan umat Islam. Kritik pemikiran ini mutlak sangat dibutuhkan karena hingga saat ini terdapat anggapan yang diyakini secara umum di kalangan umat Islam bahwa wacana hegemonik itu seolah-olah telah mencapai kebenaran akhir dan karena itu merupakan—meminjam istilah Francis Fukuyama—the end of history, yaitu puncak dan akhir dari evolusi pemikiran keagamaan dalam Islam. Persepsi mengenai hal ini juga tercermin dalam pandangan “pintu ijtihad telah tertutup” yang kemudian melahirkan sikap taqlid.
Dengan demikian, tujuan akhir dari seluruh proyek kritik pemikiran Islam ini adalah tegaknya otonomi rasio yang akan dijadikan pijakan dalam berijtihad guna menyikapi problem-problem kemanusiaan dan kemasyarakatan kontemporer, seperti masalah demokrasi, hak-hak asasi manusia (HAM), kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar-agama. Di sini, rasio menjadi otonom karena ia tidak lagi terikat pada paradigma lama dan tidak pula terkerangkeng di dalam teks yang tidak berubah dan tidak bisa diubah itu. Bagi Jaringan Islam Kampus, penggunaan rasio secara otonom sama sekali tidak bertentangan dengan spirit agama, karena akal budi merupakan anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bahkan, Tuhan dan Rasul-Nya justru memberikan perintah kepada umat Islam guna menggunakan akal pikiran sepenuh-penunya. Atau, merujuk kepada Milan Kundera, tatkala manusia berpikir, maka Tuhan pun tertawa.
2. Otonomi dan Kebebasan
Bagi Jaringan Islam Kampus, kepercayaan sepenuhnya pada kemampuan dan penggunaan rasionalitas sangat terkait erat dengan konsep otonomi dan kebebasan manusia. Adalah Immanuel Kant, dalam Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, mengatakan bahwa “semua bakat alamiah dari setiap mahluk ditakdirkan untuk berkembang sepenuh-penuhnya menuju tujuan kodratnya.” Kemudian, “Pada manusia (sebagai satu-satunya makhluk berakal budi di atas bumi) bakat-bakat alamiah tersebut, yang diarahkan kepada penggunaan akal-budi, akan berkembang sepenuh-penuhnya dalam jenis, dan bukannya dalam setiap diri seorang individu.” Berdasarkan cita-cita humanisme Kantian dan humanisme Renaissance: humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri), Jaringan Islam Kampus sangat percaya bahwa setiap manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan-tujuan lain, tetapi harus dijadikan tujuan pada dirinya dirinya sendiri.
Berpijak pada humanisme Renaissance dan humanisme Kantian yang kemudian mengkristal dalam bentuk prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) yang sudah diakui keberadaannya melalui sebuah deklarasi internasional, konsep otonomi dan kebebasan manusia tersebut sebenarnya secara gamblang telah termaktub di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Artinya, konsep otonomi dan kebebasan manusia juga telah menjadi bagian integral dari hak-hak sipil (civil rights) warga negara di Indonesia, yang di antaranya, ialah: hak-hak politik untuk memilih dan dipilih; hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan sesuai dengan kemanusiaan, paling tidak hak-hak dasarnya, yaitu akses terhadap kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang papan, kesehatan dan pendidikan yang merupakan freedom from want; hak terhadap kebutuhan keamanan (freedom from fear), kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama (freedom of spech and expresion).
Dalam kerangka konsep otonomi dan kebebasan manusia, Jaringan Islam Kampus memperjuangkan tegaknya prinsip-prinsip sekularisme, liberalisme dan pluralisme di Indonesia. Sebab, konsep otonomi manusia, khususnya dalam bidang kehidupan beragama, pertama-tama harus diletakan pada lokus akidah dan keimanan, karena keduanya merupakan bagian dari masalah individual. Penempatan iman dan akidah kepada otoritas setiap individu dengan sendirinya akan menciptakan kebebasan beragama. Pengembalian iman dan akidah kepada otoritas individu yang otonom inilah yang dijadikan dasar pemikiran dalam prinsip liberalisme. Hal ini berbeda, misalnya, dengan masalah negara dan masyarakat yang termasuk ke dalam wilayah publik, yang karenanya harus dibahas secara rasional dan demokratis.
Selanjutnya, seperti juga diyakini oleh John Rawls dalam Political Liberalism, Jaringan Islam Kampus berkeyakinan bahwa konsep otonomi iman dan akidah bagi setiap individu yang kemudian melahirkan konsep kebebasan beragama berimplikasi pada munculnya pluralitas pandangan dan ekspresi keberagamaan. Karenanya, cara yang paling masuk akal dalam menyikapi pluralitas ini adalah prinsip pluralisme. Tentu saja, istilah pluralisme di sini tidak boleh disamakan secara serampangan dengan indiferentisme, yakni paham yang menganggap bahwa semua agama itu sama saja. Sebaliknya, prinsip pluralisme justru berasumsi bahwa setiap agama, bahkan semua penghayatan individual terhadap agama, memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang harus dihargai. Karena itu, bisa dikatakan bahwa seorang liberal sejati yang menghargai otonomi dan kebebasan individu dalam beragama sudah pasti juga akan menjadi seorang pluralis.
Namun demikian, prinsip liberalisme dan pluralisme dalam kehidupan beragama ini juga tidak akan terwujud dengan baik jika negara sebagai organisasi kekuasaan didasarkan pada satu agama tertentu dalam bentuk tatanan teokrasi. Karenanya, prinsip lain yang juga harus ditegakan guna mewujudkan serta menjamin otonomi dan kebebasan manusia adalah sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan negara. Pemisahan ini mutlak harus dilakukan agar tidak terjadi pemanfaatan agama oleh negara dan juga sebaliknya, dominasi dan hegemoni agama tertentu terhadap negara. Dalam hal ini, sekularisme tidak boleh diartikan sebagai paham anti-agama yang mengarah kepada bentuk ateisme, tapi sekularisme dimaksud sepadan dengan perspektif teori sosial tentang konsep sekularisasi dan diferensiasi peran agama dalam kehidupan sosial.

PILAR-PILAR PERJUANGAN

Bagi Jaringan Islam Kampus, Pilar-pilar Pemikiran di atas—meminjam istilah Kontowijoyo—adalah sebuah interpretasi untuk aksi. Karenanya, diperlukan pula –rancangan-rancangan strategis guna dijadikan pijakan dalam melakukan transformasi sosial. Maka, Jaringan Islam Kampus juga telah membuat rumusan Pilar-pilar Perjuangan sebagai berikut.
1. Pembentukan dan Penguatan Nalar Publik Agama-agama
2. Penegakan Prinsip Kebebasan Beragama
3. Penegakan Hak-hak Sipil Keagamaan
4. Penguatan Prinsip Toleransi dan Pluralisme dalam Kehidupan Beragama
READ MORE

Mars PMII

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar
Inilah kami wahai Indonesia
Satu barisan dan satu cita
Pembela bangsa penegak agama
Tangan terkepal dan maju kemuka
Habislah sudah masa yang suram
Selesai sudah derita yang lama
Bangsa yang jaya Islam yang benar
Bangun serentak dari bumiku subur
Denganmu PMII pergerakanku
Ilmu dan bakti ku berikan
Adil dan makmur ku perjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku
Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu jiwa
Putera bangsa bebas merdeka
Tangan terkepal dan maju kemuka

READ MORE

Sejarah Singkat Penamaan PMII

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar
“PMII”, singkatan dari “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”, setelah melalui beberapa perdebatan. Apakah PMII itu singkatan dari “Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia” atau “Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia?” Ternyata permasalahannya mengerucut pada haruf  “P”.  Kemudian atas dasar pemikiran bahwa sifat mahasiswa itu diantaranya harus aktif, dinamis atau bergerak (movement). Selanjutnya mendapat awalan “Per” dan akhiran “an”, maka disepakati huruf  “P” kependekan dari “Pergerakan”.

Makna “Pergerakan”  yang terkandung dalam PMII adalah Dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya.

Dalam konteks individual, komunitas maupun organisatoris, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang labih baik sebagai perwujudan tanggung jawabnya memberi rahmat pada lingkungannya.

“Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada didalam kualitas ke khalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa”  yang terkandung dalam PMII adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri.

Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan akademis, insan sosial dan isan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, tanggung jawan intelektual, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individu baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara

Pengertian “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan paradigma ahlussunnah waljama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Isalam secara proporsional antara Iman. Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir dan pola perilakunya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.

Pengertian “Indonesia”  yang terkandung dalan PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang mempunyai ffalsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 1945 dengan kesadaran kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang di ikat dengan kesadaran wawasan Nusantara.

Secara totalitas PMII sebagai organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan kader-kader bangsa yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT dan atas dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya membangun masyarakat bangsa dan negara Indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam ampunan dan ridlo Allah SWT  )

Sedangkan pengertian Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang menjadi paham organisasi adalah Islam sebagai universalitas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan kedalam tata Aqidah, Syariah, dan Tasyawuf. Dalam bidan Aqidah mengikuti paham Al-Asya’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang syariah mengikuti salah satu mazhab empat yaitu: Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Sedang dalam bidang Tasawuf, mengikuti Imam Juned Al-Bagdadi dan Imam Al-Gozali. Masing-masing ketiga aspek itu dijadikan paham organisasi PMII dengan tanpa meninggalkan wawasan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perilaku sahabat Rasul. Aspek Fiqih diupayakan penekanannya pada proses pengambilan hukum, yaitu Ushul Fiqih dan Qoidah Fiqih, bukan semata-mata hukum itu sendiri sebagai produknya. (lihat NDP PMII)

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa nahdliyin sebenarnya dari segi cara berfikir tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, yang menghedaki kebebasan. Sedangkan dalam bertindak cendrung anti anti kemapanan, terlebih jika kelahiran PMII itu dihubungkan dengan tradisi keagamaan di kalangan NU, misalnya bagi putra-putri harus berbeda/dipisah organisasi, PMII justru keluar dari tradisi itu. Fenomena ini barangali termasuk hal yang patut mendapat perhatian bagi perkembangan pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah

Adapun susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960. Seperti diketahui, bahwa PMII pada awal berdirinya merupakan organisasi mahasiswa yang dependen dengan NU , maka PP. PMII dengan surat tertanggal 8 Juni 1960 mengirim surat permohonan kepada PBNU untuk mengesahkan kepengurusan PP PMII tersebut. Pada tanggal 14 Juni 1960 PBNU menyatakan bahwa organisasi PMII dapat diterima dengan sah sebagai keluarga besar partai NU dan diberi mandat untuk membentuk cabang-cabang di seluruh Indonesia, sedang yang menandatangani SK tersebut adalah DR. KH. Idham Chalid selaku ketua Umum PBNU dan H. Aminuddin Aziz selaku wakil sekretaris jendral PBNU  ).

Musyawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya yang dikenal dengan nama PMII, hanya menghasilkan peraturan dasar organisasi, maka untuk melengkapi peraturan organisasi tersebut dibentuklsn satu panitia kecil yang diketuai oleh sahabat M. Said Budairi dengan anggota sahabat Chalid mawardi dan sahabat Fahrurrazi AH, untuk merumuskan peraturan rumah tangga PMII. Dalam sidang pleno II PP PMII yang diselenggarakan dari tanggal 8 - 9 September 1960, Peraturan rumah tangga PMII dinyatakan syah berlaku melengkapi paraturan dasar PMII yang sudah ada sebelumnya )

Di samping itu, sidang pleno II PP PMII juga mengesahkan bentuk muts (topi), selempang PMII, adapun lambang PMII diserahkan kepada pengurus harian, yang akhirnya dipuruskan bahwa lambang PMII berbentuk perisai seperti yang ada sekarang (rincian secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran peraturan rumah tangga PMII). Dalam sidang ini pula dikeluarkan pokok-pokok aturan mengenai penerimaan anggota baru  ) sekarang dikenal dengan MAPABA.

