Maha Karya Cipta Muhammad Alzibilla... aku menemukan eksistensiku dalam tekananku,tertekan dalam segala arah membuat eksistensi menari begitu indah

MENEGUHKAN OTORITAS WAHYU (Upaya Melawan Hegemoni Akal)

Posted by Muhammad Alzibilla On Minggu, 13 Februari 2011 0 komentar
“Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”
(Qs. al-Kahfi: 103-104)
Kewajiban seorang muslim sebelum beramal adalah berilmu. Bahkan agar aqidahnya lurus dan terjaga, seorang muslim harus senantiasa memupuknya dengan ilmu. Bila pemahaman terhadap agamanya berdasarkan basis ilmu yang benar, maka aqidah, ibadah dan pemahamannya pun akan benar. Sebaliknya, jika pemahaman terhadap agamanya dengan salah memahami ilmunya, maka ia akan terbawa ke dalam pemahaman dan pengamalan yang keliru bahkan akan menjadi seorang muslim yang ragu-ragu dengan keimanannya. Karena itu, kemungkaran terbesar dalam pandangan Islam adalah kemungkaran dalam bidang aqidah atau kemungkaran yang mengubah bangunan fondasi Islam. Kemungkaran ini diawali dari kemungkaran dalam ilmu pengetahuan. Kemungkaran jenis ini jauh lebih berbahaya dari pada kemungkaran di bidang amal.
Umat Islam dalam Kungkungan Perang Pemikiran
Dalam konteks pemikiran, dunia Islam termasuk negeri ini sedang menghadapi masalah yang cukup pelik. Maraknya produk pemikiran yang memenuhi ruang publik yang terang-terangan dan baru dikemukan atau yang memang sudah lama, meradang di tubuh umat. Dinamika pemikiran dengan munculnya ”isme-isme” lama dengan istilah baru terus datang bertubi-tubi. Menimbulkan berbagai macam anggapan dan tanggapan dari pihak yang pro maupun yang kontra. Kita dihadapkan dengan masalah umat yang cukup rumit. Kita tentu masih ingat istilah-istilah berikut: Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme, Hermeneutika, Feminisme, Positivisme, Sinkretisme dan lain-lain.
Sekularisme

Kata sekular bisa dimaknai sebagai konsep “kekinian dan kedisinian”, atau ruang (spatio) dan waktu (tempora). “Di sini” berarti dunia, dan “kini’ berarti konteks sejarah. Saeculum (Latin) sebagai akar kata sekular berarti masa kini atau zaman kini. Namun karena latar sejarahnya adalah pemisahan otoritas Gereja dan Negara, maka dalam perkembangannya di abad-19 pengertian sekular menjadi wordly not religious or spiritual (duniawi, tidak religius ataupun spiritual). Mengenai definisi Sekularisme, memang agak problematis. Yang cukup runyam adalah ketika memperdebatkan makna “isme” yang melekat pada kata sekular tersebut. Apakah semua “isme” adalah ideologi, ataukah tidak semua “isme” merupakan ideologi? Hal ini menjadi perdebatan yang cukup rumit. Namun jika memahami makna kata sekularisme dengan pendekatan sejarah justru akan lebih mudah. Awalnya sekularisme hanya dimaknai pemisahan Gereja dan Negara. Agama dibiarkan tetap hidup meskipun dalam beberapa ajarannya harus ditundukkan agar lebih masuk akal.
Contoh paling jelas untuk kasus ini adalah munculnya Deisme yang menyatakan bahwa Tuhan menyerahkan alam pada nasibnya sendiri. Voltaire dan Lessing bisa menjadi wakil penganut Deisme ini. Didukung pula oleh John Locke, Leibniz, Hobbes, Hume, dan Rousseau yang menarik agama ke wilayah privat serta mementingkan kewibawaan Negara. Sekularisme awal ini bertujuan memperkuat posisi tawar terhadap Gereja, karena pemisahan Gereja dan Negara waktu itu belum mencapai angka aman. Artinya Gereja masih mungkin menguat kembali. Maka sekularisme pada masa tersebut disebut sekularisme moderat.