Pada tahap-tahap awal berdirinya PMII banyak dibantu warga NU terutama PP LP. Ma’arif NU. Sejak musyawarah mahssiswa nahdliyin di surabaya sampai memberikan pengertian kepada Pesantren-pesantren (perlu diketahui, pada awal berdirinya, di Pondok-pondok Pesantren dapat dibentuk PMII dengan anggota para santri yang telah lulus madrasah Aliyah dan seang mengkaji kitab yang tingkatannya sesuai dengan pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi agama). Dengan adanya kebijakan seperti ini ternyata dapat mempercepat proses pengembangan PMII).
READ MORE

NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP) PMII

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar
NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP)
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Nilai Dasar Pergerakan (NDP)
Kita mungkin masih ingat dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang kira-kira artinya: “Perbedaan di antara umatku adalah Rahmat”, perbedaan yang kiranya difahami sebagai sebuah ragam pemikiran yang akan terjadi nanti setelah beliau wafat. Mungkin kita juga masih mengingat bahwa suatu saat beliau pernah bersabda ”Kalian semua lebih mengerti urusan kalian”, sebuah stateman yang keluar karena kecerobohan dirinya yang menyuruh seorang petani kurma untuk menyilangkan pohonnya sehingga hasil yang didapatkan tidak sebagus yang diinginkan.
Dengan fenomena seperti itu, tentunya Islam sudah menjadi agama yang berkembang dengan beragam pemikiran baik dalam hal profan atau sakral. Perkembangan peradaban yang tiada tara dan menjadi sebuah aset penting bagi generasi berikutnya. Tetapi, mengapa justru saat ini umat Islam mengalami gradasi pengetahuan. Kebodohan dan pembodohan terus merajalela sehingga Islam kini identik sebagai agama orang-orang yang bodoh dan miskin.
Zaman renaissance di barat, tepatnya kemunculan langit kebodohan yang kelam itu. Masa dimana justru orang-orang barat yang notabene beragama Kristen terlepas dari kejamnya belenggu agamawan yang menguras habis seluruh pemikiran brilian di zaman abad pertengahan. Sebut saja, Nicolaus Copernicus yang harus mati dipenggal karena menentang dogmatisme agama saat itu yang mengatakan tentang bumi sebagai pusat alam semesta dan yang lain berputar mengitari bumi serta mengatkan bahwa bumi ini berbentuk datar sehingga bumi ini jika ditelusuri maka pasti ditemukan ujungnya. Seperti itulah gambaran umat Islam saat ini. Gambaran yang sudah terjadi ratusan tahun silam di barat. Fenomena seperti itu datang menyerang umat Islam saat ini dan muncul berawal dari buku karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafudh al-Falasifah, buku yang mengupas habis seluruh pemikirannya yang skeptis terhadap pemikiran filsafat yang notabenenya memang spekulatif, walaupun banyak filsuf lain menduga ia telah kehilangan konsistensi pemikiran karena sebelumnya selama dua tahun ia belajar filsafat dan menulis buku berjudul Al-Maqasid al-Falasifah yang justru memuji pemikiran filsafat yang kritis.
Sejak itulah umat Islam menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan pemikiran ulama zaman dahulu adalah hal yang final dan tidak perlu ditelaah kembali. Pengkultusan terhadap seseorang membuat semua kejayaan masa lalu musnah tak tersisa, yang ada hanyalah kebodohan dan pembodohan massal dan tidak tahu kapan berakhirnya.
Fenomena di atas cukup sebagai pembelajaran bagi kita, generasi muda umat Islam, agar tidak terjadi lagi untuk ke sekian kalinya. Cukup lama sudah kita terbelenggu oleh jahatnya pembodohan, kini saatnya kita mulai berfikir kritis, apalagi jika kita adalah seorang kader organisasi pergerakan yang sejatinya terus begeliat mencari makna. Dengan berfikir melalui paradigma kritis-transformatif, kita akan terus berfikir bebas tanpa rasa takut akan kehilangan esensi ke-Tauhid-an, karena di sini kita dituntut untuk berfikir free from dan free for (bebas dari dan bebas untuk) tanpa melupakan bahwa harus ada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Allah dan alam, karena tanpa keharmonisan hubungan antara manusia, Allah dan alam, apalah artinya seorang manusia.
Lebih lanjut, kita juga dituntut untuk berfikir dengan melihat demarkasi (garis pemisah) yang tegas antara wilayah profan (keduniaan) dan sakral (keagamaan), sehingga tidak ada lagi sekularisme (ateisme, tanpa Tuhan) dalam berfikir, yang ada adalah sekularisasi (proses berfikir dengan batas demarkasi antara wilayah profan dan sakral).
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
Mukadimah
Senantiasa memohon dan menjadikan Allah SWT sebagai sumber segala kebenaran dan tujuan hidup. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali nilai-nilai ideal-moral, lahir dari pengalaman dan keberpihakan insan warga pergerakan dalam bentuk rumusan-rumusan yang diberi nama Nilai dasar Pergerakan (NDP) PMII. hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti motivasi pergerakan dan sekaligus memberikan legitimasi dan memperjelas terhadap apa saja yang akan dan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
NDP adalah tali pengikat (kalimatun sawa) yang mempertemukan semua warga pergerakan dalam ranah dan semangat perjuangan yang sama. Seluruh warga PMII harus memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal atau secara bersama-sama, dalam medan perjuangan social yang lebih luas dengan melakukan keberpihakan nyata melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan, dan tindakan-tindakan negative lainnya. NDP ini, dengan demikian senantiasa memiliki kepedulian sosial yang tinggi (faqih fi mashalih al-kahliq fi ad-dunya atau faham dan peka terhadap kemaslahaatan mahluk dunia).
BAB I
ARTI, FUNGSI DAN KEDUDUKAN
ARTI
NDP adalah nilai-nilai yang secara mendasar merupakan sublimasi nilai-nilai ke-Islaman (kemerdekaan/tawasuth/al-hurriyah, persamaan/tawazun/al-musawa, keadilan/ta’adul, toleran/tasamuh) dan ke-Indonesia-an (keberagaman suku, agama dan ras; beribu pulau; persilangan budaya) dengan kerangka pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah, mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari, memberi spirit dan élan vital pergerakan yang meliputi cakupan Iman, Islam, Ihsan dalam upaya memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan akhirat.
Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlusunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekontruksi sekaligus merekontruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama toleran, humanis, anti kekerasan dan kritis transformatif.
FUNGSI
A. Kerangka Refleksi (landasan berpikir)
Sebagai kerangka refleksi, NDP bergerak dalam pertarungan ide-ide, paradigma, nilai-nilai yang akan memperkuat nilai-nilai yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran ideal. Ideal-ideal itu menjadi sesuatu yang mengikat, absolut, total, universal berlaku menembus keberbagaian ruang dan waktu (muhkamat, qoth’i). Karenanya, kerangka refleksi ini menjadi moralitas sekaligus tujuan absolut dalam mendulang capaian-capaian nilai seperti kebenaran, keadilan, kemerdekaan, kemanusiaan, dll.
B. Kerangka Aksi (landasan berpijak)
Sebagai kerangka aksi, NDP bergerak dalam pertarungan aksi, kerja-kerja nyata, aktualisasi diri, pembelajaran sosial yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran faktual. Kebenaran faktual itu senantiasa bersentuhan dengan pengalaman historis, ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah, kerangka ini memungkinkan warga pergerakan menguli, memperkuat atau bahkan memperbaharui rumusan-rumusan kebenaran dengan historisitas atau dinamika sosial yang senantiasa berubah (mutasyabihat, dzanni).
C. Kerangka Ideologis (sumber motivasi)
Menjadi satu rumusan yang mampu memberikan proses ideologisasi di setiap kader secara bersama-sama, sekaligus memberikan dialektika antara konsep dan realita yang mendorong proses kreatif di internal kader secara menyeluruh dalam proses perubahan sosial yang diangankan secara bersama-sama secara terorganisir.
Menjadi pijakan atau landasan bagi pola pikir dan tindakan kader sebagai insan pergerakan yang aktif terlibat menggagas dan proaktif memperjuangkan perubahan sosial yang memberi tempat bagi demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM.
KEDUDUKAN
a. NDP menjadi sumber kekuatan ideal-moral dari aktivis pergerakan.
b. NDP menjadi pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak dalam aktivitas pergerakan.
BAB II
RUMUSAN NILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN
TAUHID
Mengesakan Allah SWT. Merupakan nilai paling asasi dalam agama samawi, didalamnya telah terkandung sejak awal tentang keberadaan manusia.
  • Pertama, Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat dan perbuatan-perbuatanNya. Allah adalah dzat yang fungsional.
  • Kedua, Keyakinan seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari alam semesta, serta merupakan manifestasi kesadaran dan keyakinan kepada ghaib.
  • Ketiga, Oleh karena itu tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan dan perwujudan lewat perbuatan.
Maka, konsekuensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan meneteskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan hingga merambah sekelilingnya. Hal ini dibuktikan dengan pemisahan yang tegas antara hal-hal yang profan dan sakral.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia mencipta manusia sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan pemberian daya pikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentuannya. Untuk itu manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Tidak ada yang lebih antara yang satu dengan lainnya, kecuali ketaqwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya, tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya. Karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong, saling menghormati, bekerjasama, menasehati dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama umat Islam, persaudaran sesama warga Negara dan persaudaraan sesama umat manusia. Perilaku persaudaraan ini harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan manfaat maksimal untuk diri dan lingkungannya.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan Allah. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukkan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan manusia. Namun Allah menundukkan alam bagi manusia dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam, bukan penghambaan kepada Allah. Allah mendudukkan manusia sebagai khalifah, sudah sepantasnya manusia menjadikan bumi maupun alam sebagai wahana dalam bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya, bukan menjadikannya sebagai obyek eksploitasi.
Salah satu dari hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan dan hukum tersendiri. Alam didayagunakan dengan tidak mengesampingkan aspek pelestariannya.
BAB III
PENUTUP
Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dipergunakan sebagai landasan teologis, normative dan etis dalam pola piker dan perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama. Dengan ini dasar-dasar tersebut ditujukan untuk mewujudkan pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah, berbudi luhur, berilmu cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia, Sosok yang dituju adalah adalah sosok insane kamil Indonesia yang kritis, inovatif dan transformative yang sadar akan posisi dan perannya sebagai khalifah dimuka bumi.
READ MORE

Arti Lambang dan Bendera PMII

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar

Arti Lambang dan Bendera PMII

Arti Lambang dan Bendera PMII
1. LAMBANG PMII
Pencipta lambang PMII : H. Said Budairi
Makna lambang PMII
1.1. Bentuk :
a. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
b. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
c. 5 (lima) bintang sebelah atas melambangkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (khulafaurrasyidin).
d. 4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhadluan Ahlussunah Wal Jama’ah.
e. 9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti :
1. Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan yang tinggi dan penerang umat manusia.
2. Sembilan bintang juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar agama islam di Indonesia yang disebut dengan Wali Songo
1.2. Warna:
a. Biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan harus digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara
b. Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.
c. Kuning, sebagaimana perisai sebelah atas berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan
1.3. Penggunaan:
a. Lambang PMII digunakan pada papan nama, bendera, kop surat, stempel, badge, jaket, kartu anggota, dan benda atau tempat lain yang tujuannya untuk menunjukkan identitas organisasi.
b. Ukuran lambang PMII disesuaikan dengan wadah penggunaanya.
2. BENDERA PMII
a. Pencipta Bendera PMII : Shaimory
b. Ukuran Bendera PMII : Panjang dan lebar (4 : 3)
c. Wrana dasar bendera PMII : Kuning
d. Isi bendera PMII :
- Lambang PMII terletak di bagian tengah
- Tulisan PMII terletak di sebelah kiri lambang membujur ke bawah.
e. Penggunaan bendera PMII
- Digunakan pada upacara-upacara resmi organisasi baik intern maupun ekstern dan upacara nasional.
READ MORE

Ilmu Menampar Wajah Kebodohan

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar

Ilmu Menampar Wajah Kebodohan

Ilmu adalah cahaya matahari yang mengikat bumi…
Ilmu adalah hembusan angin yang datang menampar  wajah kebodohan
Hingga terjatuh pada samura pengetahuan…
Ilmu adlah kesenyapan dalam riuh suara tak bernyawa…
Menari indah dalam jiwa kita…
Bersuara merdu di atas teriakan air mata..
Meneduhi langit - langit dunia dalam batas dan jarak yang takkan retak
READ MORE

EKSISTENSI ULAMA DI PANGGUNG POLITIK DALAM PERSPEKTIF SANTRI

Posted by Muhammad Alzibilla On 0 komentar
EKSISTENSI ULAMA DI PANGGUNG POLITIK
DALAM PERSPEKTIF SANTRI
Studi tentang Degradasi Peran Ulama dalam Politik serta Pengaruhnya bagi Masyarakat dan Dakwah Islam

KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Hamdan wa syukurillah tak henti tercurah tak lain hanya di panjatkan kepada Allahu Rabbul Alamin dengan RidhaNya  penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat kelulusan tingkat mu’allimin. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam penulisan karya ilmiah ini.  Karya ilmiah ini berjudul “Eksistensi Ulama di Panggung Politik Dalam Perspektif Santri”.
               Penulisan karya ilmiah kami didasari oleh fenomena saat ini dimana eksistensi ulama dipertanyakan khususnya dalam dunia politik yang sering menjadi kontoversi hingga menjadi sebuah masalah yang sangat tabu. Juga di lihat dari sejauh mana dakwah yang dipelopori oleh seorang ulama untuk merangkul umat dari kebodohan, dan mengasumsi umat dalam bernegara dengan peraturan yang religius dan tidak banyak dipengaruhi oleh budaya  Barat.
               Dalam proses penulisan karya ilmiah ini penulis mengambil dari berbagai sumber. Dengan tanpa kesempurnaan karya imiah ini semoga dapat menyadarkan umat muslim untuk lebih memperluas dalam dakwahnya. Karena umat tak bisa lepas dari Umara dan Umara membutuhkan sosok Ulama yang akan menumbuhkan ruhul islamiyah dalam kehidupannya.
               Sekepal debu jika ia membumbung tinggi kelangit akan tetap menjadi debu, dan berlian jika ada di dalam Lumpur yang hitam tidak akan mereduksi keindahannya. Begitu pula dengan ilmu yang menjadi cahaya bagi kehidupan, dan semoga isi dari karya ilmiah ini bisa menjadi sebuah berlian.

ABSTRAKSI

www.liputan6.com , Jakarta: “Praktik korupsi yang dilakukan oleh sejumlah wakil rakyat diduga berawal dari rapat anggaran DPR. Berbagai bentuk pengawasan, hari selasa (5/8), pimpinan DPR mengijinkan KPK menghadiri rapat. Namun, DPR meminta KPK menghormati tata tertib dengan melayangkan surat permohonan setiap kali akan menghadiri rapat”.
Pembahasan politik Islam seringkali dianggap wilayah tabu untuk dibicarakan, terutama bagi santri yang umumnya dipersepsikan masih terlalu dini bagi mereka untuk mengerti tentang politik. Padahal, dasar dan wawasan perpolitikan harus di ketahui agar para santri tidak menjadi korban mobilisasi yang dilakukan oknum politik tertentu. Apalagi dunia politik sering diidentikkan dengan dunia yang penuh dengan kekotoran. Seperti maraknya korupsi dan penyuapan sebagaimana dalam kutipan berita di atas. Ironisnya, pelaku korupsi itu sebagian besar dilakukan oleh  partai Islam yang seharusnya tidak bersentuhan dengan praktik korupsi dan mengorbankan Aqidah demi kekuasaan.
Tentu hal ini berdampak pada eksistensi ulama dalam dunia politik, yang berujung menjadi sebuah dilema serta menjadi pro-kontra di masyarakat. Kalau sebagian para Ulama mundur dari dunia politik karena takut menjadi rusak, maka orang - orang yang rusaklah yang akan bermain di dalam pemerintahan. Sebaliknya jika mereka terjun ke dunia politik tersebut, seringkali mereka terlarut dan ikut terbawa arus di dalamnya. Hingga akhirnya, eksistensi ulama dalam berpolitik pun semakin dipertanyakan kembali. Untuk itulah penulis mencoba membahas permasalahan ini dengan judul: “Eksistensi Ulama di Panggung Politik Dalam Perspektif  Santri (Studi tentang Degradasi Peran Ulama dalam Berpolitik serta Pengaruhnya bagi Masyarakat dan Dakwah Islam)”.
Padahal telah jelas bahwa Islam adalah ajaran Kamil Mutakamil[1], dan paripurna Islam merupakan Way of life[2] yang mempunyai sistem dan bentuk sendiri, yang berbeda dengan sistem mana pun yang berkembang di dunia ini, termasuk dalam urusan politik atau kekuasaan. Mengapa kita harus selalu menengok ke sistem perpolitikan Barat?.
ا فحكم الجا هليّة يبغون ومن احسن من اللّه حكما القوم يو قنون (ا لبقرة :. ه)
Artinya:“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS. Al-Maidah: 50)
Islam telah menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki sifat Ahlul Halli wal Aqdi[3] lah yang berhak masuk dan terjun ke dalam medan politik.
Disamping itu juga, umat Islam memiliki banyak teladan Ulama yang mampu berpolitik sekaligus mengemban amanatnya dengan baik. Mereka mampu menjalankan politik Islam dan menawarkan kebijakan – kebijakan serta kekuasaan dengan nilai-nilai Ilahiyyah tanpa harus melupakan tugas utama mereka untuk membimbing umat melaksanakan Islam secara kaffah[4], juga mampu membawa karakter Jamiyyah dimana pun mereka berada, sebut saja M. Natsir dan Isa Ansyari. Mereka bias memadukan luhurnya ruh politik muslim dengan realita warna politik Indonesia yang pelangi akan kepentingan. Jika tidak memungkinkan untuk kondisi saat ini, yang terpenting adalah bagaimana terjalinnya koordinasi yang baik antara Ulama dan Umara di dalam memperbaiki hitamnya dunia politik di Indonesia. Apalagi dengan lolosnya calon independent dalam peta politik Bangsa dimungkinkan akan memberi peluang bagi Ormas – ormas Islam, seperti PERSIS[5] dalam meralisasikan the hidden program[6]nya, sebagai penyempurna program dakwahnya yaitu: “Terlaksananya syariat Islam brdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan”.








DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………..……………………….……………..           
MOTTO…………………………………….……………………….……………..
KATA PENGANTAR………………………..……………………..……………..          
ABSTRAKSI ……………………………………………………….……………..
DAFTAR ISI……………………………….……………………….……………..
BAB I. PENDAHULUAN………………….……………………...………………          
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………..………………..
1.2 Perumusan Masalah……………………………………..………………….
1.3 Tujuan Penelitian…………………….………………….………………….
1.4 Tinjauan Pustaka……………………...…………………………………….
1.5 Metode Penelitian………………………..…………………………………
1.6 Sistematika Penulisan ……………......…………………………………….

BAB II. KAJIAN TEORITIS MENGENAI POLITIK DAN PELUANG KETERLIBATAN ULAMA……………….……………………………………..         
2.1 Politik sebagai Legalitas Pengelolaan Kekuasaan ……………………….... 
2.2. Politik dalam Pandangan Islam.……………………………………………
2.3. Format – format Keterlibatan Ulama dalam Dunia Politik………..……….
2.4. Arah Siyasah Jamiyyah Persatuan Islam…………………………………...
2.5  Ahlul Haali Wal Aqdi………………..…………………………………….
2.6. Definisi Eksistensi Ulama di Panggung Politik dalam
Perspektif Santri……………………...……………………………………..           

BAB III. FENOMENA DAN FAKTOR DEGRADASI PERAN ULAMA
    BERPOLITIK SERTA SOLUSINYA DALAM ISLAM…………….          
3.1 Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik
diEra Globalisasi……………………...………………………………….....
3.2 Bangkrutnya Kekuasaan tanpa Etika Politik……………………………….
3.3 Faktor – faktor Degradasi Fungsi Ulama dalam Berpolitik………………….
3.4 Alternatif Sikap Ulama …………………………………………………….
3.5 Bercermin kepada Para Uswah Hasanah dalam Berpolitik…………………
3.6 Intermezo sebuah kisah antara Politik dan Dakwah………………………..
BAB IV. PENUTUP………………………………………………………………
4.1 Simpulan……………………………………………………………………
4.2 Saran…………………………………..……………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
LAMPIRAN – LAMPIRAN……………………………………………………...           
RIWAYAT HIDUP…………………………..........................................................           





















BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
 “Orang Barat-Yahudi dan Nashrani dalam membangun peran[7] politiknya lebih melihat ke bumi dengan berdasarkan spirit kekuasaan. Sehingga bertendensi materialis, sedang orang Timur – Islam lebih memperhatikan akhirat yang memposisikan mereka sebagai khalifah di bumi, sehingga bertendensi religius” (Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadi; Majalah Al- Harokah:Edisi IV, Oktober 2006: hal. 17)
               Tampaknya ungkapan yang dicetuskan oleh Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadi mengenai tendensi politik[8] Islam dalam Al-Harokah benar-benar telah bergeser dari porosnya. Politik bergulir bagaikan bola salju, terus membesar sehingga banyak persoalan politik yang timbul. Tidak dapat di pungkiri lagi bahwa dari waktu ke waktu kuantitas eksistensi politik para ulama semakin meningkat. Tetapi ini berbanding terbalik dengan kualitas eksistensi ulama itu sendiri yang justru semakin menurun. Apalagi jika dibandingkan dengan eksistensi ulama di zaman Rasulullah S.a.w. Dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
               Di era globalisasi seperti ini, para ulama yang diharapkan menjadi corong kebebasan melalui keterwakilannya di lembaga-lembaga perwakilan rakyat ternyata tidak mampu menjawab problematika hidup rakyat. Tetapi justru malah sebaliknya, para politisi  yang menjadi kebanggaan rakyat hanya asyik dan sibuk mengurus kepentingannya masing-masing, bahkan tidak kurang dilihat dari realitas yang ada sekarang ini, mereka hanya menambah sesak ruang tahanan, tidak terkecuali politisi muslim. Fenomena ini terlihat jelas dalam gaya hidup politisi muslim yang sudah terkontaminasi pengaruh negatif budaya Barat.
               Padahal seharusnya politisi ulama sebagai figur muslim tidak bermain api masuk ke dalam jebakan licik permainan politik yang telah disiapkan. Tetapi idealnya ulama harus mampu mengatur politik bangsa, sehingga dapat memiliki hawa yang religius dan tidak mudah tertipu oleh janji-janji politik.
               Melihat perilaku para politisi ulama yang condong mengikuti budaya Barat dalam mengatur negara, penulis merasa gerah. Padahal para ulama pada masa sekarang ini dituntut dapat mengelola politik bangsa sebagaimana yang ditetapkan dalam Nash Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, para penulis menganggap penting masalah ini dan mencoba memecahkannya dan menuangkannya dalam bentuk Makalah Ilmiah yang berjudul:
Eksistensi Ulama di Panggung Politik Dalam Perspektif  Santri (Studi tentang Degradas[9]i Peran Ulama dalam Berpolitik serta Pengaruhnya bagi Masyarakat dan Dakwah Islami)”.

1.2    . Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk menelaah sejauh mana para politisi ulama pada zaman sekarang mampu menjaga citranya sebagai jiwa yang bertendensi religius. Terlebih di era globalisasi dan modernisasi ini, pengaruh negatif akan menjadi tantangan yang semakin berat untuk dihadapi. Mengingat para ulama yang berpolitik sangat diandalkan untuk menetralisir virus-virus jahat para politisi yang terkontaminsi oleh aliran barat. Selain dampak negatif dari perubahan zaman, dampak positifnya pun tak ketinggalan, dan ini semestinya dapat dijadikan peluang bagi para ulama yang berpolitik sebagai mediator dakwah dan menjadikan agama sebagai penguasa politik.
Untuk memudahkan itu semua, dibuatlah perumusan masalah sebagai berikut:
1          Bagaimana keadaan ulama dalam berpolitik?
2          Faktor apa saja yang menyebabkan ulama harus terjun ke kancah dunia politik?
3          Bagaimana solusi dari degradasi para ulama di panggung politik?
4          Apa kontribusi dari eksistensi ulama dalam politik terhadap dakwah dan masyarakat Islam?

1.3    . Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan. Yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
            Tujuan umumnya ialah untuk menambah khazanah pemahaman dan sebagai referensi wawasan keislaman, selain pembahasan dan banyak pengertian, juga menjawab berbagai kontroversi masalah ulama dan politik yang bertujuan untuk memberikan penjelasan dan pemahaman agar tidak terjadi degradasi-degradasi yang salah tangkap mengenai ulama dan politik, baik di mata santri atau umumnya. Serta secara tehnis bertujuan untuk menjawab semua persoalan – persoalan yang termuat dalam perumusan masalah.
Adapun tujuan khususnya yaitu sebagai salah satu syarat dalam memenuhi syarat tugas akhir Pesantren tingkat Mu’allimin.
           
1.4. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis bukanlah pihak yang pertama kali dan menguasai seluruh pembahasan mengenai politik ulama. Sebelumnya ada beberapa sumber yang sudah mengkaji permasalahan ini. Seperti dalam buku Fiqih Syiasah, karya Dr. J Suyuthi Pulungan thn.2002 hal:34, dikemukakan bagaimana tata cara mengatur pemerintahan atau mensiasati dalam politik.  “Metode Politik Menurut Al-Quran” mengkaji fenomena - fenomena cara berpolitik, terutama cara berpolitik Rasulullah dan di relasikan kepada ayat-ayat Al - Quran. Majalah Risalah: edisi II. Thn.2008, hal:13 yang membahas sistem politik di Indonesia dan relasinya dengan Piagam Jakarta atau Jakarta Carter. Berbagai Artikel yang membahas tentang eksistensi ulama dan umara juga eksistensi ulama.



1.4    . Metode Penelitian

          Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah metode historis methtod (metode sejarah) dengan melalui beberapa tahapan, diantaranya mencari sumber melalui buku, majalah, artikel yang ada di internet, kemudian mengkritisi kredibilitasnya lalu menginterpretasi/menafsirkan fakta, disertai hasil wawancara sebagai validitas atas informasi yang didapatkan, untuk kemudian menuliskannya. Sehingga mendapat banyak perspektif dan fakta yang kemudian ditulis dengan teknik penulisan memakai metode studi pustaka atau study literature.

1.5    . Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan makalah ilmiah ini, penulis menguraikan pembahasan ini dalam beberapa bab yang terdiri dari:
Bab I               Merupakan bab pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, sistematika penulisan.
Bab II              Membahas tentang kajian teoritis mengenai politik dan peluang keterlibatan ulama, yang terdiri dari beberapa judul, Politik sebagai Legalitas Pengelolaan Kekuasaan, Politik dalam Pandangan Islam Format – format Keterlibatan Ulama dalam Dunia Politik, Ahlul Haali Wal Aqdi, dan Definisi Eksistensi Ulama di Panggung Politik dalam Perspektif Santri.
Bab III            Tentang Fenomena dan Faktor Degradasi Peran Ulama dalam Berpolitik serta Solusinya di dalam Islam. Dan membahas beberapa judul yaitu; Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik di era globalisasi, Faktor – faktor Degradasi Fungsi Ulama dalam Berpolitik, Alternatif Sikap Ulama, Bercermin kepada Para Uswah Hasanah dalam Berpolitik.
Bab IV            yang mencakup: Penutup yang terdiri dari simpulan dan saran. Tidak lupa penulis juga mencantumkan daftar pustaka, lampiran - lampiran dan riwayat hidup.