Di kalangan muslim sendiri ada beragam tanggapan dalam mendefinisikan sekularisasi. Sebagian besar dari mereka tampak kesulitan untuk memberi batasan antara sekularisasi dan sekularisme.
Muhammad Qutb menganggap sekularisasi sebagai upaya penerapan ilmaniyah, istilah Arab yang ia gunakan sebagai terjemahan sekularisme. Itu berarti sekularisasi pada gilirannya nanti akan menjurus pada Sekularisme yang membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama atau alla diniyah (non agamis). Analisa Muhammad Qutb tentang Islam dan sekularisme ini bertitik tolak dari sebuah hadits nabi yang menjelaskan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan nantinya akan kembali terasing, berbahagialah orang-orang yang terasing. Mereka selalu memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Alienasi (keterasingan) yang ditakuti Qutb merupakan pengandaian akan datangnya suatu masa dimana Islam terpinggirkan sedangkan ideologi sekuler makin dipuja. Di masa inilah agama terusir dari kehidupan publik. Padahal bagi Qutb, Islam tidak hanya terbatas pada akidah, namun juga tata hukum Syari’ah. Oleh karenanya sekularisme dicap sebagai kebatilan dan layak menjadi musuh Islam.
Sebagai peredam sikap keras terhadap sekularisasi ini, Qutb menawarkan dibukanya pintu ijtihad.
Selain itu, Muhammad al-Naquib al-Attas berpendapat bahwa Islam tidak sama dengan Kristen. Karenanya, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Muslim. Mengawali pendapatnya tentang sekularisasi, al-Attas membedakan antara pengertian sekular yang mempunyai konotasi ruang dan waktu, yaitu menunjuk pada pengertian masa kini atau dunia kini. Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia dalam agama dan metafisika atau terlepasnya manusia dari agama dan metafisika atau terlepasnya dunia dari bayang-bayang religius, pembebasan alam dari noda-noda keagamaan. Ujung-ujungnya al-Attas juga menolak penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal.
Desakralisasi alam menurut al-Attas masih bisa dibenarkan. Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Tanpa harus mengakui sekularisasipun Islam sudah mengenal konsep ini. Sekularisasi sebenarnya bermula dari penafsiran baru teolog Barat terhadap Bible. Penafsiran baru ini menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Penafsiran baru ini juga membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Penafsiran atau teologi baru inilah yang kemudian dirangkai menjadi teologi sekular; yang mengkritik posisi Gereja dengan teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya, pada saat institusi Gereja memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa. Pemikiran sekular seperti itu kemudian menjadi pemahaman yang serba “menyamakan” semua agama, yang lebih dikenal sebagai Pluralisme Agama.
Menurut DR. Adian Husaini MA, pendapat yang mengatakan bahwa “semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama” jelas-jelas merupakan pendapat yang bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah Swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk berdo’a “Ihdinash shirathal mustaqim!” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!). Jelas, dalam surat al-Fatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalan yang dimurkai Allah Swt. dan jalannya orang-orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang bengkok atau jalan yang sesat dan ada jalan yang lurus. Dan sekarang bagi kita adalah memilih di antara dua jalan itu.
Sekularisasi merupakan fenomena khas dalam dunia Kristen. Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di Amerika Serikat sesudah berakhirnya Perang Dingin, “Sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan—baik dalam persepsi maupun praktis—untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar, dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya”.1
Bahkan menurut Adian Husani (2005: 28), Arend Theodorvan Leeuwen dalam bukunya Christianity in World History mencatat bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Kristenisasi dan sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal”. Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia—termasuk Indonesia—adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia (Christianity’s gift to the World).