1.6  . Schedule Time


SCHEDUL TIME
Karya ilmiah: Eksistensi Ulama di panggung politik dalam
Perspektif santri


Tanggal

Hari


Kegiatan
13/08/08
Rabu
Mencari bahan dari berbagai sumber
10/08/08
Minggu
Mencari bahan dari berbagai sumber
11/09/08
Kamis
Wawancara Ust. Yayan
13/09/08
Sabtu
Wawancara Ust.Qosim
14/09/08
Minggu
Wawancara Ust.Puad
15/09/08
Senin
Kerja kelompok
16/09/08
Selasa
Wawancara Ust.Munir
17/09/08
Rabu
Kerja kelompok
10/09/08
Rabu
Kerja kelompok
23/10/08
Kamis
Menyelesaikan bab II












BAB II
KAJIAN TEORITIS MENGENAI POLITIK
DAN PELUANG ULAMA

2.1       Politik sebagai Legalitas Pengelolaan Kekuasaan
            Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah berbagai macam kegiatan dalam suatu system politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan – tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan itu.
            Untuk melaksanakan tujuan –tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan – kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi dari sumber – sumber dan resources yang ada.
            Untuk melaksanakan kebijaksanaan – kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dari proses itu. Cara – cara yang dipakainya dapat bersifat persuasi (meyakinkan) dan jika perlu coercion[10]. Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
            Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
            Ossip K. Flechtheim dalam Fundamentals of Political Science berpendapat:
“ ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari Negara, sejauh Negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala – gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi Negara.”
            Ada kecenderungan untuk menempatkan perebutan kekuasaan pada inti politik (Morgenthou, 1961 : 27,39). Ilmuan politik  sejak lama mengkonsepsikan kekuasaan sebagai “distribusi penguasaan kekuatan” dan menganggapnya sebagai inti politik (Fortes dan Evans – Pritchard, 1940 : 14-45. Bandingkan dengan Caton 1987) tetapi politik termasuk di dunia muslim tidak semata membahas otoritas pemaksa kepatuhan yang mapan. Sebagimana dikemukakan oleh teoritisi lain, politik barangkali sepenuhnya berkenaan dengan tawar menawar diantara banyak kekuatan atau kelompok – kelompok yang bersaing, jika tidak bahkan lebih dengan melibatkan pakasaan. Gibbins (1989:5-6) menunjukkan bahwa filsuf konsevatif seperti Wittgenstein dan Oakeshott mengkonseptualisasikan politik, setidaknya secara implicit, sebagai negosiasi bersifat terbuka atas aturan – aturan dan gerakan – gerakan yang secara moral menyatukan masyarakat.
            Mengenai sumber kekuasaan bagi kepala Negara terdapat tiga teori yaitu, teori ketuhanan, teori kekuatan, dan teori kontrak social.
            Menurut teori ketuhanan, kekuasaan berasal dari Tuhan (Divine Right of Kings) penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan kepadanya. Maknanya ialah bahwa Allah mengangkat penguasa – penguasa bagi masyarakat. Penguasa – penguasa itu mendapat pancaran Ilahi dan menetapkan mereka dengan karuniaNya. Dengan demikian, sumber kekuasaan kepala Negara bukan bersal dari rakyat, melainkan datang dari Allah yang melimpahkannya kepada sejumlah kecil orang pilihan. Hal ini dikuatkan dengan Qs. Ali Ilmran:26:
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
            Teori Kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan politik diperoleh melalui kekuatan dalam persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh pihak yang menang dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat hokum. Teori ini dikemukakan juga oleh Ibnu Kholdun. Menurutnya, masyarakat/manusia memerlukan al-Wali (pemimpin) untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama. Al-Wali diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatnya. Hubungan social masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan yang disebutnya Ashabiyyat[11] sebagi perekat kekuatan kelompok itu. Dengan demikian satu Daulah[12] dapat terbentuk apabila suatu kelompok masyarakat mampu mengalahkan kelompok masyarakat lainnya. Dan dengan kemenangan itu ia memperoleh kekuasaan politk.
            Sedangkan teori kontraksosial ialah suatu teori yang menerangkan kekuasaan diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan legitimasinya melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain terjadinya penyerahan kekuasaan oleh anggota masyarakat kepada seseorang atau lembaga. Karena terbentuknya Negara adalah atas dasar kehendak manusia sebagai mahluk social atau mahluk politik untuk berkumpul disuatu tempat dalam rangka kerjasama dan tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi kebiasaan manusia yang demikian berkaitan dengan keyakinan agama, sebagai ciptaan dan kehendak Allah atas manusia. Dalam kerjasama itu mereka memerlukkan seorang pemimpin yang akan mengatur urusan mereka. Untuk tampilnya seorang pemimpin itu oleh Ahlul Haali Wal Aqdi yang disertai dengan bai’at atau persetujuan masyarakat. Hal ini merupakan perjanjian social diantara kedua belah pihak atas dasar sukarela. Tapi tidak jelas apakah anggota lembaga pemilih itu bersifat perwakilan dan diangkat oleh rakyat. Yang dapat dipahami mengenai pandangan dalam hal ini, adalah apabila para anggota terpilih sebagai anggota masyarakat terkemuka dan berpengaruh, bersepakat atas sesuatu, maka rakyat akan mentaatinya.
2.2. Konsepsi Ideologi Politik Islam
Ideologi[13] politik adalah aplikasi rasio manusia, seperti halnya pmikiran lain yang dilakukan untuk mengatur urusan – urusan kehidupan. Ia dihasilkan dari penyusunan premis – premis yang telah diketahui untuk mendapatkan konklusi – konklusi yang belum diketahui. Karena pemikiran – pemikiran manusia berlabuh dari pandangan umumnya, system kepercayaannya, dan kerangka rujukannya yang menjadi acuan pengambilan sumber, macam-macam metodologi dan filsafah pengetahuannya maka kaum muslimin mempunyai pemikiran politik yang berlabuh dari pandangannya, dan dijelaskan kaidah – kaidahnya dalam pokok-pokok pemikiran  dan sumber sumber itu. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan kami sebagai penulis berlabuh dari al-Qu’ranul Karim, dengan melihatnya sebagai sumber pembentuk hukum satu-satunya, juga melihatnya sebagai sumber yang mutlak. Yang darinya dapat dilanjutkan dengan menelorkan gagasan-gagasan dan teori-teori pengetahuan yang amat dibutuhkan. Terutama karena ilmu-ilmu social  dan humanisme serta metodologi-metodologi positivismenya telah menghadapi beragam krisis, yang mayoritasnya timbul dari krisis dekontruksi yang dialami oleh ilmu pengetahuan manusia pada era modern dan pascamodern. Yaitu pada saat manusia dapat mendekontruksi alam, manusia, sejarah, dan agama yang cenderung dekontruksi-analis.
            Kita dapat mendefinisikan pemikiran politik dengan melihat masalah-masalah dan topic-topiknya, yaitu macam pemikiran yang bertujuan untuk memberikan solusi atas masalah yang ditimbulkan oleh “masyarakat politik”.
            Suatu masyarakat dikatakan masyarakat plitk jika ia mempunyai lembaga kekuasaan yang khusu, yang dapat menetapkan hukum dan undang-undang, yang ia buat atau ia adopsi, yang mengatur perilaku masyarakat. Kemudian hukum dan undang-undang itu ia aplikasikan kepada masyarakat dan memaksa mereka untuk mematuhinya. Lalu undang-undang itu dipatuhi secara umum olh masyarakat dan diaku mempunyai kekuatan dengan sukarela atau terpaksa, juga ia diakui sebagai kekuasaan tertinggi dalam masyarakat itu dan yang dapat memberikan hukuman material[14] . sedangkan, politik didefinisikan oleh kamus Liittre (1870) sebagai, “politik adalah ilmu memerintah dan mengatur negara”[15] dan kamus Robert (1962) mendefinisikannya sebagai, “politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.” Namun, definisi modern mencakup pengaturan Negara dan mengatur polakemasyarakatan manusia, sehingga kata “memerintah dan mengatur” itu, saat itu berarti-dalam seluruh masyarakat-adalah kekuasaan yang terorganisasi  serta lembaga-lembaga kepemimpinan dan pemilik kekuasaan penekan.
            Kata Ushul “pokok-pokok” sendiri mencakup pengertian etimologis dan terminologis yang dapat menerima penggunaan ini. Kata al-aslu dalam bahasa Arab bermakna sesuatu yang dijadikan dasar bangun sesuatu. Sedangkan dalam pengertian terminologis, ia bermakna yang kuat, dasar elementer, kaidah, dan dalil.[16] Makna yang terakhir tadilah yang diadopsi oleh kitab-kitab ushul fikih Islam. Ushul fiqih menurut al-Ghazali, adalah dalil-dalil hukum-hukum ini-maksudnya hukum-hukum perbuatan manusia dari segi ia wajib, dilarang, atau boleh-dan tentang mengetahui bentuk-brntuk dilalahnya atas hokum dan bentuk global, tidak dalam bentuk detail.[17]. sedangkan pengertian ushulfikih menurut syeikh Abdul Wahab Khallaf, adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dapat menyampaikan kepada penyimpulan  hukum-hukum syariat praktis dari dalil-dalil rincinya dan objek kajian dalam ilmu ushul fiqih adalah dalil syara’ global (al-Qur’an dan as-Sunnah dari segi apa yang dapat menetapkan hukum-hukum global).[18]
            2.3. Format-Format Keterlibatan Ulama Dalam Dunia Politik
Paling tidak ada dua format yang diijinkan oleh syara’ berhubungan dengan  keterlibatan Ulama  dalam dunia perpolitikan :
-­­­­­­­Pertama, Format luar pagar bermain diluar lapangan.
Di dalam format ini, para Ulama tidak terlibat dalam delik administrasi perpolitikan secara langsung, tetapi mereka tetap duduk ditengah-tengah masyarakat mengajar, membimbing dan mengarahkan mereka kejalan yang benar. Walaupun demikian, mereka tetap beramar ma’ruf dan nahi munkar menurut kondisi lingkungan yang ada. Termasuk didalamnya mengingatkan para pengusa jika melakukan kesalahan dan penyelewengan, memberikan fatwa-fatwa kemasyarakatan, kenegaraan dan urusan-urusan politik, yang tentunya diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Tugas mereka tidak ternodai sedikitpun dengan harta-harta kenegaraan maupun kepentingan kepentingan orang-orang tertentu. Oleh karenanya, mereka tidak takut sedikitpun dengan kediktatoran seorang penguasa. Bahkan mereka siap mati dalam mempertahankan dan mengemban amanat Allah ini. Inilah sebaik baik jihad sebagaimana yang disabdakan Rosul saw,
Artinya : “ Sebaik baik jihad adalah berkata benar didepan pengusa yang dholim”
Dikatakan sebaik baik jihad, karena seorang Ulama yang berkata benar didepan seorang penguasa yang lalim, akan menemui resiko yang sangat besar. Paling tidak akan dicaci dikecam dan disiksa dengan semena mena, bahkan akan dibunuh tanpa ada satupun orang yang membelanya. Disisi lain, beramar ma’ruf nahi munkar didepan para penguasa yang  lalim merupakan aktifitas tertutup dan tidak terikat oleh banyak manusia, sehingga lebih mendekatkan kepada keikhlasan.
Terlalu banyak contoh Ulama, untuk disebutkan dalam hal ini, terutama yang hidup pada masa masa kejayaan Islam pada abad pertama, kedua dan ketiga hijriyah. Salah satunya adalah Said bin Jubair yang disembelih oleh Hajjaj At-Tsaqofi hanya karena mengatakan kalimatul haq dihadapannya. Ketika Hajjaj Ats-Tsaqofi bertanya, “Bagaimana pendapat anda tentang saya?” Dengan tenang Said bin Jubair menjawab, “Anda adalah seorang penguasa yang menyelisihi ajaran kitab dan sunnah, yang berbuat semena-mena kepada rakyat demi mencari kewibaaan. Perbuatan anda semacam ini akan mengantarkan anda kepada kehancuran.” (Lihat Sofatus Sofah, Ibnu Jauzi 3/56).
-Format Kedua  Bergerak di dalam sistem, yang berarti Ulama terlibat secara langsung didalam adminstrasi negara dan menduduki salah satu jabatan pemerintahan.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang kelompok atau format kedua ini, silahkan mengikuti pembahasan Ahlul Halli Wal Aqdi dibawah ini. Hal itu, karena hanya merekalah (para negarawan) atau orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang serupa dengan merekalah, yang berhak masuk dan terjun ke dalam  medan politik yang sangat berbahaya  tersebut.
2.4. Ahlul Haali wal Aqdi
Ahlul Halli wal Aqdi adalah istilah baru tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Namun demikian, para Ulamalah yang telah meletakkan istilah tersebut. Ini bukan berarti istilah tersebut bid’ah karena belum pernah digunakan  pada zaman Rasulullah saw, maupun pada zaman Sahabat. Akan tetapi, istilah-istilah keilmuan  semacaam ini bisa di golongkan  didalam MASHALIHUL MURSALAH (kemaslahatan umum) yang diizinkan oleh Syariat Islam, sebagaimana istilah-istilah ushul fiqh, ilmu Nahwu, Mustholahul Hadits dan lain-lainnya.
Istilah Ahlul Halli wal Aqdi ini banyak kita dapati pada buku-buku siyasah syar’iyyah, seperti  Ahkam Sulthaniyah-nya Abul Hasan Al-Mawardi dan Abu Ya’la Al Farra’. Adapun secara bahasa, Istilah Ahlul Halli wal Aqdi terdiri dari tiga kalimat:
a. Ahlul,  yang berarti orang yang berhak (yang memiliki).
b. Halli,  yang berarti, melepaskan, menyesuaikan, memecahkan.
c.  Aqdi,  yang berarti mengikat, mengadakan transaksi, membentuk.
Dari pengertian secara bahasa di atas, dapat kita simpulkan  pengertian Ahlul Halli wal Aqdi secara istilah yaitu  “Orang-orang yang berhak membentuk suatu sistem didalam sebuah negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu.”
Yang dianggap sebagai Ahlul Halli wal Aqdi
Para Ulama berselisih pendapat didalam menentukan kriteria Ahlul Halli wal Aqdi, akan tetapi semua pendapat yang beredar tersebut,tidak keluar dari kerangka  pengertian Ulil Amri. Tapi, kenapa pembahasan Ulil Amri tidak disatukan dengan Ahlul Halli wal aqdi? Atau kenapa tidak memakai salah satu istilah saja, agar tidak membingungkan? Untuk menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, kami menyediakan beberapa jawaban dibawah ini ;
Pertama, Ulil Amri adalah istilah Syar’i yang terdapat didalam Al-Quran. Sehingga didalam penafsirannya, perlu menukil pendapat mufassirun yang tsiqqoh,. Ulil Amri dalam konteks semacam ini, lebih terkesan sebuah sosok dan tokoh, atau sekumpulan sosok dan tokoh yang harus ditaati perintah-perintahnya selama itu sesuai dengan syara’.(tanpa banyak menyentuh proses terangkatnya tokoh tersebut dan bagaimana teknis kerjanya). Oleh karena itu penulis letakkan pembahasan ini didalam penafsiran kata Ulil Amri.
Kedua. Disisi lain, ketika hendak menerangkan kalimat yaitu bagaimana teknis mengembalikan permasalahan politik kepada Ulil Amri, ternyata kami mendapatkan para Ulama didalam pembahasan ini, lebih banyak menggunakan istilah Ahlul Halli wal Aqdi daripada istilah Ulil Amri itu sendiri. Dari situ kami menemukan sebuah konklusi sebagai berikut:
1. Ulil Amri lebih sering digunakan didalam menggambarkan tokoh atau orang yang wajib ditaati selama itu sesuai denga syara’
2. Ahlul Halli wal Aqdi lebih sering digunakan ketika membicarakan teknis kerjanya. (wallahu a’lam)
Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Ahlul Halli wal Aqdi dengan sistem Parlemen DPR/MPR adalah sebagai berikut ;
1. Dari Segi Perkembangannya
Sistem Ahlul Halli wal Aqdi berkembang sejak adanya pemerintahan Islam pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan Ijma’ Shahabat ra, dan merupakan hujjah yang tidak terbantahkan. Adapun sistem parlemen berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada tahun 1789M.
2. Dari Segi Keanggotaan
A. Didalam sistem Ahlul Halli wal Aqdi, anggotanya harus seorang Muslim yang adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi  ketua DPR/MPR, selama rakyat mendukung,
B. Didalam sistem Ahlul Halli wal Aqdi anggotanya harus seorang laki-laki. Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan mejadi anggota didalamnya.
C. Anggota Ahlul Halli wal Aqdi harus seorang yang berpengetahuan luas terhadap ajaran Islam, sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang paling goblok tentang masalah agama.
3Dari Segi Tugas  dan Peranannya
Tugas Ahlul Halli wal Aqdi harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah. Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.
2.5. Definisi Eksistensi Ulama di Panggung Politik dalam
Perspektif Santri
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Eksistensi itu berarti keberadaan; wujud; adanya; sesuatu yang membedakan antara suatu benda dengan benda lain. Ulama berarti seseorang yang mempunyai keilmuan lebih dalam suatu hal; orang yang ahli dalam ilmu agama. Panggung berarti tempat pementasan; yang dimaksud ialah tempat dimana ulama berperan dalam politk.
            Sedangkan, ada beberapa definisi mengenai politik, diantaranya:
·         Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik berarti ilmu ketatanegaraan; sebagai kata kolektif yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapat kekuasaan.
·         Menurut Lisanul Arabiy, politik atau siyasah dapat diartikan mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemashlahatan.
·         Menurut Joyce Mitchell dalam bukunya “political analysis and Public Polici” politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perspektif itu berarti sebuah pemikiran atau pandangan tentang suatu hal; pendapat; ideology; pengharapan; peninjauan; tinjauan padang luas.
Santri bersasal dari bahasa sansekerta. San berarti orang yang berbuat baik. Tra artinya suka menolong. Sehingga, santri berarti orang baik yang suka menolong. Meskipun istilah ini tidak berasal dari istilah Islam (arab), tetapi subtansinya tetap berdasarkan Islam.
Adapun definisi dari Eksistensi Ulama dipanggung Politik dalam Perspektif Santri, yang dimaksud penulis adalah bagaimana fenomena – fenomena degradasi ulama dalam berpolitik yang semakin jauh dari tuntunan Al- Quran dan As-Sunnah, sehingga berakibat memperburuk citra ulama pada khususnya dan Islam pada umumnya. Dimata masyarakat juga pada akhirnya hal ini akan berpengaruh pada dakwah serta masyarakat Islam itu sendiri. Yang nantinya hal ini menjadi suatu permasalahan utama yang akan berusaha dipecahkan didalam makalahilmiah ini. Tentunya tidak ada pemecahan atau solusi yang terbaik dari seluruh permasalahan ini selain kembali kepada pokok- pokok ajaran syariat Islam yang memandang politik berdasarkan Al- Quran dan As-Sunnah.
Seluruh permasalahan serta solusi yang terdapat didalam makalah karya ilmiah ini akan dikemas secara khusus berdasarkan perspektif santri yang tentunya juga, berdasarkan pendapat – pendapat para ahli dibidangnya, yang terpenting tetap berdasarkan tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.