Pandangan Lewis dan Leeuwen merupakan babak baru dalam sejarah peradaban Barat, di mana kekristenan mengalami tekanan berat, sehingga dipaksa untuk memperkecil atau membatasi wilayah otoritasnya dalam dunia publik, termasuk politik. Fenomena sekularisasi dan liberalisasi pada peradaban Barat—yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia—sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah yang panjang yang dialami oleh peradaban Barat.
Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular dan liberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkraman kekuasaan Gereja, yang sangat kuat dan hegemonik di Zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Misalnya, muncul pemikiran Yahudi Liberal, dengan tokohnya Abraham Geiger. Begitu juga merebaknya pemikiran teologi liberal dalam pemikiran Kristen. Proses sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, terutama Islam.
Pluralisme
Secara bahasa plural berarti ganda atau beragam. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’adudiyyah al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.
Namun dari segi konteks di mana “Pluralisme Agama” sering digunakan dalam study-study dan wacana-wacana sosio-ilmiyah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan defenisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. John Hick, misalnya, menegaskan bahwa: “…Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan—diri menuju pemusatan- hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut—dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama”.
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan “manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu”. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick ini berangkat dari pendekatan substantif yang mengekang agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dengan demikian, telah terjadi proses pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksinistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” (Islam) itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehenshif, tidak reduksionistik.
Liberalisme

Kata liberal secara harfiyah artinya bebas (free), artinya bebas dari berbagai batasan (free from restraint). Kata liberal kemudian menjadi sangat populer. Manusia dijadikan Tuhan, Tuhan dimanusiakan. Akal manusia dipuja, wahyu ditolak, karena dianggap pengganggu kebebasan dan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Kampus-kampus dan ilmu pengetahuan dibebaskan dari ajaran agama. Para imigran Amerika dan Eropa yang trauma dengan konflik agama dan Amerika kemudian menggelorakan semangat kebebasan dengan membuat simbol “patung liberty”. Kata freedom kemudian dijadikan sebagai dasar berdirinya negara Amerika Serikat. Revolusi Perancis juga menggelorakan semboyan “liberty, egality, fraternity” (kebebasan, persamaan dan persaudaraan).
Liberalisme pada intinya adalah gagasan yang meletakkan ajaran agama dalam dinamika sejarah. Jadi, nilai-nilai agama harus tunduk kepada dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang dianggap tetap. Semua harus berubah mengikuti zaman.
Menurut Adian Husaini dalam “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia”, kalangan kaum liberal terbagi dalam empat kategori, yaitu: Pertama, Liberal profesional. Orang liberal jenis adalah mereka yang hidup matinya diperuntukkan bagi sang pemesan alias si penyandang dana. Orang jenis ini pemikirannya sangat liberal dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya, berusaha meliberalkan orang lain, merasa paling benar dengan keliberalannya, dan menganggap orang yang tidak liberal adalah salah, bahkan tak sungkan-sungkan ia serang siapa pun yang mengganjal liberalisme.
Kedua, Liberal amatir. Ia adalah seorang liberal yang masih kacangan dan keliberalannya masih cetek. Sikap dan pemikiran liberalnya masih ikut-ikutan atau kita kenal dengan sebutan liberal bebek. Ia sama sekali tidak mendapatkan keuntungan yang bersifat materi maupun benefit dalam bentuk apa pun. Ini orang liberal yang “kasihan bangat”. Meminjam istilah Dr. Adian Husaini, MA, “kasihan sekali orang ini”.
Ketiga, Liberal freelance. Karakteristik liberal jenis ini mirip-mirip dengan liberal profesional. Hanya saja ia adalah seorang liberal yang pragmatis dan tidak “ikhlas”. Ia sebetulnya ingin menjadi liberal sejati seperti liberal profesional, tetapi nasib tidak berpihak padanya. Ia menjadi orang liberal yang marjinal. Ia tidak digaji oleh lembaga penyandang dana kaum liberal. Ia hanya mendapat imbalan ala kadarnya dari media yang memuat tulisan-tulisan pemikiran liberalnya. Orang ini juga perlu dikasihani karena tidak mendapatkan apa yang dia harapkan dari si penyandang dana sebagaimana kaum liberal profesional.
Keempat, liberal volunteer. Ia adalah seorang liberal sukarelawan. Biasanya orang-orang dalam kategori ini adalah mereka yang sudah mapan secara materi, pemikiran, status sosial (bahkan ditokohkan), dan relatif berusia lanjut. Seorang liberal volunteer tidak dibayar dengan keliberalannya. Ia menjadi liberal dengan sendirinya karena basic pendidikan dan pergaulannya, tanpa harus terpengaruh dengan liberal profesional. Orang seperti ini adalah liberal yang “ikhlas”. Dia mengacak tatanan agama dan syari’at bukan dalam posisinya sebagai seorang tokoh liberal, melainkan sebagai tokoh masyarakat yang dituakan. Orang liberal seperti ini jauh lebih berbahaya dari pada liberal profesional, karena umat tidak mau tahu dengan keliberalannya, yang penting “ngikut”.
Hermeneutika
Secara etimologi, istilah hermeneutics berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata hermeneias berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah interpretatio untuk tafsir, bukan hermeneusis. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul De optimo genere interpretandi (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis De interpretatione divinae scripturae (Tentang Penafsiran Kitab Suci).
Adapun pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, hermeneutics biasanya dikontraskan dengan exegesis sebagaimana ilmu tafsir dibedakan dengan tafsir. Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi hermeneutika umum (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk membebaskan tafsir dari dogma, ia bahkan melakukan
desakralisasi teks.
Dalam perspektif hermeneutika umum, semua teks diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, apakah itu “kitab suci” (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan historisitas teks dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut. Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis.
Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya hermeneutic circle, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh.
Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistoris pesan atau makna secara sistematis.
Feminisme
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, stigma, stereotype pada dasarnya lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari Barat adalah salah, tetapi istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan.
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism.
Istilah feminis kemudian berkembang secara negatif ketika media lebih menonjolkan perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar. Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan (diskriminasi) yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan (diskriminasi) tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis. Batasan ini memang beragam dan terkadang diperdebatkan, mulai dari apakah seseorang itu harus perempuan, bisakah secara organisatoris serta merta disebut feminis, sampai di mana tingkat kesadaran dan pengetahuannya mengenai bentuk dan akar masalah ketidakadilan (diskriminasi), serta bagaimana orientasi ke depan dari orang tersebut.
Apakah ada agenda pemberdayaan perempuan termasuk dalam gerakan feminisme radikal? Analisa mengenai akar diskriminasi terhadap perempuan menimbulkan berbagai aliran para feminis itu sendiri, yang dikenal dengan sebuat feminisme. Salah satu aliran di dalam feminisme ini adalah feminis radikal. Feminis radikal yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut: (1). Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya. (2). Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi. (3). Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan. Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal.

Positivisme

Tesis positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu: positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan positivisme logik. Positivisme sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu.
Positivisme evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme memandang bahwa sesuatu (bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transenden bahkan ia menyarankan adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep konfirmabilitas. Tesis positivisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Sinkretisme

Trend Sinkretisme tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dalam sejarah pemikiran agama, dulu maupun kini. Trend Sinkretisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi semua unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru). Sinkretisme juga bisa dimaknai sebagai upaya ‘unitarian’.