BAB III
FENOMENA SERTA FAKTOR DEGRADASI PERAN ULAMA
BERPOLITIK DAN SOLUSINYA DALAM ISLAM

3.1 Fenomena Degradasi fungsi Ulama dalam Berpolitik
diEra Globalisasi
Kalau kita berbicara tentang kondisi Ulama dalam perpolitikan nasional saat ini, kami rasa, banyak hal yang perlu menjadi catatan. Pertama: Ulama belum menyadari secara benar tugas dan misinya dalam konteks politik. Dalam sejarah perjuangan bangsa ini menjelang kemerdekaan sampai usia kemedekaan bangsa ini, 17 Agustus yang baru saja berlalu, 62 tahun, kita menyaksikan bagaimana bargaining position* Ulama dalam kancah politik menurun. Jadi, sungguh sangat memprihatinkan bahwa seharusnya seorang Ulama melihat politik itu (bukan dalam pandangan subyektif) merupakan partikel, merupakan bagian saja dari gerakan dakwah yang menyeluruh. Dakwah itu sendiri berintikan amar makruf nahyi mungkar dan kewajiban untuk selalu menyeru manusia ke jalan Allah, menyerukan al-Quran, dan menyerukan syariah. Nah, politik itu merupakan salah satu jalur dari gerak dakwah.
Apa yang terjadi di parlemen itu adalah pertarungan politik. Demikian pula yang terjadi dalam gerakan buruh. Jadi, kita tidak boleh melupakan gesekan-gesekan sosial politik yang terjadi di Tanah Air di mana saja; kecil atau besar; baik itu dalam bentuk mogok buruh, protes sosial, demonstrasi-demonstrasi lainnya, dalam bentuk Pemilu atau Pilkada, dsb. Sesungguhnya di balik semua itu ada pertarungan ideologi. Ribut-ribut soal RUU-APP, itu bagian dari pertarungan ideologi.
            Nah, dakwah itu harus dilihat sebagai medan pertarungan ideologi. Apalagi secara faktual, Indonesia ini beragam, terdiri dari berbagai agama dan ideologi. Kita menyaksikan ada Hindu, Budha, Protestan, dengan aliran-aliran dan sekte-sekte yang begitu banyak. Kita juga menyaksikan ada kelompok-kelompok yang memperjuangkan Sosialisme, Komunisme, nasionalisme. Jadi, tidak mungkin kalau kita mau menafikan realitas medan dakwah yang sedemikian rupa.
Khusus di Indonesia, terdapat kecendrungan meningkatnya intensitas tarik-menarik antara agama –khususnya Islam- dengan negara/ kekuasaan dapat dilihat jelas sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998. Liberalisai politik yang dilakukan oleh penggantinya, Presiden Habibie, menghasilkan kemunculan sangat banyak parpol, termasuk parpol-parpol agama, baik di kalangan Islam maupun di kalangan Kristiani. Selanjutnya, pencabutan asas tunggal Pancasila, membuat banyak parpol dan organisasi massa lainnya, kembali kepada asas agama, termasuk Islam.
            Kompleksitas dan kerumitan hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) dalam tradisi Sunni –yang secara tradisional dianut umat Islam Indonesia –terletak antara lain pada kenyataan, bahwa pada dasarnya kerangka doktrinal dan pengalaman historis kaum Muslimin bersifat ambivalen dalam hal tersebut. Mayoritas Ulama Sunni berpendapat, dalam Islam secara esensial tidak ada pemisahan antara agama dengan politik  (siyasah) atau kekuasaaan/negara (daulah). Sesuai dengan kerangka ini, politik dalam pandangan mayoritas Ulama merupakan bagian integral din dan, karena itu, tidak perlu dijauhi; sebaliknya bahkan perlu diceburi, karena ia merupakan bagian daripada din itu sendiri. Karena alasan ini dan ditambah dengan alasan-alasan politik tertentu, atau kepentingan dakwah melalui politik, atau bahkan karena jaring-jaring politik yang sulit mereka hindari –karena politik dan kekuasaan yang cenderung manipulatif- Ulama dan umat Islam menceburkan diri atau tercebur, atau bahkan terkooptasi ke dalam politik.

3.2 Bangkrutnya Kekuasaan tanpa Etika Politik
Politik adalah kekuatan. Politik riil adalah pertarungan kekuasaan.
Sementara, filsafat politik dan etika politik berusaha berada di
tengah-tengahnya sebab dianggap dunia ideal yang tidak mencerminkan realitas
politik yang keras itu.
Lalu, apakah wacana filsafat politik yang mengusung gagasan ideal dalam
upaya mengelola kekuasaan tidak menyentuh persoalan politik?
Di sinilah pentingnya filsafat politik. Tugas filsafat politik menjelaskan
konsep-konsep, prinsip-prinsip, cara penalaran khas praktik-praktik
institusi-institusi, dan ideologi-ideologi politik. Filsafat politik
memikirkan apa yang menjadi pra-andaian dalam debat-debat dan
keputusan-keputusan politik.
Filsafat politik lebih pada suatu penafsiran hakikat politik dari
definisinya sendiri yang bersifat hipotesis. Tugas filsafat politik bukan
mendeskripsikan fakta, tetapi membangun konsep-konsep yang membuat fakta
politik semakin dipahami secara lebih mendalam.
Seperti misalnya konsep civil society tidak hanya berhenti pada pengertian
yang dikontraskan dengan political society, namun sarat dengan makna sejarah
dan etika. Oleh karena itu, acuan Locke, Hegel, Marx, dan Gramsci tidak bisa
diabaikan dalam memahami hakikat konsep civil society, misalnya.
Menurut Haryatmoko, terdapat kecenderungan orang yang terjun dalam dunia
politik bermental animal laborans di mana orientasi kebutuhan hidup dan
obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan, cenderung menjadikan
politik tempat mata pencarian utama.
Sindrom yang menyertai adalah korupsi dan egosentrisme. Mereka cenderung
mengabaikan kehadiran yang lain karena mengonsentrasikan diri pada
eksistensinya, pada kebutuhannya.
Memang mereka menyadari hidup dalam kehadiran yang lain, tetapi belum
menjadi ciri pluralitas.
Kehadiran mereka tidak mendasarkan pada identitas, tetapi keseragaman
keanggotaan partai lebih menentukan, kecuali pada tokoh-tokoh tertentu.
Maka, fokusnya adalah bisa bertahan pada kedudukannya.
Tiadanya visi yang jelas ini melemahkan mereka dalam hal prinsip-prinsip
etika politik. Situasi seperti itu menjadi lahan subur bagi korupsi dan
kolusi (hlm.147).
Itulah akibat masalah legitimasi kekuasaan dewasa ini cenderung direduksi
menjadi masalah kepentingan ekonomi. Keberhasilan bidang ekonomi dipakai
melegitimasi kekuasaan (hlm. 162).
Meskipun politik pada dasarnya adalah pertarungan kekuatan dan
kecenderungannya adalah 'tujuan menghalakan segala cara', Haryatmoko
(penulis buku ini) masih melihat peluang bagi wacana normatif.
Sebab dalam politik betapapun kerasnya pertarungan, masih ada kerinduan akan
keteraturan dan kedamaian. Kedua hal ini mengingatkan landasan hidup
bersama: tindakan butuh legitimasi, perlu persetujuan masyarakat, yang
mengandaikan pembenaran normatif (moral, agama, dan kebiasaan) (hlm. 1).
Bahwa tantangan utama filsafat politik di Indonesia adalah kekerasan dan
ketidakadilan.
Bagaimana filsafat politik mampu mengungkap struktur-struktur kejahatan
tersebut? Struktur kejahatan itu adalah akibat politik kekuasaan.
Perimbangan kekuatan politik mengabaikan upaya serius mengatasi korupsi dan
ketidakadilan.
Praktik kekuasaan dijalankan bukan atas dasar etika politik, namun untuk
mempertahankan kekuasaan.
Oleh sebab itu mengenai metodologi meredamnya melalui metode efektif untuk
memahami kekuasaan bukan pertama-tama menganalisa kekuasaan dari
rasionalitas interennya, tetapi lebih dulu mengungkap bentuk-bentuk konkret
penolakan terhadap berbagai kekuasaan (hlm. 228).
Maka banyak konsesi diberikan yang mengorbankan tujuan utama politik (yakni
kesejahteraan bersama). Bukankah kasus penundaan hukuman Akbar Tandjung dan
dukungan kepada Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan bentuk
konsesi itu? Padahal political will dalam memberantas korupsi menentukan
kualitas hukum dan praktik institusi-institusi sosial.
Melalui buku ini dapat dibaca kegeraman Doktor Haryatmoko dalam memandang
realitas sosial berupa carut-marutnya pengelolaan kekuasaan di Indonesia.
Dengan pisau analisa berupa filsafat politik, secara filosofis penulis
menjelaskan keterkaitan sosiologis mengapa para elit bangsa cenderung
melihat ketidakadilan, kekerasan, politik uang, dan beberapa penyakit
politik sebagai hal lumrah seolah "bukan persoalan".
Ia juga menjelaskan dengan nyrempet-nyrempet pada pengamatan empiris, tidak
semata berstandar ilmiah. Yang paling menukik perlu dipahami konsep Michel
Foucault yang mencoba mendefinisikan peran filsafat:
"Merefleksikan situasi baru dalam hubungan-hubungan kekuasaan" (hlm. 229).
Buku ini muncul lebih didasari pada persoalan karena selalu berulangnya
kekerasan bukan hanya masalah insiden politik sesaat, tapi akibat konflik
kepentingan dan politik kekuasaan itu.
Oleh sebab itulah buku ini ditujukan kepada para pejabat yang punya wewenang
mengendalikan (meneruskan/memutus) akses kekerasan terhadap rakyat. Untuk
merekalah buku ini cocok dipersembahkan agar politik tanpa etika tidak
terulang-ulang.