Pemahaman-pemahaman (Spilis) tersebut dimunculkan bukan sekedar lewat media elektronik dan cetak, tapi juga diseminarkan di mana-mana. Selain sebagai upaya publikasi, ternyata hal ini dilakukan sebagai agenda yang serius untuk menginternalisasi pemahaman-pemahaman tersebut melalui metode yang ”seakan-akan” ilmiyah. Dalam studi kasus tertentu, misalnya, muncul wacana-wacana terbuka dalam bingkai kebebasan individu, ilmiyah atau akademik seperti:
”Selamat Datang di Area Bebas Tuhan”, ”Kami tidak ingin punya tuhan yang takut pada akal manusia”, ”Kita berzikir bersama anjing hu akbar”. (Dikutip dari Adian Husaini, 2006:98)
”…dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua :‘wahyu verbal’ (wahyu eksplisit dalam bentuk redaksional bikinan Muhamad) dan ‘wahyu non verbal’ (wahyu implisit berupa konteks sosial waktu itu”. (Dikutip dari Jurnal Justisia, edisi 27/2005, cover text: Melawan Hegemoni Wahyu: Upaya Meneguhkan Otoritas Akal)
”Kesucian Palsu sebuah Kitab”. (Bisa dibaca pada Artikel Sumanto Qurthuby dalam buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak-anak Muda Semarang, Semarang: RaSAIL, 2005).
Bahkan ada juga yang berani membuat pernyataan secara terbuka ”Muhamad (Rasulullah Saw.) itu bukan nabi terakhir”, “wahyu (al-Qur’an) sudah tidak relevan lagi; teks harus direkonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman”. “Teks wahyu yang ada sekarang hanya berlaku bagi zaman atau masa lalu; dan karenanya harus ada rekayasa metodologi penafsiran yang lebih terbuka dan kontekstual” dan lain-lain.
Wawancara beberapa tokoh Liberal pada beberapa tahun lalu yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, mengatakan, istilah “kafir” sudah tidak relevan. (Lebih jelasnya silahkan baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24 atau artikel beliau yang berjudul Dekonstruksi Aqidah Islam).
Ini adalah pernyataan yang sangat berbahaya dan membahayakan aqidah umat Islam. Perlu dipahami bahwa konsep tentang kafir dalam Islam masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita memang harus mengakui bahwa kata kafir dan derivasinya di dalam al-Qur’an sebagian didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Misalnya dalam Qs. Ibrahim ayat 7 disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam al-Qur’an disebutkan, bersyukur ataupun tidak bersyukur; la’in syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersyukur, Aku akan tambahkan nikmat-Ku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azab-Ku amat pedih). Ayat ini dijadikan sebagai dalil orang-orang liberal untuk menguatkan pendapat, “bahwa kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, karakter manusia atau label moral semata dan sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya”.
Ini adalah contoh pemahaman yang sangat membahayakan. Al-Qur’an diotak-atik dengan pemahaman yang sangat berbahaya bagi kesungguhan dan komitmen umat Islam terhadap pemahaman aqidah dan keyakinana agamanya. Perlu diketahui, banyak ayat dalam surat lain dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kata kafir bukan saja terdapat pada ayat 7 surat Ibrahim4 tapi juga terdapat dalam banyak surat di beberapa ayat. Artinya, kafir merupakan sebuah terminologi yang tetap ada dan sangat prinsip dalam pemahaman keislaman. Karena identivikasi ”kafir” atau ”tidak kafir”, bukan sekedar berdasarkan karakter manusia atau sebagai label moral semata, tapi lebih dari itu. Kita tentu masih ingat dengan firman Allah dalam Qs. al-Maidah: 17,
”sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ’sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih Putra Maryam’ dan ’sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga….;”
Fenomena serangan ghazwul fikri terhadap Islam telah berlangsung sekian lama. Mereka ingin menjadikan wajah Islam seburuk mungkin, bisa dengan jalan menampilkan kesan ekstrem dan fundamental—sehingga manusia takut dan ngeri terhadap Islam dan penganut setianya. Mereka yang punya komitmen terhadap Islam, diberikan julukan ekstrimis atau fundamentalis. Akibatnya Islam ditakuti baik oleh pengikutnya sendiri yang terlanjur menjadi korban ghazwul fikri—apalagi oleh orang non muslim. Namun ada kalanya Islam ditampilkan dengan bentuk yang kelewat lembek. Itulah hasil rekayasa musuh-musuh Islam, dan itulah yang dihasilkan oleh ghazwul fikri yang mereka kehendaki. Allah Swt. mengingatkan kita dalam firman-Nya,
”Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci” (Qs. ash-Shaff:9)
Dalam surat lain Allah Swt. mengingatkan kita,
”orang-orang Yahudi dan Nasrani itu tidak akan ridho kepadamu, sampai engkau mengikuti millah mereka”. (Qs. al-Baqoroh: 120)
Karena memang ghazwul fikri berjalan terus menerus, sebagaimana firman-Nya, ”Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup”. (Qs. al-Baqoroh: 217)
Sebuah kondisi yang sangat ironis. Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemologi” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipil, seperti bangunan mengenai “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Kini, di era hegemoni “Barat”, justru dari kalangan muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam. Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya lihat saja kondisi pemahaman kita sebagai umat Islam saat ini. Bahkan akibatnya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Wallahu a’lam.
Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, mereka belum pernah menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Prof. Syed. Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Menurut Al-Attas, “bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekwensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat serta menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. Berbagai problem kemanusiaan pun muncul sebagai hasil dari kacaunya nilai-nilai yang dianut.”
Masyarakat Barat pun terjebak dalam berbagai ekstrim dan lingkaran syetan yang tiada ujung pangkal dalam hal nilai. Contoh kasus yang akurat dalam konteks ini adalah masalah isu femenis. Untuk menyukseskan gerakan ini mereka kemudian mencari legitimasinya dari Bible. Mereka tidak lagi menulis God tapi juga Goddes. Sebab gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Bible menurut mereka bukanlah kata-kata Tuhan, tetapi sekedar koleksi tentang sejarah dan mitologi yang ditulis oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, perempuan tidak memiliki kewajiban moral untuk mengikuti ajaran Bible. Tidak cukup sampai di situ, mereka kemudian membuat gerakan lanjutan yang mengglobal, sehingga titik-titik ekstrim pada gerakan pembebasan “kesetaraan gender (gender equality)” ini juga menjadi trend global. Banyak kalangan Muslim yang kemudian mencoba mengotak-atik ajaran agama Islam yang dinilai membelenggu atau menindas wanita. Ujung-ujungnya adalah upaya untuk mendelegitimasi Kitab Suci al-Qur’an, dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Kitab yang bias gender, sebagaimana fenomena serupa dalam tradisi Kristen.
Nah, jika masyarakat sudah dibuat tidak meyakini kebenaran sumber ajaran agama, maka yang akan dijadikan pegangan adalah akal dan hawa nafsu mereka. Lagi-lagi tidak adak ada standar kebenaran yang mutlak. Pada saat itulah masyarakat akan tersesat ke dalam arus nilai yang serba relatif dan temporal. Kebenaran jadinya bisa diukur dari kesepakatan. Jika masyarakat sepakat bahwa pelacuran, minuman keras, pemerkosaan, pembunuhan, telanjang (buka-bukaan dada dan kemaluan di depan publik) adalah halal dan baik, maka itu dinilai sebagai sebuah kebenaran. Agama bahkan tidak diberi hak atau dianggap tidak memiliki hak untuk menentukan antara yang baik dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejumlah cendekiawan sekular-liberal kemudian secara terang-terangan mempromosikan paham yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan tidak memiliki komepeten untuk mengurusin masalah seni. Film, misalnya, dianggap sebagai karya seni semata, dan tidak layak dicampuri nilai-nial luhur agama. Tidak ada batas aurat, karena film adalah masalah seni.