Faktor – faktor Degradasi Fungsi Ulama dalam Berpolitik

Keterlibatan Ulama dalam politik memang diharapkan bisa mengobati kekecewaan dan memberantas penyakit pembusukan politik yang kronis selama ini. Meski demikian, harapan tersebut tidaklah mudah direalisasikan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor;
Pertama, selama ini pemasangan atau keterlibatan Ulama dalam  panggung politik lebih banyak karena popularitas dan bukan karena kualitas perpolitikannya. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh  MT Arifin. Seperti juga dituturkan oleh Saudara Jabir Al Faruqi dalam berbagai diskusi dan tulisannya bahwa sistem perekrutan politikus lebih didasarkan pada pola "perpolitikan bintang''.
Artinya: siapa yang populis akan "diambil''.
Pola tersebut diperlakukan karena kemenangan partai politik dalam pemilu bukan didasarkan pada program, melainkan lebih pada sedikit atau banyak suara yang dikumpulkan. Akibatnya, perekrutaen politikus lebih didasarkan pada popularitas demi untuk mengumpulkan  suara, daripada memilih sosok-sosok yang capable of understanding di bidang politik.
Persoalan yang muncul kemudian adalah selama ini keterlibatan Ulama dalam partai politik lebih didominasi oleh kepentingan mobilisasi
massa daripada bagaimana merumuskan dan memperjuangkan etika
politik. Dukungan massa pun didasarkan pada unsur ikatan emosional
daripada ikatan rasional.
Kedua, kebesaran Ulama sebagian besar menggunakan pengaruh tradisional daripada pengaruh rasional. Padahal, kini sudah memasuki zaman modern, dan semestinya dunia politik pun menginjak ranah rasional.
Memang tidak bisa dipungkiri, meskipun kini zaman makin maju dan rasional, Ulama tetap masih memerlukan kemampuan tradisional. Karena itu, Ulama politikus semestinya selain memiliki pengaruh tradisional juga memiliki pengaruh modern. Jika berhasil memadukan dua kemampuan itu, dimungkinkan Ulama akan bisa berperan banyak.
Namun, dalam kenyataan, baru sedikit Ulama yang memiliki kemampuan-kemampuan penguasaan politik secara makro baik dalam ataran komunikasi, relasi, konseptualisasi, maupun penegakan etika politik.
Ketiga, ada kesan begitu minim kesadaran para Ulama untuk mengakkan etika politik dan benar-benar belajar bagaimana membungkus atau mengemas kritik etis yang sesuai dengan etika politik Indonesia secara makro.
Hal itu terjadi karena ada anggapan begitu kuat pengaruh teologi Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang dianut mayoritas Ulama. Pandangan itu
didasarkan pada realitas empiris bahwa ada perbedaan mendasar
antara Ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Ulama Syi'i dalam berpolitik.
Bagi Ulama Syi'i, Ulama tidak hanya wajib mengetahui etika politik dan fasih bahasa politik, tetapi juga harus memiliki keterlibatan
aktif dalam menegakkan etika politik. Sedangkan Ulama Sunni, memiliki pandangan, Ulama harus paham politik, tetapi tidak harus terlibat dan aktif menegakkan etika politik. Persoalan etika politik diserahkan pada para penguasa dan kaum politikus. Akibatnya, Ulama bersikap pasif dan acuh-tak acuh terhadap penegakan kehidupan politik.
Keempat, masih belum ada konsepsi yang sama di antara Ulama yang bermain di bidang politik praktis tentang tujuan, etika, dan strategi politik. Sehingga ulama yang berada di PPP akan berbebada ulama yang ada di Golkar atau Ulama yang berada di PDI dan Golkar.
Sebetulnya perbedaan dan variasi konsepsi tentang etika politik tidak menjadi masalah, asalkan satu dengan yang lain saling
melengkapi. Namun yang menjadi persoalan, ternyata satu dengan yang
lain masih saling menafikan. Sehingga bila
 terjadi penggusuran Ulama di salah satu partai secara
 besar-besaran, maka hanya kelompok dalam partai itu yang peduli.
Padahal, dalam perspektif keumatan sekarang, sebetulnya umat
 mengharapkan Ulama yang memiliki wawasan makro, jaringan lintas sektor dan lintas partai politik, cerdas dan arif dalam memahami
 perubahan, serta canggih dalam mengadakan manuver-manuver politik.
Namun dalam realitas kehidupan politik kita, sosok seperti itu
sulit didapatkan. Yang ada hanyalah ulama partai tertentu (PPP, Golkar, PDI), sedangkan yang kosmopolit sulit didapatkan.
Kelemahan jaringan ulama baik antarulama maupun dengan berbagai kekuatan, menjadikan ulama selalu marjinal. Ulama selalu
digembar-gemborkan saat menjelang pemilu, tetapi mengalami
degradasi penghormatan setelah pemilu. Karena itu, fenomena
merebaknya ulama dalam DCS pemilu kali ini masih berada pada dua kutub “harapan dan kekhawatiran”

3.3.
3.4. Alternatif Sikap Ulama
Sebagaimana kami jelaskan, berbeda ketika Ulama terjun langsung sebagai politisi dengan mereka yang hanya menjadi tim sukses untuk calon tertentu. Saat Ulama menjadi politisi setidaknya mereka telah mempersiapkan diri dengan skill berpolitik, mereka sudah menghitung segala konsekuensinya, telah memprediksi berbagai kemungkinan dan telah memformat bentuk pengayoman terhadap masyarakat di luar kesibukan politiknya. Akan tetapi ulama yang hanya menjadi simpatisan atau tim sukses, mereka biasanya dirangkul oleh politisi untuk kepentingan mendongkrak suara dalam pemilihan. Dalam hal ini, kepentingan para politisi akan mendominasi kepentingan ulama, untuk itulah katagori ulama kedua ini harus lebih waspada dan selektif dalam berinteraksi dengan para politisi, jangan sampai karena kepentingan para politisi kondisi umat menjadi carut marut.
Ada dua alternatif bagi Ulama non politisi dalam bersikap:Pertama, sikap netral-aktif, yaitu tidak berpihak kepada siapa pun, akan tetapi dia berusaha memperkenalkan profil dan agenda politik setiap calon kepada umatnya, untuk selanjutnya pilihan diserahkan secara penuh kepada masyarakat. Peran Ulama seperti ini lebih efektif dalam mendidik masyarakat mengenal dunia politik dan membimbing mereka dalam menggunakan hak suara, tanpa harus berpihak pada satu calon. Kedua, netral-pasif, yaitu sama sekali tidak menyentuh lingkup politik dalam batas minimal sekalipun, artinya hanya mengayomi moral-relegiuitas umat saja yang menjadi perhatiannya, Ulama yang bersikap demikian biasanya akan lebih diakui keikhlasannya oleh masyarakat.
            Adapun dalam posisi Ulama berpihak pada salah satu calon, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah; berusaha meredam efek perbedaan ijtihad politik di kalangan masyarakat luas, artinya, perbedaan pandangan politik di antara Ulama jangan sampai menimbulkan imbas carut marutnya umat. Tugas Ulama dalam hal ini adalah; menggiring umatnya ke salah satu calon sambil mendewasakan mereka agar tidak konfrontatif terhadap calon dan pendukung lain. Hal ini agar prilaku berpolitiknya tidak seperti politisi non Ulama yang tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap umat.
            Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa keterlibatan Ulama – secara pribadi bukan atas nama organisasi - dalam berpolitik dengan terjun langsung atau hanya sebatas bergabung dalam tim sukses pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota atau kepala desa adalah fenomena alamiah dan bukan sesuatu yang negatif. Bahkan saya melihat fenomena perekrutan para Ulama dalam lingkup politik, khususnya pada saat pemilihan langsung baik tingkat lokal maupun nasional merupakan bukti kuat betapa peran Ulama sangat vital bukan hanya dalam lingkup dakwah keagamaan saja. Wallahu A’lam.
3.4. Arah Siyasah Jamiyyah Persatuan Islam
            Tujuan Persatuan Islam: terlaksananya syariat Islam berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. (Qonun Asasi. Bab I pasal 3).
            Persatuan Islam bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan lainnya menurut tuntunan al-Quran dan as-Sunnah (Qonun Asasi. Bab I pasal 4.3).
            Rencana jihad: mengembangkan dan memberdayakan potensi Jamiyyah sebagai Shurotun Mushoghorotun anil Islaam wa hikmatuhula asma. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan keislaman bagi anggota khususnya dan umat Islam pada umumnya sehingga tercipta barisan ulama, zu’amma, asbabun, dan hawariyyun Islam yang senantiasa iltijam terhadap risalah Allah (Qonun Asasi. Bab I pasal 5.2).
            Politik adalah seni tentang mungkin dan tidak mungkin. (Ruslan A.G).
            Penegakan Syariat Islam adalah cita – cita utama Persatuan Islam yang menjadi materi inti dakwahnya dan menjadi ruh proses program pendidikannya dan menjadi sumber inspirasi seluruh kiprahnya sebagai organisasi kemasyarakatan.
            Penegakan Syariat Islam tidak sama dengan mendirikan Negara Islam, karena Syariat Islam bias dijalankan dalam Negara bentuk apapun.
            Al-Quran dan as-Sunnah tidak secara eksplisit menentukan bentuk – bentuk pemerintahan. Apakah monarki, atau monarki konstitusional, atau republik, walaupun bentuk pemerintahan yang lain (republik) adalah yang paling mungkin menampung aspirasi Islam.
            Perluka Persatuan Islam menggunakan proses demokrasi dan dengan kendaraan partai mendorong terwujudnya pelaksanaan Syariat Islam?
            Secara teoritis memang partai Islam adalah media yang tepat untuk mengusung upaya pelaksanaan Syariat Islam di Organisasi Bangsa (negara) Indonesia ini.
            Namun, praktek dan kenyataan berdasarkan pengalaman memberi pelajaran berharga agar Persatuan Islam berhati hati dan menghitung dengan cermat dalam menentukan arah siyasah jamiyyah. survei menunjukan betapa marginalnya dukungan terhadap partai Islam dalam pemilu dan cenderung terus menurun walau dengan sedikit variasi dapat dilihat dalam catatan perolehan suara.
1.      1955 = 43,50 %                             6.  1992 = 17,7 %
2.      1971 = 27,11 %                             7.  1997 = 22,3 %
3.      1977 = 29,29 %                             8.  1999 = 17,80 %
4.      1982 = 27,78 %                             9.   2004 = 21,34 %
5.      1987 = 15,97 %
Dari fakta ini dapat dilihat hanya pada Pemilu 1955 partai Islam memperoleh suara cukup besar walaupun masih kalah dengan Partai Nasionalis. Yang jika dihitung secara matematis ekstrim perolehan inipun masih mengecewakan karena 43,50% masih kurang dari setengah jumlah penduduk muslim yang ketika itu secara statistik di kisaran 90%.
            Pada awalnya adanya penurunan perolehan suara dan kecilnya dukungan terhadap partai Islam pada masa Orde Baru, diyakini karena pemerintah pada waktu itu memberlakukan politik yang tidak kompetitif dan melaksanakan Pemilu yang tidak jujur. Ternyata anggapan itu tidak seluruhnya benar, terbukti ketika dilaksanakan Pemilu yang tidak jujur. Ternyata anggapan itu tidak seluruhnya benar, terbukti ketika dilaksanakan Pemilu dengan system yang sangat kompetitif dan dinilai sangat demokratis dan dalam suasana politik yang sangat kondusif ternyata hasil perolehan suara tidak jauh berbeda.
            Pada Pemilu 2004, perolehan suara partai Islam lebih baik. Tanpa PKB dan PAN dukungan yang didapat partai Islam 21,34%. Ini berarti perolehan tersebut naik 7,34%.
            Banyak pihak berpendapat bahwa kenaikan perolehan suara ini disebabkan kinerja PKS yang sangat simpatik. Hal ini dibuktikan dengan perolehan suara PKS sebesar 7,34% yang kalau dijelaskan dengan perolehan jumlah kursi di DPR, PKS memiliki 45 kursi. Padahal 5 tahun sebelumnya hanya 7 kursi.
            Dari kenyataan tersebut, tidak salah banyak orang berpendapat bahwa yang mendongkrak perolehan suara Partai Islam adalah PKS.
            Menurut pengamat politik Bachtiar Effendy, fenomena PKS ini bias dijelaskan dengan mudah. Mengapa Partai ini mendapat dukungan lebih besar? Karena partai ini walaupun berasaskan Islam, tetapi mampu berpolitik dengan agenda- agenda nonprimordial. Alih – alih kampanye Syariat Islam, PKS melarang wakilnya menerima amplop, menganjurkan anggotanya membeli gabah petani, menolong korban banjir dll.
            Bagaimana masa depan dan prospek partai Islam di Pemilu berikutnya?]
            Syaiful Mudzani menjelaskan, partai Islam masa depan tergantung pada kemampuan melakukan pembaharuan identitas. Partai Islam harus lebih inklusif dan transparan, serta tidak mengandalkan isu – isu Islam. Mereka harus mengubah citra si masyarakat, bahwa dirinya bisa menjadi partai semua orang. Kalau mau besar, harus keluar dari stigma partai syariat Islam.
            Melihat kenyataan sikap masyarakat dan iklim berpolitik seperti itu, maslahatlah apabila arah siyasah jamiyyah Persatuan Islam berperan aktif dalam berpolitik praktis?
            Atau akan lebih maslahat apabila Persatuan Islam menjaga jarak dengan partai politik, dan dengan fokus dan bersungguh – sungguh menjabarkan tujuan dengan garapan khas dalam wujud program jihad yang terukur. Arah siyasah Persatuan Islam mengembangkan dan memberdayakan potensi jamiyyah demi terwujudnya jamiyyah Persatuan Islam sebagai Shurotun Mushoghorotun anil Islaam wa hikmatuhula asma.

3.5. Bercermin Pada Uswatun Hasanah Dalam Berpolitik
Dalam ajaran Islam,  ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: ”Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah). Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang – pertama kali – harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hokum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para Ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’). Kata Nabi saw: ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.”  Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’.
Rasulullah saw bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagai pewaris Nabi, mereka harus memiliki kemampuan ilmu dalam masalah risalah kenabian dan sekaligus menjadi panutan dalam ibadah.
Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi – atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan.  
Nabi Muhammad saw telah memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda
Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).
3.6 Intermezzo; Sebuah kisah tentang Politik dan Dakwah
[Catatan: Ini cuma cerita khayalan. Nama orang dalam cerita cuma rekaan. Kalau ada yang mirip dengan nama di dunia nyata, ya anggap saja rejeki.]
Ihsan sudah lama gelisah. Hatinya bimbang. Kamar tidurnya belakangan kian terasa sempit dan pengab. Padahal udara sih nyaman-nyaman saja. Ini sudah bulan Nopember 1954, dan hujan sudah sejak dua bulan lalu turun. Memang, udara malam kadang terasa agak lebih hangat dibandingkan bulan-bulan lalu. Tapi sebenarnya hujan telah membuat udara terasa bersih. Harusnya Ihsan bisa tidur lebih nyaman. Tapi nyatanya tidak.
Ihsan gelisah bukan karena apa-apa. Ia bingung mau ikut ajakan siapa. Tahun depan, beberapa bulan lagi, akan ada pemilu. Sebagai orang yang sudah memenuhi syarat, Ihsan akan ikut nyoblos. Ia yakin bahwa nyoblos dalam pemilu ini penting sebab ia ingin turut menentukan siapa pemimpinnya. Namanya juga santri, urusan nyoblos dalam pemilu ia nanya kiai. Kalau urusan nyoblos yang lain-lain bisa saja tidak pakai nanya-nanya kiai. Tapi untuk nyoblos yang ini, mending nanya-nanya dulu. Nah ini dia. Gara-gara itu, mahasiswa tingkat dua di sebuah fakultas kedokteran ini jadi bingung. Dua kiai yang ia tanya memberi jawaban beda-beda. Kiai Umar di pesantren Al-Huda bilang, Ihsan sebaiknya pilih Masyumx, karena partai ini adalah wadah bersama ummat Islam Indonesia yang paling tepat untuk jadi wasilah politik. Tapi Kiai Ali di pesantren An-Nur lain lagi. Beliau nyuruh Ihsan nyoblos partai NX saja. Partai yang baru misah dari Masyumx dua tahun lalu ini, kata Kiai Ali, adalah satu-satunya wadah bagi para ahlussunnah wal-jamaah seperti kita.
Ihsan jadi puyeng. Dua Kiai ini, dua-duanya ia jadikan panutan, kok tumben ngasih nasehat beda-beda. Biasanya nasehat mereka selalu sama. Ya kalaupun ada beda, biasanya cuma beda-beda tipis. Lha ini, urusan nyoblos pemilu kok bedanya jadi rada tebel? Satu nyuruh nyoblos Masyumx, satunya nyuruh milih NX. Bukan cuma pada Ihsan mereka berkata begitu. Dalam tausiyah umum pada masyarakat pun mereka kadang selilpkan pesan seperti itu. Jadi mau ikut yang mana ini?
Ya, ya, ya… Ihsan tahu, Kiai Umar akan nyalon jadi anggota lembaga nasional di Jakarta sana dari Masyumx, sedang Kiai Ali bakal nyalon dari NX. Entah mereka akan nyalon untuk Konstituante atau untuk DPR, Ihsan tak tahu persis. Yang sudah terbayang adalah kebingungan: nyoblos partainya Kiai Umar apa partainya Kiai Ali. Ia harus pilih salah satu. Pilih dua-duanya tidak sah (kecuali kalau beliau-beliau itu nyalon untuk dua lembaga yang beda). Tapi kalau tidak pilih keduanya, gak bisa juga. Ia ingin nyoblos, sebab ini bakalan jadi pengalaman pertama ada pemilu di negeri yang baru beberapa tahun lalu merdeka ini. Apa ia mau pilih PNX? Ah, partai sekuler. Kaum santri masak mau nyoblos partainya orang abangan. Kalla! Atau sekalian saja nyoblos PKX, partainya orang-orang komunis itu? Ah, amit-amit. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Dalam gundah, akhirnya Ihsan memutuskan untuk melakukan salat istikharah. Ia ingin memohon petunjuk Sang Kuasa agar dapat menentukan pilihan secara lebih mudah. Malam itu ia berwudlu lalu siap-siap untuk salat.
Tapi ketika hendak mulai salat istikharah, Ihsan tercenung. Lah, masak salat istikharah menanyakan hal yang terlalu sederhana, cuma urusan nyoblos. Kenapa tidak sekalian bertanya sesuatu yang lebih besar, yang lebih substansial?
Betul juga. Tapi apa yang lebih substansial itu?
Lama Ihsan duduk diam berpikir di atas sajadah-nya. Aroma parfum Hadjar Aswad oleh-oleh Kiai Ali dari tanah suci yang ia usapkan di sajadah tercium samar-samar. Tasbih cendana pemberian Kiai Umar dalam genggamannya meruapkan wewangian lain. Keduanya menemaninya berpikir beberapa lama. Ditimbangnya banyak hal, hingga akhirnya ia bisa menemukan pertanyaan yang tepat. Ah, ternyata mau bertanya saja sulit, apalagi mau menjawab.
Tapi kini Ihsan mantap, dalam salat istikharah ia akan mencari jawaban untuk pertanyaan ini: bisakah politik dan dakwah dituang bersama dalam satu gelas? Ia tahu bahwa Islam adalah kaffah. Ia paham bahwa dakwah dan politik tak bisa dipilih salah satu atau dibuang salah satu. Masalahnya, bisakah keduanya diminum bersamaan dari satu gelas yang sama? Yak, itulah pertanyaannya.
Maka berdirilah ia. “Allahu Akbar…,” ucapnya, dan dimulailah usahanya untuk mencoba melakukan dialog personal dengan Sang Maha Pembimbing.
Usai salat, separuh beban rasanya telah sirna. Maka tidurlah Ihsan malam itu dengan nyenyak, hingga suara tarhim* pagi itu membangunkannya. Bergegas ia wudlu dan pergi ke masjid sebelah untuk salat subuh berjamaah. Hari pun berjalan dalam rutinitas biasa.
Ketika malam tiba, Ihsan mulai gelisah lagi. Mengapa belum ada tanda-tanda jawaban akan pertanyaannya dalam salat istikharah semalam? Mengapa belum ada ilham sama sekali dalam seharian ini untuk dijadikannya sebagai rujukan jawaban? Tilawah Qur’an hari ini juga tak secara khusus bisa ditafsirkannya sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.
“Mungkin harus salat lagi,” batin Ihsan.
Malam itupun ia mengulangi istikharahnya, masih dengan pertanyaan yang sama. Dan malam itupun ia tidur lagi dengan harapan yang sama. Tapi hari esoknya berjalan tetap dalam kekosongan jawaban yang sama. Hari ketiga juga begitu. Esoknya lagi tetap sama. Lusanya juga… dan tak terasa sudah sepuluh malam Ihsan ber-istikharah tanpa menemukan sedikitpun petunjuk yang menenangkan hati.
Malam kesebelas Ihsan salat istikharah lagi dengan keyakinan bahwa jika kali ini tetap belum ada hasil, barangkali memang pertanyaan ini terlalu remeh untuk ditanyakan dalam salat. Atau barangkali jawabannya telah sangat jelas. Entahlah. Dalam gamang yang sempurna, Ihsan ber-takbiratul ihram.
Rampung salat ia tidur dalam kegundahan seperti sebelum salat istikharah di malam pertama. Semua terasa begitu tak jelas. Ia siap-siap kalau tidurnya akan gelisah. Apalagi hujan malam itu deras sekali. Mudah-mudahan tak ada petir yang bisa merusak tidur.
Tapi justru inilah saat. Malam inilah saat datangnya sebuah ilham dalam mimpi yang sama sekali tak diharapkannya. Mimpi itu, rasanya agak janggal. Dalam mimpi itu ia merasa sedang berdiri di atas mimbar sebuah masjid yang sangat indah. Dari atas mimbar itu ia memberikan tausiyah pada jamaah yang tekun mendengarkannya.
“Amma ba’du…,” Ihsan mulai berbicara usai membuka khutbah. “Jamaah rahimakumullah. Politik dan dakwah adalah nafas dan darah bagi ummat Islam.”
Dalam mimpi Ihsan berdeham sedikit, membersihkan tenggorokan. “Tanpa dakwah, kita ini ibarat raga tanpa darah. Tanpa politik, kita ini ibarat makhluk hidup tapi tak bisa bernafas.”
Hadirin manggut-manggut tanda setuju.
Ihsan melanjutkan: “Tanpa dakwah dan tanpa politik, kita sebagai ummat akan ‘laa yamuutu fiiha wa laa yahya‘. Maka kita harus menyeimbangkan kedua-duanya.”
Hadirin makin manggut-manggut. Dan Ihsan dalam mimpi pun kian bersemangat.
“Tapi — ya, tetapi hadirin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, darah dan nafas itu tak pernah tercampur mentah-mentah dalam raga kita. Memang kedua-duanya nanti akan berujung pada niatan besar yang sama, tapi prosesnya terpisah. Kedua-duanya dianugerahi Allah organ yang berbeda kendati letaknya berdekatan. Kita bernafas dengan paru-paru, dan darah kita diatur oleh jantung.” Ah, iya. Dalam tidurpun si mahasiswa fakultas kedokteran ini masih bisa berceramah tentang anatomi.
“Maka oleh karena itulah,” Ihsan menandaskan dengan yakin, “dakwah dan politik pun tak boleh kita campur sembarangan, sama seperti darah dan nafas yang tak bercampur serampangan dalam perjalanan awalnya.”
Setengah sadar Ihsan berusaha membantah ceramahnya dalam mimpi. Tapi diri yang dalam mimpi tak mau di-interupsi. “Dakwah dan politik memang kita harus punya. Kedua-duanya kita harus punya. Harus! Tapi kedua-duanya itu harus kita atur sebaik-baiknya agar tak tercampur secara salah.”
Diri dalam mimpi itu lalu melempar tanya pada hadirin: “Bagaimanakah pencampuran yang salah itu?”
Dijawabnya sendiri, “untuk mengetahui pencampuran yang salah, kita harus mengetahui pencampuran yang benar.” Ah lumayan, belajar kitab As-Sullam dulu membuatnya bisa bermain-main logika sedikit.
“Pencampuran yang benar,” lanjut Ihsan, “adalah ketika politik dilandasi oleh tujuan-tujuan dakwah. Oleh karena itu, pencampuran yang salah adalah adalah ketika dakwah dicampuri oleh kepentingan-kepentingan politik.”
“Ya sodara-sodara,” Ihsan menaikkan suara, “politik harus dipengaruhi oleh niat dakwah, tapi dakwah tak boleh dipengaruhi oleh niat politik.”
“Mengapa?” Ihsan melempar tanya lagi, “mengapa begitu?”
Pertanyaan retoris ini dijawabnya sendiri. “Sebab politik itu urusan kuasa, dan dakwah itu urusan amar ma’ruf nahi munkar. Politik itu, sodara-sodara, bersifat eksklusif. Dakwah itu, sodara-sodara, bersifat inklusif. Yang inklusif boleh mempengaruhi yang eksklusif dan bukan sebaliknya.”
“Dalam politik, saya bisa mengajak sodara-sodara untuk memilih si A. Orang lain mengajak sodara-sodara memilih si B. Sodara-sodara hanya bisa mengikuti ajakan saya, atau mengikuti ajakan orang lain itu. Tak bisa sodara-sodara ikuti keduanya. Itulah contoh eksklusifitas politik.”
“Tapi dalam dakwah, sodara-sodara, kita bisa ikuti seruan kebaikan sesiapapun. Saya mengajak sodara-sodara salat dan zakat. Orang lain mengajak sodara-sodara puasa dan memperbanyak sodaqah. Kedua-duanya bisa diikuti tanpa saling meniadakan. Itulah inklusifitas dakwah.”
“Jadi hadirin,” Ihsan melemparkan kalimat simpulannya, “kita boleh berpolitik dengan niat dakwah, tapi tak boleh berdakwah dengan niat politik.”
Dilihatnya hadirin mengangguk-angguk mantap. Hatinya senang.
“Wallaahul-muwafiq ilaa aqwaamith-thariq,” Ihsan menutup ceramahnya, “wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”
… ‘Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaik. Yaa imaamal-mujaahidiin…’ Suara bacaan tarhim* di masjid sebelah membangunkan Ihsan dari mimpi ceramahnya. Ia membuka mata. Masih dalam baring, ia tercenung. Mimpi aneh, pikirnya. Mengapa ia yang memberikan nasehat, dan bukan orang lain yang memberinya nasehat untuk menjawab kegundahan hatinya?
Ia bangun, menyeret kaki ke kamar mandi, lalu berwudlu. Saat wudlu ia berpikir: Ilham bisa datang dengan cara apa saja. Siapa tahu mimpi ceramahnya tadi adalah sebuah ilham yang sebenarnya telah lama bersemayam dalam diri, dan menemukan jalan keluar dalam mimpi. Mimpi tadi adalah jawaban bagi gundahnya.
Alhamdulillah, bisiknya dalam hati. Aku telah menemukan jawaban. Aku akan bermakmum selalu pada Kiai Ali dan Kiai Umar dalam dakwah. Tapi coblosan tahun 1955 nanti, itu urusan lain…
Dakwah dan politik
Pertanyaannya, bagaimana mungkin memadukan dua hal yang sepintas mengandung kontradiksi itu? Seperti kita tahu, dakwah adalah menyeru, mengajak orang kepada kebaikan, sedangkan politik cenderung lebih banyak berurusan dengan kepentingan.
Pada perbenturan kepentingan, politik cenderung menarik garis batas antara kawan dan lawan walaupun ada adagium di dunia politik: tidak ada kawan atau lawan abadi di dalam politik. Natsir mendamaikan dua dunia yang berbeda itu. Bagi Natsir, kunci bagi keduanya adalah al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia). Seorang dai harus memiliki akhlak mulia, seorang politisi harus punya fatsoen politik.
Dengan akhlak mulia, seorang dai akan dapat meresapi isi hati umat dan mampu memberi bimbingan maksimal kepada umat. Dengan fatsoen politik, seorang politisi akan terhalang dari berperilaku menghalalkan segala cara.
Dakwah yang bersih dan politik yang sementara orang mengatakan kotor, bukan sesuatu yang mustahil untuk dipadukan. Dakwah yang bersih makin bermakna jika mampu memberi nilai tambah bagi lingkungannya yang belum bersih sebab objek dakwah yang sesungguhnya bukanlah masjid atau majelis taklim melainkan pasar dan kerumunan di luar masjid dan majelis taklim.
Dakwah yang dilakukan oleh para dai yang berakhlak mulia adalah teraju bagi aktivis dan aktivitas politik. Dengan keyakinan bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bagi Natsir politik adalah pelaksanaan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al munkar.
Siapa saja yang berbuat baik harus disokong, siapa pun yang berlaku tidak baik harus dikritik. Oleh karena itu sokongan dan kritik bagi Natsir sama harganya.Tidak silau jabatan
Ketika pemerintah memerlukan bantuan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, meski masih di dalam tahanan rezim Soekarno, Natsir tidak segan menulis surat kepada Tengku Abdurrahman untuk menerima delegasi Indonesia. Ketika hak-hak sipilnya masih dibunuh oleh rezim Soeharto, atas inisiatif sendiri, Natsir mengumpulkan tokoh-tokoh Islam untuk mencari solusi ekonomi akibat dibubarkannya IGGI.
Ketika seorang di antara tokoh itu terheran-heran atas prakarsa yang diambil Natsir dan bertanya dalam nada agak curiga, jangan-jangan Natsir mendapat sesuatu dari Soeharto, dengan tenang Natsir menjawab setiap saat pemerintah boleh datang dan pergi, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus tetap berdiri kukuh dan utuh.
Fatsoen dalam berpolitik sangat dijaga oleh Natsir. Ketika Partai Masjumi, tempatnya berkiprah, menolak Perjanjian Linggarjati dan menyatakan oposisi dengan menarik kader-kadernya dari Kabinet Sutan Sjahrir, seizin Masjumi, Natsir, Mohamad Roem, H Agus Salim, dan lain-lain sebagai pribadi bertahan di kabinet karena Natsir, Roem, dan Salim, terlibat sejak awal dalam proses perundingan yang menghasilkan Perjanjian Linggarjatiitu.
Sebaliknya, karena tidak setuju hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menunda masuknya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, meskipun dibujuk oleh Presiden Soekarno, Natsir memilih mundur dan menolak jabatan Menteri Penerangan. Paduan dakwah dan politik menyebabkan Natsir tidak silau oleh jabatan menteri!
Paduan dakwah dan politik juga menyebabkan Natsir dan kawan-kawan sangat mampu menempatkan perbedaan pendapat secara proporsional. Suatu hari di parlemen, Natsir berdebat keras dengan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit. Saking kerasnya perdebatan, mau rasanya Natsir menghantamkan kursi ke Aidit. Akan tetapi, saat rehat justru Aidit membawakan secangkir kopi untuk Natsir dan pembicaraan pun berlangsung hangat mengenai soal-soal keluarga.
Di tangan seorang Natsir yang memulai pendidikannya dari sekolah Belanda, dakwah dan politik dapat dirukunkan. Seperti kata Natsir, politik tanpa dakwah, hancur. Pada masa pancaroba reformasi seperti sekarang ini, banyak pelajaran berharga yang dapat kita tarik dari Natsir.

























BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

4.5. Saran
Solusi agar Ulama Ideologis?
Saya rasa kalaulah ulama itu menyadari betul fungsinya sebagai warasatul anbiya’ maka selesailah sudah segala persoalan. Sebab, yang paling jelas dibebani misi menjadi penerus para nsbi adalah para ulama. Jadi, kita harus terus berusaha mengkaji dan mempraktikkan peri hidup Rasullah saw. secara sempurna di seluruh aspek kehidupan, tentu dengan tidak mengabaikan situasi dan kondisi yang berubah. Sebab, Islam itu cocok ’ala kulli waqt[in] wa zaman. Umat yang banyak ini sangat merindukan keteladanan para ulama. Keteladanan saat ini sangat mahal.
Bagaimana seharusnya hubungan ulama dengan penguasa?
Ulama itu harus mampu menampilkan sosok yang independen, dalam arti, hanya menjadi alatnya Allah untuk melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar. Begitu banyak hadis Rasulullah saw. yang menyatakan, syahid yang paling utama adalah seseorang yang berani tegak mengingatkan penguasa yang zalim. Artinya, mengucapkan kalimah al-haq terhadap penguasa yang zalim (imâm[in] jâ’ir[in]). Kalaulah dia terbunuh maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga bersama dengan Hamzah dan  Ja‘far. Dengan cara yang bijak seperti fungsi memberikan tawshiyah, nasihat, dan mengingatkan itu penting dilakukan ulama terhadap penguasa. Jadi, jangan sampai para ulama ’dikepit’ di ketiaknya penguasa. Snouck Horgrounye, ketika akan menaklukkan Aceh, memberikan nasihat kepada pemerintah kolonial Belanda. Pertama: agar pemerintah Belanda bersikap netral saja terhadap Islam sebagai agama. Kedua: bersikap tegas terhadap Islam yang dijadikan sebagai doktrin politik, apalagi dipimpin oleh para ulama yang membangun basis-basis kekuatannya di desa, sehingga semakin mempercepat kehancuran Islam.
Oleh karena itu, ulama mempunyai peran yang sangat strategis dalam menjaga eksistensi agama.

























DAFTAR RIWAYAT HIDUP




DAFTAR PUSTAKA

Pulungan J, Sayuthi, Fiqih Siyasah  ajaran, sejarah, dan pemikiran, RAJAWALI PRESS, Jakarta, 2002.
            Qadir Hamid, Tijani ABN, Pemikiran Politik Dalam Al Quran, Gema Insani, Jakarta. 2001.
   Ahmad zain, kode etik perpolitikan dalam islam, Jakarta, 2008.
            Diponegoro, GS. Ilmu Negara, jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1975.
            Budiarjo Miriam. Dasar-dasar ilmu polotik, PT. Gramedia, Jakarta 1989.
            Ahmad Jamil, Seratus Muslim Terkenal,  terjemahan Tim Penerjemah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1984.



[1] Menurut kamus Al-Munawwir, artinya ; sempurna dan menyempurnakan
[2] Kamus Lengkap Bahasa Inggris, artinya; Jalan hidup
[3] orang-orang yang berhak membentuk suatu system didalam sebuah Negara dan membubarkannya kembali jika dipandang perlu
[4] Kamus Almunawwir, Artinya ; Menyeluruh
[5] Jam’iyyah PERSIS adalah sebuah organisasi perjuangan dari kaum muslimin yang sepaham dan sekeyakinan, kaum pendukung dan penegak Qur an Sunnah. Didirikan di Bandung 12 September 1923 oleh sekelompok umat Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Moh. Yunus. (Anshary 1956 : 6. dan lihat juga Wildan, 1995, 28-29)
[6] Kamus Bahasa Inggris-Indonesia: suatu program/rancangan yang tersembunyi
[7] Peran adalah suatu fungsi yang dibawa sesorang ketika menduduki posisi dalam struktur social. Berasal dari kata role yang berarti peran dan peranan, terjadi bila seseorang melakukan hak dan keweajibannya sesuai dengan kedudukannya. (Soedjono. 1998 : 268)
[8] Politik adalah aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang brmaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah dan mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat (Noer.1983:6)
[9] Menurut kamus ilmiah popular degradasi ialah: Pergeseran atau perubahan karakter
[10] Menurut Kamus Bahasa Inggris – Indonesia artinya;  bersifat paksaan
[11] Menurut kamus besar Arab Al-Muannawir artinya  Solidaritas kelompok
[12] Menurut kamus besar Arab Al-Muannawir Artinya: Pemerintah
[13] Ideologi politik menurut kamus popular Bahasa Indonesia dapat didefinisikan sbb: (1) Cara pandang yang berpegang pada tatanan politik yang ada atau dicita-citakan dan dalam pencapaiannya diterapkan srategi berupa program rancangan dll.; (2) Gabungan norma-norma dan kepercayaan yang dimiliki seseorang klompok yang menjadi besar dan memberikan sikap terhadap masalah politik. (Salim, 1991: 101-103)
[14] Terjemah bebas dari Abthony Quinton, Political Philosophy (Oxford University Press), hlm.6
[15] Dikutip dari Maurice Douferg, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Sami DArub; dan Jama Atasi (Daarul Jail, Beirut)
[16] Lihat Fawatih Rahamut yang diterbitkan sbagai bagian pinggir dari kitab al-Musthafa karya Imam Al-Ghazali, juz 1 hlm. 8. (Amiriah, Bulaq, Mesir, cet. I., 1323 H)
[17] Imam Ghazali, op, cit, hlm, 5.
[18] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Darul Ilm, Kuwait, 1987, cet, 12)
*
READ MORE