Pada tingkat global, cara pandang sekular-liberal gaya Barat ini kemudian diglobalisasikan sebagai bagian dari upaya pelestarian hegemoni. Dalam konteks logika politik dominasi, hal ini memang–dipaksa untuk dianggap sebagai–sebuah kewajaran. Apalagi demokratisasi liberal mengharuskan sekularisasi dan sekaligus pluralisme, yang tidak membedakan manusia atas dasar agama atau ras tertentu, namun manusia diotak-atik atau dikotak-kotakkan atas dasar bangsa dan negara semata. Proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni di bidang bisinis dan ekonomi. Dengan minum Coca-cola atau menyedot Marlboro seseorang dapat merasa menjadi bagian dari masyarakat global yang bergengsi. Apakah produk ini murah atau menyehatkan? Itu bukan urusan, yang penting “gaya”. Begitulah kenyatannya. Hanya cara berpikir yang sudah ter-Westernized yang memungkinkan seorang Muslim menggila mode “polos tengah” yang mempertontonkan: rambut dicat warna-warni, perut, buah dada dan kemaluan diumbar tanpa perhitungan dan tanpa malu sedikitpun.
Kita memang sudah tidak dijajah secara fisik lagi oleh negara-negara Barat, tetapi sebagian kita, sebagai umat Islam masih mengkonsumsi budaya, pemikiran bahkan keyakinannya. Benar kata Erbakan, seorang politisi Turki beberapa tahun yang lalu: “kita telah berhasil mengusir Yunani dari negeri (red. Turki) ini, tapi kita masih mengonsumsi pemikirannya”. Dalam konteks Indonesia juga demikian. Kita telah berhasil mengalahkan bahkan mengusir negara-negara Eropa dan negara “Barat” lainnya, tetapi kita masih mengonsumsi adat, budaya dan pola pikir liberalis, sekularis, sinkretisme, positivis, dogmatis bahkan kesesatan keyakinan mereka.

Renungan Akhir

Sarana dan metodologi untuk menghadapi tantangan umat dengan berbagai macam bentuknya perlu dikreasi dengan penuh pikiran jernih. Di saat tantangan ghazwul fikri dan berbagai permasalahan yang menghantam atau melanda umat dan bangsa ini, selain membutuhkan sosok seperti al-Ghozali (Ulama: Cendekiawan Muslim), kita juga membutuhkan sosok seperti Sholahudin al-Ayubi (Negarawan yang cerdas). Dengan memadukan dua kekuatan ini, insya Allah problematika yang sedang dihadapi oleh umat Islam di negeri ini khususnya dan bahkan dunia umumnya akan segera menemukan titik akhirnya.
Lebih lanjut, sebagai generasi muda, saat ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk terlibat. Saya—tentu kita semua—memiliki obsesi bahwasannya kita mesti membangun apa yang saya sebut sebagai tradisi intelektual.
Ada 3 tradisi utama yang mesti kita gulirkan, yaitu: Membaca, Menulis dan Berdiskusi. Saya kira 3 hal ini sangat layak dijadikan sebagai pagar penguat kita dalam kontek perang yang terus menjadi-jadi seperti saat ini. Bagi saya, perang pemikiran adalah perang yang serius. Karena itu idealnya, tidak ada waktu sedikit pun yang terlewat dari peran-peran kita. Jujur, betapa bahagianya kita jika kemudian kita sebagai generasi muda mau bertanggung jawab dan mempersiapkan diri. Sekali lagi, agenda pembangunan tradisi tersebut adalah penting. Siapapun kita, apapun organisasinya, dari manapun asalnya, kampus apapun tempat kuliah (belajar)nya; mari memulai!
Selanjutnya, semoga pertemuan ini menjadi saksi kesungguhan dalam meningkatkan kadar ilmu pengetahuan kita; semuanya kita tunaikan untuk masa depan Indonesia dan Islam. Mari berilmu, karena kita komitmen dengan kebenaran, insya Allah! []
*Pegiat Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam di Institute For the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

0 komentar: